Assalamualaikum....
•
•
•
•"Apa benar, gue lupa dengan Tuhan?"
Sepanjang malam setelah pertemuan sembunyi dengan Nafisha, Sergio terus berpikir, apakah dirinya benar-benar melupakan Tuhan? Apakah ia benar-benar jauh dari Sang Pencipta? Atau malah sebaliknya, Tuhan yang melupakannya?
Apakah semua ini karena pergaulan? Mungkin iya, mungkin tidak. Itu karena Sergio sendiri yang lupa diri sehingga bisa sangat jauh dengan Tuhan. Dan, Nafisha benar, ketidak harmonisan dikeluarganya seharunya membuat ia menjadi orang yang tabah.
Lantas, apakah dia harus berubah sekarang?
Apakah dia harus bertobat?
Sergio mengusap wajahnya kasar, pemandangannya kosong saat berada dikamar asramanya. Tak ada satupun orang didalam, bahkan ia tak melihat batang hidung keempat temannya. Ah, dia lupa, Mirza dan yang lain pasti sudah keluar dari pesantren ini. Dia kelupaan tentang itu.
Lama Sergio berpikir tentang dirinya, suara langkah kaki berlalu lalang terdengar didepan kamarnya. Pria itu bangkit kemudian mengintip keluar dengan celah pintu yang seadanya.
Beberapa santri berjalan dengan wajah khas baru bangun tidurnya, dilihatnya jam yang menunjukkan hampir pukul tiga, itu berarti mereka akan melaksanakan shalat tahajjud. Sergio sampai tak habis pikir karena kelamaan bergelud dengan pikirannya, dia tidak sadar ternyata hampir pagi. Biasanya ia tertidur jam segini.
"Apa gue ikut mereka aja?" Ia membatin sendiri.
Sergio menatap kedalam ruang kamar yang kosong, dia ingin tidur namun kantuknya tak datang juga. Akhirnya, pria itu menyeret satu sarung dan kopiah kemudian melangkah keluar.
Agak aneh memang dirinya yang kini memberanikan diri mengikuti para santri itu. Sergio menuntun kakinya yang kini melangkah menuju tempat wudhu, menyalakan kran air dan memulai ber-Wudhu. Namun, matanya tak lepas memperhatikan gerakan salah satu santri di sampingnya.
Sergio menuntun dirinya ber-Wudhu hasil pengamatannya dari orang disampingnya. Ia tak tau caranya dan tentu dengan cara belajar perlahan akan diketahui.
Kaki Sergio melangkah masuk kedalam surau, beberapa pandangan mata memperhatikan dirinya. Mungkin karena pertama kali baginya melakukan salat kah? Tak tau juga, Sergio tak mempedulikan itu, dia hanya mengikuti kegiatan Shalat sampai selesai.
Beberapa saat kemudian...
Sergio baru saja ingin pergi dari Masjid saat pelaksanaan salat tahajjud selesai, tapi suara ringan yang didengar oleh telinganya membuat pria itu jadi mengurungkan niatnya.
Sedikit rasa malu menerpanya saat Kyai Hasan berjalan menghampirinya. Sodoran kitab suci yang indah itu membuat dahi Sergio berkerut.
"Saya tidak tau bagaimana cara bacanya," tuturnya dihadapan Kyai Hasan.
"Jalani perlahan-lahan, Insya Allah akan dimudahkan untuk mu!"
Sergio menatap pada Al-Qur'an itu, tangannya terulur untuk menerimanya. Ia membuang napas sangat ringan yang nyaris tak terdengar.
"Tak banyak orang mendapat hidayah yang begitu cepat. Kamu harus bersyukur karena Allah belum melupakan seorang hamba sepertimu! Berubahlah, jadilah termasuk orang-orang yang saleh!" ucap Kyai Hasan.
Hanya ada satu pertanyaan besar dibenak Sergio.
Apakah ini saatnya untuk bertaubat?
°°°°
°°°°"Eh, bener-bener lo, ya! Lo darimana? Dari kemarin gue nyariin, lo gak muncul juga. Kempret!"
Disitulah, setiap saat jika ada permasalahan kecil, Radit dan Sergio pasti memiliki sesuatu untuk diributkan. Ya, seperti ini misalnya. Gara-gara semalam Sergio yang entah hilang kemana membuat keemoat temannya jengkel.
Bukannya malah menjawab, Sergio melepaskan cengkraman Radit dari kerah bajunya sedikit kasar.
"Apaan sih?! Datang-datang ngajak ribut!" Sepertinya Sergio agak emosi.
"Lo duluan yang ngajak ribut! Semalem gue kepikiran lo gara-gara gak ikut kita kabur dari pesantren. Lo kemana aja, hah?!" ucap Radit.
Jika Radit menganggap bahwa omongannya barusan hanyalah perkataan biasa maka, Sergio tak menganggapi seperti halnya.
Sergio menyentak dengan kasar pergelangan tangan Radit yang kembali menarik kerah bajunya, lalu iapun bermonolog, "APA HUBUNGANNYA SAMA GUE KALAU KALIAN MAU KELUAR DARI PESANTREN INI?! TENTANG GUE KEMANA PERGINYA, JUGA BUKAN URUSAN LO! JANGAN NGELUNJAK JIKA HANYA MASALAH GUE GAK IKUT KALIAN SEMALAM. GUE JUGA PUNYA KEHIDUPAN YANG HARUS DIBENAHI. GAK SEMUANYA HARUS TENTANG MIRZA ATAUPUN AYAHNYA!"
Ucapan tersebut cukup serius keluar dari mulut Sergio. Ada apa dengannya? Tidak biasanya pria itu terbawa perasaan untuk menanggapi cicitan Radit. Biasanya mereka hanya akan beradu mulut kecil-kecilan. Namun, hari ini berbeda, Sergio seperti menanggapi pertanya Radit sangat serius.
Cukup membuat Mirza, Raden, Pico, dan Radit terkejut. Mereka menatap sembari mengernyit heran dengan perilaku Sergio hari ini.
Bahkan Sergio pun sedikit sadar tentang pengucapannya yang lantang tadi. Entah itu memang unek-unek yang keluar atau ada sangkut pautnya dengan kehidupan yang plin plan itu?
"Lo kerasukan? Setan apa?!" pertanyaan konyol tersebut dari Pico.
Radit menyentuh dahi Sergi sembari memeriksa keadaan suhu tubuh nya. "Normal kok! Gak dingin, gak panas juga." ungkapnya.
Sergio jengkel!
Bahkan dalam situasi seperti ini, teman-temannya malah berpikir bahwa dirinya bercanda. Yang benar saja?
"Lo kenapa? Sensian amat." Itu Mirza yang berucap.
"Apa lo kemasukan setannya, si Mahmud?"
Sergio membuang napasnya kasar. "JANGAN NGACO!" Ia pun beranjak pergi tanpa mempedulikan keempat orang itu.
Tak semudah itu dia melangkah, Mirza menghentikannya dengan satu tarikan yang sempurna hingga membuat tubuhnya langsung berdiri ditengah-tengah mereka.
"Belakangan ini lo jarang banget ngumpul sama kita. Entahlah gue gak tau apa yang lo lakuin ditempat ini. Tentang lo dimana, kemana, dan semua itu gue gak akan bertanya. Tapi gue butuh jawaban tentang ucapan lo yang sangat kasar tadi."
"Memang benar, gak semuanya harus tentang gue atau ayah gue. Hidup lo hanya untuk lo. Dan hidup gue untuk gue!"
"Gue minta maaf karena menarik lo dalam situasi gue. Dan gue juga minta maaf kalau kita berempat terlalu ngelunjak sama lo." Mirza berhembus pelan sebelum melanjutkan kata-katanya. "Untuk sekarang, gue gak akan maksa lo buat terus bersama kita. Kalau lo punya tongkrongan yang lebih baik, gue ikhlasin lo pergi dan bergabung dengan yang lain."
"Bukan gitu, Za ..." Sergio Sontak memandang pada Mirza. Bukan itu maksudnya.
"Maksud lo apa, hah?! Dari tadi gue greget sama lo, Gio!" Sepertinya Radit tidak sabaran untuk mendapat jawaban dari Sergio atas pertanyaan yang sedari tadi terlontar.
Tampaknya Sergio merasa bersalah disini, dirinya tiba-tiba emosional, tidak seperti biasanya. Mungkinkah untuk menjauh dan menyendiri sebentar bisa membuatnya berpikir jernih?
Sergio menunduk dalam diam, tatapan ketiga temannya membuat ada rasa kecewa disana. Yang bisa dilakukan adalah berbalik memunggungi mereka, menutup mata lalu bernapas sejenak.
"Gue rasa ... Gue sudah sadar, Za." Keluh rasanya mengatakan itu namun Sergio memberanikan diri untuk segera pergi dari sana.
Sudah sadar? Apa maksud dari perkataan itu? Mirza mungkin tau namun tidak untuk ketiga temannya. Radit, Raden, dan Pico menelaah baik-baik ucapan tersebut. Hingga beberapa saat kemudian, Radit mengeluarka napasnya dengan kesal.
"LO BENAR-BENAR SUKA BERANTEM SAMA GUE, YA, SERGIO!'
Walau berteriak sekeras mungkin, Sergio tidak akan mendengarkan itu. Pria itu sudah meleset dari tempatnya, tak lagi menampakkan bayangannya.
"BALIK GAK, LO?! GUE KAGA NGERTI! DASAR CURUT!"
•
•
•
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sekedar Santri
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [ON GOING] Belum di revisi Pria dengan kopiah hitam dikepalanya yang sedikit miring tengah memandang satu bangunan yang cukup besar di hadapannya. Sarung yang tadinya ia pakai kini berada dilehernya dan bergelantungan bebas...