Bab 7. Hujan dan Menunggu

1.7K 181 6
                                    

Selamat membaca😊
Masih ada yang menanti?😊
Jangan lupa vote dan komentarnya.

Siti berdiri di parkiran, matanya beberapa kali melihat ke arah jam tangan, dan juga ke dalam gedung. Ia menunggu Julian hampir dua jam. Padahal kuliahnya sudah selesai sejak tadi. Niat mengambil handphone untuk menghubungi Julian harus kandas. Ia baru sadar, jika tak memiliki nomor Julian.

Sosok Gavin juga mengganggu pikiranya. Pria itu datang dengan senyum, sedangkan dahulu menoreh luka di hatinya. Setelah ia melupakan, kenapa Tuhan harus kembali pertemukan? Kadang, ia benar-benar ingin marah dengan rencana Tuhan. Merenggut segala kebahagiannya, lalu harus menaruh jalan hidupnya dalam pernikahan tanpa cinta ini.

Ia benar-benar mati kebosanan. Langit sejak tadi gelap, hujan mungkin sebentar lagi akan turun. Siti tak hentinya memaki Julian dalam hati. Ia benar-benar makin kesal ketika hujan benar-benar turun, dan sialnya ia harus terjebak di kampus, yang mulai sepih. Satu-persatu mahasiswa dan Dosen telah pulang dengan kendaraan masing-masing, ada juga yang dijemput.
Bosan menunggu, Siti memilih kembali masuk gedung kampus.
Kaki kecilnya melangkah menuju ruang dosen. Entah apa yang sedang dilakukan pria itu. Menyuruhnya menunggu, tapi tak kunjung datang. Lebih parahnya, ia belum merevisi laporan yang salah. Julian benar-benar sedang menguji kesabarannya.

Siti makin mengepalkan tangannya. Wajahnya memerah menahan emosi saat ruangan dosen tampak sepih. Tak ada sosok Julian sama sekali.

"Loh, Siti belum pulang?"
Siti mengerutkan keningnya, wajah yang mulanya kesal menjadi senyum cerah.

"Selamat sore pak Kenan. Belum pak, masih ada urusan dengan pak Julian."

Senyum di bibir Siti makin melebar, pak Kenan adalah dosen yang sangat baik menurutnya. Ramah, dan tidak sekejam Julian.

"Lah, pak Julian udah pulang sejak siang, saya pikir ada masalah mungkin, karena beliau buru-buru tadi."

Senyum lebar di bibir Siti mengendur. Julian benar-benar sialan.

"Di luar hujan mau saya antar pulang?"

"Gak usah pak, saya sendiri saja. Terimakasih pak."
Siti berbalik pergi dengan perasaab gontai. Ia tak suka menunggu.

🎬

"Ya ampun Neng Siti, kenapa bisa basah?"

Siti hanya tersenyum memaksakan. Ia benci menunggu, ia benci ditipu.
Siti berharap Julian ada di rumah. Ia begitu marah pada Julian.

"Ti, lo basa? Astaga, kenapa gak telepon gue tadi, biar dijemput."

Siti merasa dua matanya memanas. Ia belum pernah mendengar kalimat tulus seperti ini. Sejak orangtuanya meninggal, ia selalu melakukan segalanya sendiri. Mustahil menunggu kebaikan orang.

Siti tersenyum kecil menatap Geometri. Ia merasa bodoh telah menunggu Julian.  Lain kali, ia tak akan mudah percaya lagi.

*
Siti memangku laptopnya. Sejak tadi ia begitu fokus dengan revisi laporannya. Ia duduk di depan jendela. Bunyi mesin mobil yang baru masuk mencuri perhatiannya.
Siti menatap sosok yang keluar dari mobil. Dia, Julian. Pria itu tampak kusut.

Siti yang masih menatap Julian seakan membunuh dengan matanya, sama sekali tak terkejut, ketika Julian menengok ke atas, sontak keduanya saling tatap.

Wajah Siti benar-benar menunjukkan kekesalannya pada Julian. Merasa muak, ia menarik gorden jendela.

🎬🎬

Malam semakin larut. Siti beberapa kali mencoba melebarkan matanya. Sudah dua gelas kopi yang ia habiskan.

Siti Bukan Milea (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang