.
.
.
.Banyak hal yang tak pernah Siti bayangkan, termasuk pernikahan dan kehamilan. Ia sedikit berubah dalam penampilan, pakaian daster putih bunga-bunga melekat di tubuhnya yang semakin berisi, dan perut yang membuncit. Enam bulan berlalu begitu saja.
Ia yang dulunya malas membaca, sekarang malah rajin membaca buku tentang kehamilan dan cara mengurus bayi. Hal yang paling ia takuti adalah gagal menjadi seorang ibu yang baik. Apalagi ia perempuan liar dulunya."Kamu mau jalan-jalan?"
Siti menoleh ke belakang, bisa ia lihat Julian berdiri tidak jauh darinya dengan senyum kecil. Siti mengangguk beberapa kali seperti anak kecil. Julian menepati janji, pulang dari kantor jam 5 sore. Menggandeng tangan Julian, Siti tersenyum kecil menghirup udara sekitar kompleks perumahan ini.
"Mas Jul!" panggil Siti pelan.
"Hm?"
Siti menggenggam erat tangan Julian. Ia tak pernah membanyangkan akan berjalan beriringan dan menggenggan tangan Julian seerat ini.
"Bagaimana keadaan Tania?" sudah dua minggu Tania pergi berobat. Hanya itu yang ia tahu.
Julian menghentikan langkah kakinya. Matanya menatap Siti begitu dalam. Sedetik berikutnya, Julian berjongkok dan menyentuh perut Siti.
"Apapun keadaanya, kamu dan bayi kita harus lebih sehat."
Siti tersenyum kecil, ia pikir Julian masih mencintai Tania, setelah tahu Tania sakit.
"Apa kamu masih mencintainya?" Sudah lama ia ingin bertanya, walaupun Julian mengatakan ia dan Tania sudah tak ada hubungan apapun, kedekatan kedunya kadang membuat takut, takut jika Tania merebut Julian darinya. Walau kenyataan, ia yang mengambil Julian. Tetap saja Tania memberikan Julian untuknya. Kadang ia merasa stres dengan pikirannya sendiri.
Julian bangkit berdiri, ia menatap kedua bola mata hitam Siti."Apa hal itu penting? Waktu sudah banyak merubah segala hal, termasuk takdir hidup seseorang. Tentu juga dengan cinta."
Julian mengacak rambut Siti dengan gemas. Ibu hamil di hadapannya selalu menanyakan perihal perasaannya untuk Tania.
Siti mengerucuti bibirnya seperti bocah. Jika mau jujur, ia ingin mendengar kalimat Julian mencintainya. Tapi, mungkin terlalu cepat untuk keduanya membicarakan kalimat cinta.
"Ayo kita ke sana!"
Siti menarik tangan Julian menuju sekumpulan muda-mudi yang sedang melihat sesuatu.
Siti tersenyum kecil melihat seorang remaja pria menyanyikan lagu dan menyatakan cinta untuk gadis cantik yang berdiri di hadapan remaja pria itu.
Dulu saja, ia pernah melihat Gavin melakukan hal itu untuk sepupunya Mega.
"Para remaja kasmaran."
Siti hanya menggeleng pelan mendengar Julian yang mencibir pelan. Keduanya keluar dari kerumunan lanjut berjalan lagi.
"Mas Jul, kalau diberi mesin waktu, apa yang ingin mas Jul lakuin?"
Julian menghentikan langkahnya. Melihat Julian yang terdiam, Siti mengerutkan keningnya, begitu sulit Julian memilih.
"Ke dalam perut mama mungkin."
Siti memukul pelan bahu Julian. Julian hanya tersenyum kecil.
"Aku pengen makan somai."
Menikmati sore hari dengan makan somai adalah kebahagian tersendiri untuk Siti, apalagi makan di temani suami tercinta. Duduk di atas kursi pelastik dengan danau sebagai pusat pemandangan, Siti begitu menikmati momen ini. Julian selali sibuk, kadang pulang malam, kadang lembur, hari ini Julian menepati janji untuk menemaninya, walau tidak sehari penuh.
Julian menyodorkan sepiring somai miliknya ke arah Siti.
"Buat bayi kita." Siti mengangguk pelan sambil tersenyum kecil. Belum lahir saja, Julian begitu menyayangi bayi mereka, apalagi sudah lahir.
"Papa aku pengen bungkus somainya bawa pulang loh." Ujar Siti dengan suara yang dibuat seperti anak kecil.
Julian hanya tersenyum kecil, tak lupa ia membersihkan sudut bibir Siti yang belepotan.
"Tak pernah berubah." Siti terdiam menatap wajah Julian yang begitu dekat dengannya. Tak dipungkiri jika jantungnya berdetak dengan cepat, dan wajahnya memerah malu.
Julian menghentikan usapan di bibir Siti, kedua mata mereka bertemu beberapa detik.
Julian memutuskan kontak mata mereka, lalu menyodorkan botol mineral ke arah Siti.
"Ti, jika kamu punya mesin waktu, apa yang akan kamu lakukan?"
Mendengar kalimat Julian, Siti terdiam sejenak. Banyak hal yang ingin ia lakukan, tapi untuk sekarang ia merasa bahagia bersama Julian.
"Untuk sekarang, aku tak ingin kembali."
Julian menatap Siti yang begitu bahagia. Siti tersenyum lebar menatap Julian.
"Untuk apa kembali? Jika aku sangat bahagia di waktu sekarang?"
Siti terkekeh pelan, ia merasa semakin berubah menjadi orang lain. Dulu, ia ingin muntah mendengar kalimat-kalimat manis, tapi sekarang ia sendiri mengeluarkan kalimat-kalimat manis itu.
Dering telepon menyadarkan Siti dan Julian yang masih saling pandang.
Tania
Julian pergi menjauh menerima telepon. Wajah Siti berubah sendu, ia ingin meminta Julian jangan mengangkat, tapi ia tahu Julian begitu peduli pada Tania.
"Ti, aku antar kamu pulang, Tania kecelakaan."
Siti tak pernah melihat Julian sepanik ini.
"Aku pulang sendiri aja. Gak jauh juga."
Siti mencoba tegar.
"Benaran? Gak apa-apa?"
Siti tersenyum getir, ia pikir Julian akan mengatakan tidak. Ia yang bodoh mengetes kepekaan seorang Julian. Seberarti itu Tania di hati Julian.
"Apa seberarti itu Tania di hati kamu?"
Julian baru saja memutar tubuh untuk pergi, tapi kalimat Siti menghentikannya.
"Maksud kamu?" Siti yang sejak tadi menunduk, mengangkat wajahnya menatap Julian dengan sedih.
"Kamu begitu kahwatir padanya!"
"Dia tak punya keluarga. Apa kamu tahu, saya berjanji pada orangtuanya, untuk menjaga Tania dengan baik."
Julian pergi begitu saja saat dering telepon berikutnya berbunyi. Tanpa Julian lihat, Siti mengeluarkan air matanya.
.
.
.
.
.😅 3 bab lagi selesai ya. Maaf banget cerita ini lama up, karena emang sibuk banget akhir-akhir ini.
Makasih yang pertama buat para komentar dan yang mendukung dengan vote❤❤. Saya semangat nulis karena kalian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siti Bukan Milea (End)
RomanceSiti tersenyum pedih melihat Julian berlari pergi meninggalkannya di taman demi Tania, masa lalu pria itu. Hal yang membuatnya terlihat bodoh, tak bisa marah dan melarang, karena pada dasarnya ia hadir menjadi istri Julian karena perjodohan.