Bab 14 Hanya Mimpi

1.5K 166 13
                                    

Siti menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Syukur pak Kenan belum masuk ruang kelas.
Sabrina dengan senyum manisnya menunjukkan salah satu kursi kosong di sebelahnya. Siti mendengus malas, ia tahu Sabrina akan sering melakukan hal itu.

"Terlambat mulu sih lo Ti. Masih ngurus laki lo?"

Siti membelakkan matanya, ia tahu Sabrina hanya bercanda, tapi, sejak pagi tadi memang ada yang aneh. Mama Julian menyuruhnya mengisi nasi dipiring Julian. Lebih parahnya ia harus diantar Julian, walaupun ia meminta turun jauh dari gerbang kampus. Ia memang seperti mengurus suami.

"Astaga, Ti, malah ngelamun lo."

Siti tersadar dari lamunannya. Ia mendengus malas. Sabrina tak tahu jika ia sudah menikah.

"Ti, gue mau kabur dari rumah. Gue tinggal bareng lo ya."

"Enggak."

Siti merasakan seluruh tubuhnya akan meriang. Sabrina benar-benar teman baiknya.

"Ngadi-ngadi lo. Kagak, lo jangan sampai kabur lagi. Entar gue ditembak bapak lo."

Siti makin kesal dengan pemikiran Sabrina. Ia membiarkan Sabrina yang merengek pelan, lalu Sabrina menjatuhkan kepalanya di atas meja.

"Gue gak mau di rumah."

Siti memilih membuka handphonenya.

Keningnya mengerut, satu nomor baru mengirimnya pesan gambar.
Siti mengepalkan tangannya, matanya menyoroti foto di handphonenya.

Potretnya bersama Gavin dan Mega. Ia benci Gavin menunjukkan kenangan-kenangan mereka.
Baginya, semua masa lalu hanya menyakiti hatinya. Walau ia terlihat tamboy, ia juga punya hati.

Siti memilih mematikan data, lalu fokus mendengar apa yang diajarkan pak Kenan.

Jika ia amati dengan baik, pak Kenan tampan dan sangat rapih.

Siti terkejut, langsung memindahkan tatapannya ke arah lain. Tiba-tiba saja Pak Kenan menatapnya.

'Jantung gue njir, hampir lompat.'

Siti menatap ke arah pintu sambil memegang dadanya. Kenapa ia jadi senaif ini?

Matanya kemudian menatap sosok Julian yang melewati kelas mereka. Benar-benar Julian ada di mana-mana.

Entah iblis apa yang merasuki Julian. Pria itu semalam memperingatinya untuk menjauh, lalu yang tadi Julian lakukan di dalam mobil membingungkan dirinya.

'Saya tahu ini pasti sangat cepat. Tapi, mari kita mulai dari awal. Sebentar saya antar kamu pulang.'

"Siti Halime, kamu dengar saya?"

"Huh?" Siti yang sedang menopang dagunya sontak tergelak.
Pak Kenan sudah di depannya, dengan cepat ia melirik Sabrina yang mengkode ke arah slide.

Ia baru menyadari, jika Sabrina selalu memilih tempat duduk paling depan. Salahnya juga datang terlambat. Orang pintar memang selalu memilih tempat duduk paling depan, seperti Sabrina.

"Jika tidak enak badan, kamu bisa ijin pulang."

Siti menatap pak Kenan yang hanya memberi senyum kecil, lalu kembali ke meja dosen. Bahkan pak Kenan sangat memahami keadaannya, walau hanya sekedar melihat. Sedangkan Julian, atau orang di rumah Julian, tak peka sama sekali.

Ia baru menyadari jika ia merasa tak enak sejak pagi. Mungkin karena semalam harus keramas berjam-jam karena muntahan Puteri. Entah sedang apa anak itu. Sangat merepotkan dan menyialkan. Gadis manja itu pasti bolos sekolah.
.....
Siti menatap tangga lantai tiga sambil menyentuh kepalanya yang tiba-tiba berdenyut. Sejenak ia menggeleng pelan mengusir kunang-kunang di matanya.

Siti Bukan Milea (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang