Bab 18 Goyah

1.8K 148 12
                                    

Maaf baru update, aku sangat sibuk.😔 Aku harap bunda-bunda di sini masih setia menunggu.

Jika batu yang keras bisa lapuk terkikis air, lalu bagaimana dengan hati, jika terus diterpa dengan segala perlakuan aneh tapi, membuat hati goyah?

"Melamun teros."

Siti mendengus malas saat Sabrina menyodorkan laptop kearahnya.

"Apaan?" Tanya Siti bingung, apa yang diinginkan Sabrina.

"Katanya mau pinjam laptop, biar bisa ubah PPT yang salah."

Siti mendesah kasar, lalu menelungkupkan kepalanya di atas meja kantin. Presentasi kelompoknya kacau, dan otaknya sedang tidak berfungsi dengan baik.

"Sumpah Geometri keren banget." Siti makin membuang nafas lelah, ia capek memikirkan perubahan sikap Julian.

Jika di rumah Julian seperti menyukainya, tapi jika di kampus, keduanya seperti orang asing. Sebenarnya tidak masalah dengan keasingan yang terlanjur menjadi kebiasaan.

Tapi, bagaimana jika kebiasaan itu perlahan-lahan membuat hatinya bimbang. Yang lebih membuatnya syok, mertuanya meminta cucu, dengan alasan sudah tua, dan ingin mendengar suara bayi. 

"Siti, saya harap kamu udah siap memberi cucu."

Kalimat itu ia dengar pagi tadi, setelah kejadian memalukan dengan Julian. Mengingat kejadian pagi tadi, wajah Siti memerah.

"Ti, lo kenapa sih? Lo demam?"

Siti mengangkat wajahnya menatap Sabrina, lalu menggeleng dengan polosnya.

"Sab, lo pernah tidur sama cowok."

Sabrina yang sedang asik menikmati jus alvokad langsung tersedak. Mata Sabrina membelak, wajahnya memerah karena batuk. 

"Kenapa lo nanya kayak gitu? Lo baru tidur sama siapa Halime, wah gila." Cerocos Sabrina panjang lebar.

Siti tahu reaksi pasti heboh, lihat saja beberapa siswi yang ada di dekat leduanya menatap penasaran.

"Sab. belum pernah rasain mulut kena azab?" Sabrina sontak menutup mulutnya, lalu menatap sekeliling yang sedang memperhatikan mereka. Sabrina mendekati wajahnya ke arah Siti.

"Sorry, Ti, gue kaget." Bisik Sabrina pelan. Sepertinya Siti akan menjadi bahan gosipan karena mulutnya.

Siti mendesah malas. Ia sebenarnya masa bodoh dengan sekitar. Masa bodoh orang akan menggosipinya apapun. Satu yang ia tanam, tidak ada yang akan membantunya, mereka hanya berbicara, tapi tak ada saat ia susah. Biarkan saja mulut-mulut sialan itu berbicara. Nayatanya hanya ia dan Tuhan yang tahu.

"Lupain, gue nanya apa, lo jawab apa." Siti memilih menatap laptop dengan tampilan wajah Sabrina.

Jujur saja, ia belum pernah tidur dengan pria. Cucu? ia sendiri masih berasa belum menikah. Hanya karena satatusnya yang berubah.

Rasanya aneh, mertuanya terlalu ngotot untuk ia dan Julian berikan cucu.

Siti menatap hand phonennya yang bergetar. Pesan dari nomor baru membuat ia megerutkan kening dalam.

+62×××××××
Bisakah kita bertemu?

**
Akan menjadi masalah jika ia terus pikiran berujung stres. Siti menunggu sosok yang mengajaknya bertemu.
Siti menopang dagunya sambil bermalas-malasan. Ia harus segera pulang, karena mama mertuanya terus saja merecokinya. Entah setan jenis apa yang merasuki mama mertuanya.

"Maaf telat, kamu sudah menunggu lama?" Suara lembut itu menyadarkan Siti.

Tania, duduk dengan senyum kalem. Melihat tampilan Tania yang begitu anggun dan cantik, Siti sejenak tak percaya jiks Julian mulai mengajaknya serius.

"Kenapa mbak ngajak bertemu?"

Tania hanya memasang senyum seperti biasa. Mata lentiknya menatap lekat ke arah wajah Siti yang masih bertahan dengan kening mengerut.

"Kamu memang tidak suka berbasa-basi ya."

Siti mengangguk dengan polosnya.

"Aku hanya ingin memberitahu kamu."
Keheningan sejenak memberi jedah.
"Aku dan Julian memutuskan untuk berhenti."
Tania sejenak menunduk dengan wajah sedih.
Siti membuka mulutnya, syok. Tentu saja ia merasa suasana mendadak aneh.

"Aku gak bisa bersama pria yang sudah beristri. Mau kah kamu membahagiakan Julian?"

Siti menatap dalam diam, Tania yang menangis.

"Sebagai sesama wanita, aku mengalah, aku rela Julian sama kamu."

Tapi kenapa? Kalimat itu menari-nari diotak Siti. Ia merasa aneh dan bingung. Permintaan Tania terlalu mendadak.

**

"Aku gak punya banyak waktu, ini rahasia besar yang aku gak bisa cerita  sama Julian, aku sakit umurku gak akan lama."

Siti menyandarkan kepalanya di jendela taksi. Hatinya sejenak goyah.

Tania menyentuh dua tangannya di atas meja. Wajah Tania terlihat putus asa.

'Anggap saja ini permintaan terakhir aku. Aku mohon, jangan sampai Julian tahu, dia tahunya aku ninggalin dia karena pria lain."

Mungkinkah ia harus menerima permintaan terakhir Tania sebagai orang sakit yang sekarat.
Setelah membayar taksi, Siti berjalan gontai memasukki rumah.

Bahkan beberapa kali telepon dari Meno ia hiraukan. Meno pasti terkejut karena ia berhenti bekerja. Terikatnya ia dengan Julian, membuat pergerakkannya perlahan sempit.

"Kamu melamun?"

"Huh?" Siti menggaruk keningnya yang tak gatal. Julian, pria yang sejak kemarin menjadi masalah berdiri di hadapannya.

"Aku telpon beberapa kali kamu nggak angkat. Kamu kemana?"

Siti makin mengerutkan keningnya. Ia semakin tak percaya dengan kelakuan Julian.

"Kenapa?" Tanya Siti dengan raut wajah bingung.

"Kenapa apa?"
Siti menatap Julian penasaran.

"Kenapa kamu banyak berubah?"

Julian sejenak terdiam.

"Ya karena kamu istriku. Bukankah istri harus mematuhi semua perintah suami?"

Siti mengusap wajahnya pelan. Pikiran dan wajahnya sama-sama kacau.

"Emangnya kamu gak sayang lagi sama Tania?"

Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Siti. Ia hanya ingin memastikan   perasaan Julian.

"Dia yang memilih pergi."
Hanya itu yang Julian katakan.
Julian sejenak tersenyum menatap lekat wajah Siti.

"Kamu tak buruk untuk menjadi ibu dari anak saya nanti."

Jantung Siti berdetak kencang. Tidak mungkin ia goyah dengan gombalan basi seperti ini.

 Tidak mungkin ia goyah dengan gombalan basi seperti ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Maaf baru Update. 😐 Semoga sibuknya cepat selesai. Heheh.

Siti Bukan Milea (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang