Bab 3. Makan Malam

1.8K 194 8
                                    


Benar-benar hari sial. Siti dan Mang Romi harus terjerat macet. Memang biasa saja sih, namanya juga 'kota metropolitan. Tapi yang bikin Siti makin kesal itu bukan macet tapi mama Julian alias mama mantunya.

"Belanja saja lama banget kamu."

Siti mendesah berat. "Macet ma, tanya saja sama mang Romi." Memang benar macet kok

"Alasan saja kamu, memang pada dasarnya belanjanya yang lama, milih sayurnya saja hampir dua jam."

Siti mendesah berat, jujur dari hati yang paling dalam, memang ia tidak bisa masak, tidak biasa belanja sayur, dan bumbu-bumbu dapur, untung tadi ada mang Romi yang bantuin, tapi memang macet jalanan.

"Sudahlah ma suruh kak Julian ceraiin saja." Siti memutar bola mata malas. Masa bodoh ia ngeletakin kantong berisi belanjaan ke dapur.

"Kamu gak maukan dicerain anak saya yang paling tampan?"

Siti merasa ingin muntah mendengar kalimat mama Julian. Perempuan paruh baya ini memang selalu memuji-muji anak-anaknya. Karena tak kunjung dijawab, mertuanya mengerang kesal.

"Jangan lupa kamu masak ya. Mbok Ijah lagi mudik, Marina juga masih sakit. Kepala saya mendadak sakit karena kamu." Apalagi ini coba? Siti mendesah berat. Kenapa ia yang membuat mama Julian sakit?

"Tapi-"
Siti ingin protes, tapi mertuanya main serobot pergi saja. Yang bisa ia lakukan adalah masak mie, masak air dan telur rebus, makanan serba instan wkwkw.

Siti menatap sayuran dengan horor, mbok Ijah tidak ada, Mbak marina juga sakit, benar-benar sepaket sial yang mendatanginya. Siti merasa kelimpungan sekarang.

*

Geometri menahan tawanya. Yang bisa Siti lakukan sekarang adalah tersenyum lebar. Memaksa senyum lebih tepatnya. Ia merasa malu di hadapan Geometri, cowok yang ia sukai, ujung hatinya merasa sedih, apa yang bisa dibanggakan darinya sekarang?

"Makanan apaan nih mami?" Puteri berteriak histeris menujuk daging yang gosong sebelah. Siti ikut menatap daging yang Puteri tunjuk. Mahakarya yang ambruadul. Memang ia tidak bisa masak. Siti ikut menatap makanan yang tersajih di atas meja. Ia benar-benar tak habis pikir, jika hari ini ia masak sendirian, walaupun bentuk dan rasanya pasti sangat kacau.

Mami Julian yang menyuapkan soup hangat, langsung terbatuk-batuk dan berpose ingin muntah.

"Makanan ini layaknya untuk hewan." Siti memaksakan senyum dan menggaruk pipi kiri yang mendadak gatal. Suara tawa Geometri terdengar. Siti sempat melirik Julian yang hanya datar saja, anggap dirinya kasat mata. Siti menatap Geometri yang tersenyum padanya. Benar-benar sangat malu.

"Maaf mi, Siti tidak bisa masak. Ini yang perdana" Jujurnya membuat Puteri memasang wajah sebal, dan mertuanya meringis sakit.

"Astaga leher mami." Siti membuka mulut terkejut saat mertuanya memegang lehernya. Darah tinggi kumat, Siti memasang wajah penuh bersalah.

"Sudahlah Mi, Siti itu menantu kita, wajar dia tidak bisa masak, Tania dan Surya pasti memanjakannya." Siti turut mengangguk dengan pembelaan ayah mertua. Benar mereka sangat memanjakan, saking memanjakkan ia tidak tahu masak.

"Belain dia terus saja papi." Siti hanya cemberut saat mama Julian pergi begitu saja dituntun Puteri. Seperti biasanya, Puteri memberi Siti tatapan tak sukanya.

"Julian mau ke mana?" Julian menatap papanya sebentar, tapi tidak meliriknya 'sama sekali. ia benar-benar kasat mata. Siti merasa kesal.

"Keluar." Jawaban yang sangat singkat, jelas dan padat.

"Keluar bawa Siti, kasihan dia pasti belum makan."

Julian dan Siti saling pandang, Siti merasa kesal karena Julian selalu menatapnya dengan ketidak sukaan.

Siti Bukan Milea (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang