Bab. 28 Butuh Kepastian

2.2K 154 6
                                    

.
.
.
.🤗

Siti menghapus air mata yang tiba-tiba mengalir di pipinya. Julian tak pernah peka. Janji Julian pada mama dan papa Tania sebelum meninggal, benar-benar membawa Tania tetap berada di antara mereka. Ia juga tak bisa marah, karena pernikahan mereka di dasari pertunangan sejak ia kecil. Tak ada cinta dan tak ada kesan baik di awal pernikahan. Bermodal nekat, dan keyakinan jika pernikahannya tak akan kacau. Julian sendiri yang memintanya untuk memulai dari awal.

Hari mendadak gelap, gerimis kecil perlahan turun. Hanya gerimis tapi bisa mencerminkan isi hatinya. Siti masih duduk di taman membiarkan langit berubah menjadi gelap.

"Lo mau mati muda huh?" Siti menatap Meno yang datang memayungi tubuhnya yang basa.

"Gue pengen mandi No."

Meno berdecak tak suka. Siti menelponnya untuk menemaninya mandi hujan. Jika sudah begini, ia tahu Siti sedang tak baik-baik saja.

"Gue udah bilang, kalau gak bisa lagi, udahin aja. Lihat lo kayak gini, gue pegen gebukin Julian."

Siti menatap nanar ke arah Meno. Kakak dan sahabat itulah Meno baginya.

"No, gue masih pengen berjuang, Tania kecelakaan, Julian punya utang janji sama orangtua Tania."

"Stop belain dia terus Ti. Lalu, kenapa lo nangis dan duduk kehujanan di sini? Bukannya lo tadi pamerin ke gue mau jalan sama Julian?"

Siti terdiam sejenak. Posisi keduanya masih sama. Meno berdiri memayungi Siti yang masih duduk di bangku taman.

"Gu, gue gak tahu. Pengen aja."

"Bohong." Siti menatap wajah Meno yang tampak kesal dengan jawabannya.

"Gue percaya sama Julian, lo sendiri yang bilang cowok butuh waktu untuk memulai semua dari awal. Buktinya gue sama Julian bakal punya bayi."

Keras kepala, Meno hanya membuang nafas pelan. Udara sekitar semakin dingin. Meno meletakkan jaket ke bahu Siti.

"Karena lo bakal punya bayi. Jangan main hujan lagi, jaga kesehatan."

Siti dan Meno jalan beriringan dengan payung. Masih gerimis, Siti mengeratkan jaket di tangannya. Keduanya sampai di depan gerbang rumah keluarga Wang. Meno menyerahkan payung ke tangan Siti. Menatap perempuan keras kepala yang telah ia kenal sejak kecil.

"No, makasih." Hanya itu kalimat yang Siti ucapkan. Sejak tadi, ia dan Meno hanya diam dalam perjalanan. Ia yang meminta jalan kaki.

Meno hanya membuang nafas kasar.

"Tetap bahagia. Jaga bayi lo baik-baik. Gue tetap ada saat lo butuh."

Siti mengangguk pelan, ia berbalik pergi. Meninggalkan Meno yang masih berdiri di tempat yang sama tak bergerak sama sekali. Hingga ia sampai di pintu masuk, Meno berbalik pergi.

*

"Astaga, baru aja gue mau cariin. Bang Julian hampir gila lo gak angkat telepon."

Geometri dengan rambut acak-acakkan berpapasan dengan Siti di depan pintu masuk sambil memegang payung dan hand phone di telinganya.

Siti hanya diam, ia tak lagi merasa mual di dekat Geometri. Ia menatap penuh ke arah Geometri yang menyerahkan hp kepadanya. Paham jika Julian yang menelpon, tanpa basa-basi Siti langsung menjelaskan.

"Hp aku mati. Aku terjebak gerimis."

Lain kali langsung pulang, kamu lagi hamil Siti. Jangan buat saya kahwatir.

Siti tersenyum kecil. Julian nada kahwatir terdengar jelas. Bagaimana ia ragu, jika Julian serius memulai kehidupan bersamanya?

"Bagaimana keadaan Tania?"

Siti Bukan Milea (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang