-MyEnemyMyLover-
Mendiamkan Kaili adalah pilihan satu-satunya dan pergi sejauh mungkin dari jangkauan cowok itu adalah hal yang harus Hani lakukan. Jika ada pilihan antara berteman dengan Kaili atau diam sendiri saja tanpa diganggu cowok itu, Hani akan memilih opsi ke dua.
Memasuki waktu acara, para undangan dan orang-orang penting dari banyak sekolah sudah berdatangan dan duduk teratur di tempat masing-masing. Dari tempatnya berdiri sekarang, Hani bisa melihat ada banyak orang. Empat tribun sudah hampir terisi penuh. Bahkan pendingin ruangan, tidak terlalu terasa lagi dan membuat beberapa orang harus membawa kipas tangan sendiri.
"Han."
Hani sedikit menoleh ke belakang dan menemukan Laskar berdiri di dekatnya. Ia hanya menaikkan kedua alisnya ketika menatap Laskar yang masih melihat ke arahnya.
"Udah siap?"
Diam sebentar untuk membasuh bibirnya, Hani menghela napas. "Siap, nggak siap, memang harus siap. Nggak ada opsi lain selain maju aja."
Laskar tertawa pelan dan menepuk pelan puncak kepala Hani. "Lo emang selalu bisa diandelin. Bentar lagi arena gelap, kita cepet lari ke tengah."
"Kita?"
"Lo sama Hendi aja, maksudnya. Siap-siap."
Hani tersenyum kecil dan mengangguk. Ia melihat semua yang ada di tubuhnya lebih dulu sebelum nanti akan benar-benar tampil dan dilihat banyak orang. Kets putih, rok kipas selutut dan semua kancing baju yang masih terpasang. Rambut yang sudah dipakaikan bandana juga riasan yang sangat tipis di wajah.
Perfect.
Dari ujung sana, time keeper yang bertugas hari ini sudah menyalakan Handy Talky (HT) dan membuat semua petugas penting mengangkat semua HT di tangan mereka untuk menjawab komunikasi. Ketika lampu arena redup sampai ruangan menjadi sangat gelap, terdengar suara sound sistem yang dinyalakan serentak dengan semua lampu sorot yang hanya berlangsung selama beberapa detik.
Hal itu membuat tepuk tangan riuh dari semua tribun hingga lampu kembali redup dan suasana kembali gelap seperti semula.
Beberapa detik sebelum tepukan tangan benar-benar berakhir, Hani sudah berlari pelan ke arah panggung dan mengambil duduk di kursi yang sudah disediakan untuknya. Hendi sudah berada di belakang keyboard. Ketika ia mengangguk pelan, Hendi menekan tuts keyboard miliknya dan lampu sorot hanya pada bagian panggung dinyalakan perlahan.
Hani tak siap membuka matanya padahal ia tahu bahwa tak seorang pun bisa ia lihat sekarang walau ia membuka mata. Karena semua sisi gelap dan hanya di tempatnya yang terang. Semua orang bisa melihatnya sedangkan ia hanya bisa melihat gelap serta samar wajah orang yang sudah pasti tak ia kenali siapa.
Tiga puluh menit, kita di sini. Tanpa suara.
Lantunan itu mengalun seiring dengan mata Hani yang membuka perlahan. Benar, tidak ada seorang pun yang bisa ia lihat di kegelapan sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Enemy My Lover
Teen FictionHani menyadari jika dirinya tidak sempurna, ia masih manusia. Menjadi petinggi salah satu organisasi bergengsi di SMA Gandapatih yang katanya sulit ditembus, tidak membuatnya semata-mata menjadi yang paling baik di antara banyaknya yang terbaik. Keh...