.
.
.
.
.
.
.Mendengar kalimat Gavin, Siti benar-benar kesal. Ia meremas botol mineral yang kosong hingga penyot.
Gavin tertawa kecil membuat wajah Siti makin kesal.
"Aku tahu kamu gak bakal mau."
Siti mendengus tak suka."Ya, ngapain gue kembali sama lo? Gak ada guna."
Gavin makin mendekat, Siti yang sedang duduk hanya menjauhkan sedikit kepalanya.Beberapa menit keduanya saling tatap, Gavin kembali menarik wajah menjauh.
"Ternyata benar, waktu emang bisa ngerubah hati orang."Siti paham maksud Gavin, ia hanya masa bodoh. Sakit yang ia rasakan menimbulkan banyak benci di hatinya.
Gavin kembali memasukan tangan di kedua sisi celananya."Karena kamu gak mungkin mau, aku gak bisa membatalkan pernikahan ini."
"Kenapa lo sama Mega?"
Gavin yang sudah melangkah pergi berhenti. Siti tak ingin peduli, tapi rasa penasaran begitu besar, mengalahkan ego kali ini."Kita gak cocok." Tanpa berbalik Gavin berucap, lalu pergi begitu saja.
Siti berdiri dari tempat duduknya, dua tangannya mengepal erat. Bukankah Gavin begitu menyukai Mega? Hingga menyakiti hatinya, disaat kedua orangtuanya meninggal, Gavin dan Mega memilih ke luar negeri untuk melanjutkan study.
Dua orang yang melukai hatinya begitu besar.
"Gak cocok?" Siti tertawa sinis, sedangkan Gavin masih membelakangi Siti.
Menghirup udara sekitar yang seakan menipis, Siti memejamkan matanya, berharap emosinya tak meledak sekarang."Lalu di mana Mega, paman dan bibi gue sekarang?" Kisah cintanya biarlah menjadi kenangan, yang harus ia pikirkan sekarang adalah paman dan bibinya.
Ia butuh penjelasan dari mereka, bagaimana bisa perusahaan papanya bangkrut, lalu mereka pergi tanpa pamit padanya. Meninggalkan ia sendiri menanggung beban hidup yang begitu berat."Entahlah, kamu tak perlu mencari mereka. Bukankah hidup kamu yang sekarang lebih baik?"
Siti mengerut kening bingung. Merasa aneh dengan kalimat Gavin. Pria itu pergi begitu saja tanpa menjelaskan maksud dari kalimatnya.
**
Siti beberapa kali bolak-balik di kamar tidur. Ia dan Julian berjanji untuk memulai hubungan yang baru, dan harus saling terbuka. Sedangkan beberapa kali ia telepon nomor Julian sama sekali tidak aktif.
Jarum jam menunjukkan 19.00, Siti mendesah berat, biar saja nanti juga ia akan menjelaskan pada Julian.Mobil ferari hitam terparkir pada perempatan jalan, kompleks dimana Siti pernah turun. Kenan turun menghampiri Siti. Menatap sebentar tampilan Siti, Kenan tersenyum kecil. Benar-benar gadis yang tak bisa dandan. Lihat saja kaus oblong hitam dan celana jeans hitam sobek-sobek, rambutnya diikat kuda. Sederhana dan apa adanya, itu yang membuat ia tertarik pada Siti.
keduanya masih diam beberapa menit. Siti menoleh ke arah Kenan yang begitu serius mengemudi. Tampilan Kenan begitu rapih, kaus putih dipadui jas hitam dari luar, jika ia amati dari dekat seperti ini, pak Kenan memang sangat tampan.
Siti langsung membuang wajah ke luar saat Kenan berbalik, seperti menangkap basa sedang diperhatikan."Ti, kalau nanti ditanya kapan pacaran, jawab aja setahun."
Siti mengangguk saja, toh ia ingin malam ini cepat berakhir.
Turun dari mobil, Siti menatap restoran berbintang lima di hadapanya.
"Gandeng tangan saya, biar mereka percaya kamu kekasih saya."
Siti merasa enggan, namun tak bisa menolak, karena ia sudah berjanji untuk menolong Kenan. Saat menyentuh lengan Kenan, Siti merasa aneh, ia merasa begitu nyaman. Mungkin ia sudah gila merasakan hal yang harusnya tak pantas ia rasakan. Apalagi ia sudah bersuami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siti Bukan Milea (End)
RomanceSiti tersenyum pedih melihat Julian berlari pergi meninggalkannya di taman demi Tania, masa lalu pria itu. Hal yang membuatnya terlihat bodoh, tak bisa marah dan melarang, karena pada dasarnya ia hadir menjadi istri Julian karena perjodohan.