Siti merasa pendengarannya tuli. Ia bahkan tak peduli suara Kenan yang memanggilnya, ataupun suara penuh kahwatir Tiara yang memanggilnya. Hujan begitu lebat, bunyi klakson mobil terdengar lalu-lalang. Menahan taksi, Siti dengan cepat masuk dan pergi. Ia tak ingin mendengar apapun lagi. Hari ini terasa mengejutkan. Ia bahkan tak membawa brownies yang ia buat dengan susah payah.
Sepanjang perjalanan, Siti sama sekali tak peduli jika tubuhnya basa karena menerobosi hujan tadi. Ia tak bisa berpikir dengan jernih.
Hari semakin gelap, sore tampak tak lagi meninggalkan jejak. Hujan masih mengguyur dengan lebat, Siti tiba di rumah keluarga Wang, langit tampak sudah gelap.
"Acara tujuh bulan cucu mama gimana? Tania, mama percayakan semuanya ke kamu."
Tania mengangguk dan tersenyum kecil.
"Aku akan melakukan yang terbaik Ma."
"Ma Siti kemana?" Julian menatap sekeliling.
"Lah, mama kira dia tidur."
Julian beberapa kali menelpon nomor Siti, nihil nomor tak aktif. Di luar hujan masih lebat, kilat menyambar bahkan bunyi gumuru terdengar nyaring.
"Tenanglah Jul-"
"Tenang gimana? Kata Marina Siti pergi sejak pagi."
Tania membeku, ia tak pernah melihat Julian sekahwatir ini, bahkan sampai membentaknya.
"Kamu bentak aku Julian."
Tania menatap penuh luka ke arah Julian. Tersadar jika ia telah membentak Tania, Julian mengusap wajahnya, lalu menarik Tania ke dalam pelukkannya.
"Maaf, aku hanya kahwatir pada bayi di perutnya."
Julian melepas pelukkannya, ia tak bisa menyakiti Tania lebih dalam lagi.
"Kamu tahukan, aku terlalu sabar dan nahan cemburu. Andai aja aku bisa punya anak, semua ini gak bakal terjadi."
Julian memejamkan matanya sebentar, mencoba menenangkan pikirannya.
"Kita udah di pertengahan, 3 bulan lagi, anak itu akan lahir, kamu bisa menahannya. Kita sudah sepakat untuk merawat anak itu bersama-sama." Julian mencoba menenangkan Tania. Ia harus bisa membuat Tania tidak depresi, alasan ia kerumah sakit bukan karena Tania kecelakaan, tapi Tania selalu menyakiti diri sendiri ketika ia dekat dan mesra bersama Siti.
Gemuru berbunyi lagi. Siti membeku, kakinya bahkan melemas.
Ketiga orang yang berdiri di ruang tamu sontak berbalik menatap sosok Siti dengan gaun yang basa.
"Siti." Panggilan itu keluar dari mama Julian yang terlihat memucat.
Julian melangkah dengan cepat menghampiri Siti.
"Kenapa jam segini baru pulang? Kamu tahukan bahaya-"
"Kalian jadikan aku alat untuk menghasilkan anak? Maksud kamu Bahaya untuk anak ini?"
Siti memotong kalimat Julian. Mati-matia ia menahan tangis. Ia tak ingin percaya kalimat Kenan, jika Julian berlibur bersama Tania. Julian memang pergi, tapi urusan pekerjaan ke luar kota.
Melihat Julian hanya diam, Siti tersenyum pedih, ia merasa begitu terluka, tak ingin lagi di sini, ia berlari pergi.
Siti berlari menerobos hujan. Tidak peduli lebatnya hujan dan tubuhnya yang sudah terlanjur basa.
Julian menahan tangan Siti agar tak lagi berlari. Keduanya basa dan saling tatap dengan emosi masing-masing.
"Udah, udah senang hancurin aku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Siti Bukan Milea (End)
RomanceSiti tersenyum pedih melihat Julian berlari pergi meninggalkannya di taman demi Tania, masa lalu pria itu. Hal yang membuatnya terlihat bodoh, tak bisa marah dan melarang, karena pada dasarnya ia hadir menjadi istri Julian karena perjodohan.