20.Hukuman

1.3K 47 0
                                    


.......**.......

Sejak kejadian di sekolah tadi ia benar-benar mengurung diri di kamar. Rasa takut menjalar di seluruh tubuhnya, bagaimana jika video itu tersebar? Bagaimana jika Kakak-kakaknya tau? Dan terlebih bagaimana jika Ayahnya tau? Pertanyaan-pertanyaan itu terus muncul di benaknya berulang kali. Ia mencoba menenangkan diri namun perasaan takutnya semakin menghantui dirinya, kilas balik dari kejadian tadi terus terulang seperti kaset di kepalanya. Syhiera terus memukul-mukul kepalanya agar ingatan itu hilang dari otaknya Ia menggigiti kuku jarinya hingga tak dirasa jarinya mengeluarkan darah segar.tapi ia tak perduli seolah-olah ia tak merasakan sakit sedikitpun. Saat tenggelam dalam ke khawatiran,satu ketukan pintu menyadarkannya ia segera bangkit dan melihat siapa yang mengetuk pintunya.

"Siapa?" Ia menyembulkan sedikit kepalanya untuk melihat siapa orang itu

"Saya Non, tuan memanggil Nona di bawah"

"Baiklah,duluan saja, nanti aku nyusul" ia menutup kembali pintu kamarnya dan segera berlari ke arah kamar mandi untuk membasuh wajahnya karna menangis. Ia juga membersihkan darah yang ada di jemarinya. kemudian ia turun untuk menemui sang Ayah.

"Ayah manggil aku?" tanyanya saat ia melihat Ayahnya yang sedang duduk di sofa ruang tamu.

"Duduk" perintahnya dingin, lalu pak Eko kemudian memberinya sebuah kertas yang Syhiera tak tahu kertas apa itu.

"Ini apa? Bisa kamu jelaskan pada Ayah?" pria itu memberikan selembar kertas di depannya dengan tulisan angka 75 diatasnya. Syhiera sedikit terkejut karna ternyata itu adalah hasil ulangan fisika yang tempo hari ia laksanakan.

Namun ia sudah menduga hal ini pasti akan terjadi, ia hanya perlu mempersiapkan diri untuk kemungkinan buruk yang akan terjadi padanya.

"M-aaf Yah, aku udah usaha buat ngerjain, cuman emang ada beberapa rumus yang gak aku ngerti" jawab gadis itu sedikit takut karna pasti setelah ini ia akan terkena masalah, apalagi melihat wajah dingin Ayahnya. Anak itu tahu betul apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Itu karena kamu tidak belajar! Sudah berapa kali Ayah bilang kalo Nilai kamu harus di atas 95! Kapan kamu akan mengerti maksud Ayah"

"Tapi Ayah aku emang udah berusaha sema-"

"JANGAN MEMBANTAH AYAH!! Bukankah kamu tau kalo Ayah tak suka dibantah?" Tegasnya pada putrinya. Abigail memang tak suka ada yang membantah perkataannya tidak peduli siapapun itu. Syhiera yang terus saja membantah dirinya membuat pria itu sedikit jengkel.

"M-maaf Ayah"

"Kamu harus diberi hukuman supaya kamu sadar" ia kemudian berdiri dan menyeret tangan putrinya dengan kasar

"Ayah..jangan Ayah hiks aku gak mau di kurung hiks..aku mohon, aku janji bakal belajar dengan giat" rengeknya pada Abigail namun pria itu tak menghiraukan permohonan putrinya. Ia terus menarik paksa lengan gadis itu menuju gudang.

"Masuk!!!" Ia menghepaskan lengan Syhiera dengan kasar hingga membuat gadis itu tersungkur. Deraian air mata serta permohonan maaf dari bibirnya yang bergetar tak membuat hati Ayahnya luluh begitu saja. Pria itu kemudian mengambil sebuah balok yang tergeletak di dalam gudang tersebut lalu menghantamkannya ke tubuh sang putri beberapa kali hingga membuatnya lebam.

"Tidur di sini Dan renungkan kesalahan kamu!!" Bentaknya lalu mengunci pintu dan beranjak dari sana.

"Ayah...aku salah jangan tinggalin aku..maaf Ayah..aku janji bakal belajar dengan giat...jangan kunciin aku..aku takut Ayah...Ayah!!!!" Ia terus memohon agar Ayahnya membukakan pintu untuknya. Namun nihil sekeras apapun ia memanggil Ayahnya, pria itu tak akan pernah datang.

Sudah 2 jam dia menangis sambil meringkuk disela-sela lengannya yang bertumpu di atas lututnya. Ia hanya berharap salah satu kakaknya datang menolongnya,namun sialnya malam itu keempat kakaknya tak berada di rumah.

Sebenarnya apa salahku? Kenapa aku harus menerima semua perlakuan ini? Tidak bisakah aku hidup tenang walau sehari saja? Pertanyaan itu sesekali muncul dalam benak Syhiera, gadis rapuh itu hanya bisa meratapi diri dan takdir sialannya itu.

Rasa sesak mulai menyerang, ia meremat kuat celananya. sesekali ia akan memukul-mukul dadanya untuk menetralkan pernafasannya. Di dalam ruangan sempit itu ia mulai mengadu pada sang pencipta sampai kapan hidupnya akan menderita dan mungkinkah suatu saat nanti ia tak lagi merasakan sakit?.

Karna rasa sesak yang tak kunjung hilang serta rasa sakit pada sekujur tubuhnya membuat kepalanya berdenyut nyeri kemudian kesadarannya sedikit demi sedikit menghilang. Ia akhirnya pingsan di atas lantai yang dingin ditemani oleh cahaya rembulan yang masuk dari selah-selah jendela yang sudah kusam. Sebelum kesadarannya benar-benar hilang, sekali lagi terucap kata maaf dari bibirnya yang bergetar karna hawa dingin, untuk sang Ayah yang mungkin pria itu bahkan tidak akan mendengarnya.

.
.
.
.
.
.

Part ini pendek banget ㅠㅠ

Ayah, Peluk Aku Sekali SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang