Suara jangkrik terdengar memecahkan keheningan malam. Afra terbangun saat merasakan kerongkongan terasa kering. Saat ini ia berada di kamar Alea, ia tidur bersama anaknya. Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, Alea diperbolehkan untuk pulang. Hanya untuk malam ini saja ia menginap di kediaman Mahesa, karena ia dipaksa untuk menginap, selain Alea yang memaksa sang bunda menginap, keluarga Gibran juga memaksanya menginap satu malam.
Afra beranjak dari ranjang, kakinya melangkah keluar. Ia harus segera minum agar bisa melanjutkan tidurnya.
Saat sampai di lantai bawah, ia terkejut melihat Gibran yang belum tidur. Pria itu sedang menatap layar laptopnya.
"Ay?" ucapnya kaget.
"Mas kok belum tidur? Ini sudah jam satu."
"Harus menyelesaikan pekerjaan dulu. Kamu sendiri kenapa belum tidur?"
"Aku terbangun, ini mau ngambil air. Mas ... Mau aku buatkan minuman?" tawar Afra ragu-ragu.
"Mau ... mau, kopi ya," jawab Gibran.
"Kalau kopi nanti Mas susah tidur. Jangan begadang, Mas."
"Aku memang berniat tidak tidur."
"Apa kamu sering seperti ini? Kek gak ada hari esok aja. Lanjut besok saja kerjaan itu."
"Gak bisa, besok harus selesai. Karena aku tiga hari tidak kerja, membuat pekerjaanku menumpuk. Kamu buatkan kopi saja, okay?"
"Hem, iya," jawabnya lalu melangkah menuju dapur.
"Ah, seperti punya istri," gumam Gibran tersenyum lebar menatap Afra yang perlahan menjauh. "Huh ... Apa bisa aku memilikimu seperti dulu? Aku merasa seperti kurang yakin apa aku bisa, dia sangat menutup dirinya. Mungkin perhatian yang selama ini aku berikan tidak ada apa-apanya. Hah..." Gibran menghela napas berat.
Sudah empat bulan ia berusaha mendekati Afra semenjak pertemuan mereka yang pertama kalinya. Sudah banyak hal yang Gibran lakukan untuk membuat Afra jatuh cinta kepadanya lagi namun, disisi lain ia tidak tahu tentang perasaan Afra yang sebenarnya. Ia merasa Afra sudah tidak mencintainya lagi.
"Ay ... Ay ... Kamu terlihat sangat sempurna, apa aku pantas untuk kamu? Kamu sudah sangat jauh berbeda dari Afra yang aku kenal dulu. Kamu sangat baik, aku merasa tidak pantas untukmu."
Beberapa menit kemudian, Afra kembali menghampiri Gibran dengan membawa secangkir kopi hangat.
"Nah, jangan dibiasakan begadang, Mas! gak baik," ucap Afra meletakkan cangkir kopi di atas meja.
Gibran tersenyum mendengarnya. "Diusahakan," jawabnya.
"Ya udah, aku kembali ke kamar dulu."
"Iya, Ay. Makasih ya, selamat malam." Afra hanya mengangguk merespon ucapan Gibran, lalu ia melangkah pergi menuju lantai
Sesampainya di kamar, Afra naik ke atas ranjang, sebelum membaringkan tubuhnya di samping Alea, ia mencium pipi anaknya terlebih dahulu.
Afra menatap langit-langit kamar, tiba-tiba ia merindukan adiknya. Meski setiap hari berkomunikasi lewat handphone, tetap saja ia merindukan Ava yang jauh darinya. Kadang perasaan cemas menghampirinya, bagaimanapun juga ia khawatir dengan adiknya. Apalagi Ava tinggal sendirian di rumah, meski kadang ada sahabatnya yang menemaninya dan menginap di rumahnya. Kadang juga, Afra menyakinkan dirinya bahwa adiknya akan baik-baik saja, adiknya sudah dewasa, pasti bisa menjaga dirinya sendiri. Ia selalu berdoa, adiknya baik-baik saja dan tidak terjadi hal-hal yang buruk menimpanya.
Waktu terus berjalan, Afra masih belum bisa tertidur. Akhirnya ia beranjak dari ranjang menunju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Ia ingin shalat istikharah, meminta petunjuk atas apa yang tengah ia pikirkan akhir-akhir ini. Ia harus meminta jawaban dariNya agar tidak salah mengambil keputusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ditakdirkan Bersama (End)✓
Teen FictionAfra Khansa Aelghytha seorang wanita cantik dipaksa kuat oleh keadaan. Semenjak orang tuanya meninggal, kehidupan Afra seketika berubah, ia menjadi tulang punggung keluarga demi sang Adik. Afra memiliki masa lalu yang kelam, masa lalu yang ingin ia...