Assalamualaikum...•
•
•
•Satu set pakaian muslim disodorkan kepada Mirza dan empat temannya. Kyai hasan ingin mengubah gaya penampilan mereka agar tak terlalu beda dengan santri lain. Jika kemarin penampilan ala anak Gangster atau semacamnya, maka hari ini mereka harus berubah dengan ala Santri.
Sarung, kemeja serta kopiah sering didentik sebagai santri, apalagi jika sudah berjalan sambil memegang kitab suci, itu membuat siapa saja yang menatap langsung memandang adem, terutama kaum hawa.
"Harus banget ganti pakaian?" mirza tak mungkin langsung menerima untuk mengganti penampilannya. Apalagi harus memakai sarung.
"Kita ini mau Salat. Menghadap pada Allah. Jadi, sebaiknya menggunakan pakaian yang bersih dan sebaik mungkin!" tutur Kyai Hasan.
"Ya, ampun. Yang penting kan pake baju!" timpal Sergio.
"Tapi celana kalian robek," Alhasil, mereka sontak menatap celananya yang robek bagian lutut hingga kebetis. "Lutut adalah salah satu aurat laki-laki!" sambung Kyai Hasan.
Akhirnya mereka berlima hanya bisa bernapas dengan pasrah, mengikuti semua perintah yang Kyai Hasan katakan. Lagi pun ini sudah menjadi derita mereka karena ingin masuk ke pesantren.
"Aneh gak, sih? Gue lebih nyaman pake celana, bisa gerak dengan bebas." kata Radit.
Ya, kelima pria itu sudah berubah dengan gaya penampilan mereka. Sarung yang mereka kenakan dipasang seadanya, tak rapih membuat sarung itu merosot mengenai lantai hingga tak tampak kakinya.
Melihat pakaian mereka yang cukup lucu tersebut lantas menampilkan kekehan Kyai Hasan. Pria berusia cukup tua itu menyuruh Raihan yang juga berada disana untuk memperlihatkan cara memakai sarung yang benar untuk pria.
Mirza, Sergio, Raden, Radit dan Pico langsung memasang wajah seriusnya. Dihadapannya, Raihan tengah memberinya contoh cara memakai sarung, hingga setelah melakukan tata cara tersebut, kini mereka harus memakai sendiri.
Mirza cukup merasa kesusahan saat tak bisa melipat dengan benar, yang ada sarung itu bukannya menggantung malah merosot kebawah. Ia berdecak malas, dia tak mau memperbaiki sarungnya, hingga ada uluran tangan yang membantunya membuat kedua alisnya bertautan.
Mirza mengernyit bingun mendapati Raihan tengah membantunya memperbaiki sarungnya itu, hingga beberapa saat setelah terpasang rapih, Mirza masih menatap pria itu.
"Gak sudi gue bilang makasih sama, lo!" ungkapnya dan itu membuat Raihan melirik sinis.
"Baiklah, sekarang waktunya berwudhu." Kyai Hasan melangkah ke tepi Masjid, tempat para santri mengambil air wudhu.
Mirza dan yang lain berjalan mengekori, sebenarnya mereka malas jika harus melakukan ini. Mau bagaimana lagi, kembali pada alasan awal. Mereka datang ketempat ini karena seruan Kyai Hasan yang akan membuatnya berubah dari preman jalanan menjadi santri idaman.
Dimulai dari hari ini mereka akan memulai hidup yang baru, bab baru, serta penampilan yang baru. Tidak ada lagi penampilan yang urak urakan apalagi pakaian yang robek, seratus persen mereka berubah total.
°°°°
°°°°"Ampun gue!"
"Pengen balik jadi preman jalanan aja."
"Gue mau keluar dari tempat ini!"
"Gue gak kuat, anjir!"
"GUE PENGEN TURU!!"
Mirza, Sergio, Raden, Radit dan Pico tak henti-hentinya mengeluarkan semua kekesalannya selama tiga hari belakangan ini. Seperti yang sudah Kyai Hasan katakan, mereka harus belajar menjalankan apa yang biasa para Santri lakukan di tempat itu.
Mungkin sebagian orang jika melakukan kebiasaan yang baru, ada rasa ingin meninggalkan hal itu, merasa kebiasaan lama lebih nyaman. Sama halnya, Mirza dan keempat temannya yang belum terbiasa bangun tengah malam untuk Shalat Tahajjud, mengaji, shalat, mengaji lagi dan begitu seterusnya.
