Satu bulan berlalu begitu saja. Siti menuruni tangga dengan wajah pucat. Tapi, sebagai menantu atau seorang istri ia juga mulai melakukan aktivitas layaknya seorang istri, walaupun sayur yang ia buat rasanya kadang hambar, gosong, asin dan lebih parahnya kemanisan. Demi memulai keluarga yang harmonis bersama Julian, ia rela melakukan apapun, termasuk masak, hal yang paling tak ia sukai.
"Gimana enak?"
Siti menghentikan langkah kakinya. Mendadak moodnya tak bagus. Lihat saja kedua insan itu begitu asik tertawa sambil mengaduk sayur.
"Uhuuk." Marina meletakkan ikan yang baru dibersihkan. Sontak saja keduanya berbalik. Wajah Julian tampak panik melihat Siti.
"Ti, sejak kapan kamu di situ?"
"Baru kok." Siti menuju Marina yang sedang mencampur bumbu ke ikan.
Julian pergi begitu saja. Tania kembali masak, suasana menjadi canggung. Jujur saja ia merasa kesal dan tak suka dengan kehadiran Tania. Mantan pacar suaminya itu seperti sedang merebut hati keluarga ini.
"Ti, biar aku aja yang goreng ikan itu, kamu duduk aja."
Siti menatap Tania penuh. Wajah Siti tampak tak baik, menahan kekesalan dan cemburu sejak tadi.
"Gak usah, bukannya mbak sakit? Mbak aja yang duduk."
Siti menarik kembali dulang berisi ikan.
"Biar aku saja." Tania dan Siti saling menarik dulang.
Marina berdiri dengan kening berkerut. Beberapa kali tangannya bergerak untuk melerai, tapi tak jadi. Pada akhirnya ikan yang kedua rebutkan jatuh. Sedangkan tubuh Tania menabrak meja.
"Aaaaahhhhhhh."
Siti dan Tania kompak menatap sumber suara. Siti menatap Mertuanya yang tertimpa ikan di kepala.
Julian dan Geometri berlari kecil menuju ruang dapur.
"SITIIIIII."
Siti menelan ludah kasar. Mertuanya menatap tak suka padanya.
"Kalau gak bisa masak gak usah mengacau."Siti menjatuhkan dulang yang ia pegang.
"Kamu gak apa-apa?" Siti mengepalkan tangannya kesal. Sayangnya kalimat itu bukan untuknya.
"Gak apa-apa Jul. Sana ke istri kamu."
Tania melototi Julian agar tak memperhatikannya.
Siti melangkah pergi, ia merasa orang di rumah ini lebih memperhatikan Tania. Jujur saja, ia juga perempuan yang punya hati, dan rasa cemburu. Apa lagi sekarang ia sedang libur semester, tak ada yang bisa ia lakuka. Jika ia kabur dari rumah ini, ia akan dianggap bocah labil.
"Ti woi, nih minum."
Siti menatap minuman kaleng yang diberi Geometri.
"Nj*r Geo lo bau apaan? Baru main kotoran kuda di mana?"
Geometri yang berniat minun berhenti seketika. Ia melihat Siti yang bergeser sedikit lalu menutup hidung, menatapnya seakan jijik.
"Apaan sih lo Ti. Gue harum kayak gini!"
Siti mendorong tubuh Geometri agar menjauh darinya.
"Geometri jauh lo dari gue."
Geometri berdiri dengan perasaan kesal dan bingung. Pasalnya tubuhnya begitu wangi, ia baru saja mandi pagi. Ia juga tak memelihara kuda.
Uheeeekkk
Siti memuntahkan isi perutnya di bangku taman belakang rumah.
Geometri yang melihat hal itu panik. Ingin menyentuh Siti, tapi makin mencium bau tubuh Geometri Siti makin muntah.
**
Pernyataan dari dokter membuat Siti syok. Terus saja munta dan hampir pingsan, ia dilarikan ke rumah sakit.
"Hamil? Benaran hamil?"
Suara heboh itu adalah mertuanya.
"Benaran dokter? Saya akan punya cucu?"
Siti masih diam, pikirannya melayang jauh.
