Siti merenggangkan tubuhnya. Duduk menunggu dosen adalah satu hal yang sedang ia dan teman-teman kelasnya nantikan.
Menjadi istri seorang Julian yang tajir melintir bukan suatu kebanggan baginya. Seberapapun pria itu menghalanginya untuk bekerja, ia tetap Siti yang pantang mundur. Buktinya ia kembali bekerja sampai jam 10 malam. Bekerja adalah jalan satu-satunya terlepas dari kesialan di rumah keluarga Wang itu.
Namanya saja Wang, keluarga banyak uang.
Bu Siska dosen cantik berpenampilan bak artis itu masuk dengan senyum ramah. Siti menopang sebelah tangannya di pipih. Bena-benar sempurna bu Siska di matanya. Cantik dan pintar melekat pada bu Siska, banyak mahasiswa dan dosen yang jatuh hati pada perempuan singgel ini.
"Baik, saya akan membagikan kelompok, masing-masing kelompok akan mempresentasikan setiap materi yang ada di slide ini. Penomorannya bisa ikut NIM, satu kelompok empat orang. Saya sedang ada urusan, silakan kalian kerjakan."
Siti mendesah malas. Hanya itu, lalu bu Siska keluar.
Kelas menjadi ricuh. Ia sangat benci tugas kelompok. Jika ikut NIM, maka ia akan sekelompok dengan duo nenek sihir. Tukang bully dan suka memamerkan kekayaan. Seperti semester lalu, ia yang harus mengerjakan PPT, dan kelompok mereka dikritik habis-habisan dari bu Risa karena PPT terlalu padat dengan tulisan.
Siti menelungkupkan kepalanya di atas meja. Ia mendadak semakin malas.
"Ti, kerjanya di rumah gue aja ya."
Siti sontak mendongak menatap Tia dan Karin yang tersenyum menyebalkan menurutnya.
"Terserah lo berdua. Tapi, kalau lo gak bantuin gue. Abis." Siti menaruh sebelah tangannya ke leher, membuat pose memotong.
Keduanya syok. Siti mengambil tasnya lalu melangkah pergi diiringi Sabrina.
Sekali-kali kedua perempuam itu harus diberi pelajaran. Walaupun ia bodoh dalam pelajaran, bukan artinya ia bodoh untuk dimanfaatkan."Ti, bantuin gue dong."
Siti mengerutkan keningnya, tapi ia tetap melangkah menelusuri lorong kampus. Tujuannya sekarang adalah perpustakaan.
"Bantuin apa?"
Sabrina ikut masuk saat Siti masuk ke perpustakaan kampus.
"Gantiin gue ketemu cowok yang mau dijodohin sama gue dong."
"APA? OGAH."
Sontak keduanya menjadi pusat perhatian. Sabrina memohon maaf atas keributan yang dibuat Siti.
Benar saja mereka ditegur mahasiswa yang ada di situ."Jangan teriak ogep."
Siti mendengus malas. Ia sedang dalam mood buruk sejak menikah dengan Julian.
"Satu kali aja ya, kali ini aja."
"Nggak."
Siti kembali memilih buku. Ia pikir ayah Sabrina emang keterlaluan, terus saja menjodohkan Sabrina, dan ia selalu saja harus membantu Sabrina untuk menggantikan dalam perjodohan. Entah ini sudah keberapa kali."Gila kali bapak lo, masih aja jodohin lo."
Siti tak menyangka papa Sabrina yang seorang tentara juga berpikiran sempit, dengan perjodohan. Entah sudah beberapa kali Sabrina dijodohkan.
"Kan lo tau gue sukanya sama Geometri."
Siti memutar bola matanya malas. Ia memang mengagumi Geometri, tapi Sabrina lebih gila mengagumi Geometri.
Ia pernah hampir jantungan karena melihat muka bapaknya Sabrina yang kejam. Bisa-bisanya Sabrina menempatkannya di posisi yang berbahaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siti Bukan Milea (End)
RomanceSiti tersenyum pedih melihat Julian berlari pergi meninggalkannya di taman demi Tania, masa lalu pria itu. Hal yang membuatnya terlihat bodoh, tak bisa marah dan melarang, karena pada dasarnya ia hadir menjadi istri Julian karena perjodohan.