Dengan seiringnya waktu yang berjalan, pasti ada kalanya sudah terbiasa dengan kegiatan seperti itu. Seperti santri lainnya, mereka juga pernah merasakan hal yang sama, pasti ada rasa rindu dengan kebiasaan yang dulu dilakukan. Namun, jika kau benar-benar berniat mengubah dirimu agar kejalan yang benar dan lurus, Insya Allah ketenangan itu akan datang dengan sendirinya. Kau akan mulai terbiasa lagi dengan sesuatu yang baru dan yang lebih baik.
Mirza membuang napasnya berat saat mendengar suara Azan menggelegar diseluruh pelosok pesantren. Ia berpikir sejenak sebelum akhirnya beranjak pergi segera mungkin.
"Mau kemana lo?!" Entah kapan Raden berada didekatnya, intinya Mirza sempat terkejut dengan pertanyaan barusan.
"Mau lari dari kenyataan!"
Raden tak bergeming, pria itu menatap Mirza yang berjalan dari arah lawan Masjid. Bukankah ini waktunya Salat? Lalu kemana pria itu pergi? Hingga beberapa saat kemudian, Raden pun menyadarkan dirinya, ia tau kalau Mirza sedang menghindar dari Kyai Hasan, Raihan dan Ustadz Mahmud.
"Gue ikut!"
°°°°
°°°°Gumpalan asap memenuhi tempat yang sedikit sempit, bisa dibilang itu seperti lorong kecil dan disana-lah, Mirza berada. Bukan hanya dirinya seorang melainkan keempat temannya tentu ada ditempat itu.
Seperti kemarin, mereka lagi-lagi menghindar saat suara Azan terdengar ditelinga mereka. Bersembunyi dan merokok diwaktu yang sama. Namun, itu bukan tempat yang kemarin, asrama cowok sangat rawan bagi mereka untuk merokok, bisa-bisa ia kedapatan lagi.
"Bisa gak sih, kalau ada gue, kalian gak merokok dulu?" Raden sedikit berdecak melihat tingkah temannya yang sedang menikmati kegiatan itu.
Jika Mirza, Sergio, Radit dan Pico sedang merokok, disitulah Raden akan segera memisahkan diri. Sama seperti sekarang, pria itu lagi-lagi berdiri dalam jarak yang cukup jauh.
"Makanya jadi cowok jangan polos-polos amat, Den. Sekali-kali ngerokok dong!" sahut Sergio.
"Gue gak polos. Lambung gue gak mau terima asap rokok, sesak!"
"Itu, sih, derita lo!"
Kekehen mereka keluar saat menatap Raden yang sedikit kesal, lagipun kok bisa ya, ada cowok yang gak suka sama rokok. Alasan doang jika bilang asap rokok bikin sesak, nyatanya cowok itu memang polos dan belum dewasa saja. Belum mencoba sekali mungkin ada rasa tak suka, namun jika sudah merasakannya pasti ada rasa candu.
"Eh, lo yakin, kita gak akan ketahuan disini?" tanya Pico.
"Gue yakin, si Mahmud atau Raihan gak mungkin sampai kesini nyariin kita." Setelah menyesap rokoknya lalu mengeluarkan asap, Mirza berkata demikian.
"Ya iyalah, ini asrama perempuan! Mana mungkin mereka berpikir kalau kita ada disini."
"Nah, itu, lo tau."
Memang sangat Ekstrim!
Entah darimana ide itu muncul diotak Mirza, merokok dibelakang asrama Santri putri. Tidak besar kemungkinan jika mereka tidak akan ketahuan, nyatanya mereka malah masuk sendiri kedalam masalah yang mungkin akan membuatnya sedikit jera.
"Tapi, perasaan gue gak enak, Za," ungkap Sergio.
"Mungkin perasaan lo aja!"
Tanpa mereka sadara, dibelakang Raden tengah berdiri beberapa Santriwati yang sedang terkejut melihat keadaan dibelakang asramanya. Namun, bukan ekspresi mereka menjadi intinya, melainkan wajah garang Ustadz Mahmud, Raihan dan lima santri putra.
"TERNYATA KALIAN DISINI?!"
DEG!
"Mampus, ketahuan lagi!"
•
•
•
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sekedar Santri
Fiksi Remaja[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [ON GOING] Belum di revisi Pria dengan kopiah hitam dikepalanya yang sedikit miring tengah memandang satu bangunan yang cukup besar di hadapannya. Sarung yang tadinya ia pakai kini berada dilehernya dan bergelantungan bebas...