"Jaga anak ini baik-baik." Tania menyentuh tangan Siti, menyadarkan Siti.
Siti menatap satu-persatu yang ada, mereka tampak bahagia, kecuali Julian, pria itu masih berdiri dan terdiam menatapnya.
Julian keluar begitu saja tanpa mengucap sepatah katapun. Seakan kehamilannya tak diharapkan.**
Setelah kehamilannya, Siti merasa mertuanya berubah menjadi lebih baik, tak ada kata judes untuknya. Seperti saat ini, memarahi Puteri yang sedang memakan apel di sebelahnya sambil menonton.
"Orang Mbak Siti aja gak marah, kok Mama yang sewot?"
"Gak boleh, buah itu mama simpan untuk cucu mama. Geser ke sana."
Siti merasa mertuanya terlalu berlebihan. Mereka benar-benar mengharapkan anak yang ada di perutnya. Siti sejenak tersenyum, ia tak akan pikiran lagi. Kehadiran anaknya nanti sangat dinantikan. Ia pun diminta cuti kuliah, aneh, tapi mertuanya benar-benar protektif atas kehamilannya.
Julian datang sambil menenteng somai yang sejak pagi ingin ia makan. Hamil adalah momen yang tepat untuk memerintah Julian. Kapan lagi bisa menyuruh Julian? Awalnya ia pikir Julian tak ingin anak ini, tapi pria itu memperlakukannya bak seorang puteri. Ia tak boleh banyak bergerak, bahkan minum air pun diawasi. Benar-benar lebai.
Tapi melihat Tania yang juga datang membuat ia sedikit cemburu. Julian memberi pengertian jika Tania tak punya keluarga lagi, hanya keluarga ini yang bisa menolong perempuan itu. Sama hal dengan menolongnya dulu. Wah, keluarga ini memang sangat baik. Bagaimanapun Tania dan Julian punya hubungan dulu, pacaran begitu lama. Puteri ditarik mamanya pergi begitu saja.
"Ti, aku bawain susu untuk kamu."
Siti hanya memberi senyum penuh kepaksaan.
"Duh mbak Tania, gak perlu repot-repot, hamilnya aku cuma ngerepotin mbak deh." Siti memang suka ceplas-ceplos. Ia hanya mengeluarka apa yang tidak ia suka. Tania terlalu sok perhatian padanya.
Tania hanya tersenyum kecil dengan wajah sedih. Wajah itu lagi yang menjadi tameng.
"Gak apa-apa kok. Kamu beruntung ya, bisa punya anak."
Mendengar kalimat itu, Siti merasa bersalah. Tania memiliki penyakit kanker, dan memilih berpisah dengan Julian.
Tania pergi begitu saja, katanya lelah. Julian yang baru datang menatap Siti dengan senyuman.
"Gimana, mualnya udah berhenti?" Siti tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. Sejak pagi tadi mualnya tak kunjung berhenti. Apalagi mencium bau parfum Geometri. Adik iparnya itu hanya melihat dari kejauhan dan tak berani mendekat.
Siti menyandarkan kepalanya di pundak Julian. Sejena ia merasa sedih, ia merindukan mama dan papanya.
"Apa ada yang mengganggu?"
Siti tersenyum kecil, Julian seperti memahaminya."Hu'um. Aku merasa sedih, merindukan mama dan papa."
Julian hanya diam. Siti memejamkan mata. Menikmati sandaran di bahu Julian.
"Mas Jul. Maukah mas janji, untuk membesarkan anak ini bersamaku, dengan penuh kebahagian?"
Sejenak keheningan melanda.
"Tentu saja." Siti bisa bernafas legah mendengar janji Julian.
Permintaan yang sederhana, Siti berharap Julian menepatinya dengan baik. Ia tak ingin apapun, selain hidup bersama Julian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siti Bukan Milea (End)
RomansaSiti tersenyum pedih melihat Julian berlari pergi meninggalkannya di taman demi Tania, masa lalu pria itu. Hal yang membuatnya terlihat bodoh, tak bisa marah dan melarang, karena pada dasarnya ia hadir menjadi istri Julian karena perjodohan.