Bab 24. Mesin Waktu

1.3K 122 7
                                    

Maaf, baru update. 😊
.
.
.
.
.
.

"Aku hanya bercanda. Julian pasti akan menikah dengan perempuan yang sepadan atau lebih wow dari Tania. Maaf aku tak bermaksud menghinamu."

Siti hanya mendengus malas. Maira tak salah berpikir begitu. Ia pun sempat berpikir jika mata Julian butah. Bisa saja sekaya dan setempan Julian mencari wanita lain, dari pada memulai dengannya. Tapi, ia juga percaya jika takdir Tuhan tak ada yang tahu.

"Kamu beruntung ya. Kenan bahkan menunggu kamu di luar. Aku iri, bahkan sulit menggapai Kenan, dengan tampilan ini."

Siti menatap wajah sendu Maira. Wajah cantik dengan make up tebal dan pakaian mini.

"Entahlah. Mas Kenan selalu mengatakan, jika ia menyukai kesederhanaan dan aku yang jadi diri sendiri."

Jika Meno yang mendengar kalimat ini, mungkin pria itu akan memasang wajah ingin muntah.

"Jadi diri mbak sendiri, mungkin itu jawabannya."
Siti melangkah pergi. Kadang yang banyak masalah, menjadi motivator terhebat, padahal diri sendiri tak temukan jawaban masalahnya.

Siti pikir kalimat Maira tentang Kenan yang menunggunya adalah bohong, nyatanya benar.

"Kamu baik-baik saja?"
Siti pikir Kenan terlalu lebai. Sandiwara mereka benar-benar totalitas.

"Hu'um, baik aja kok." Kenan mengacak rambut Siti.

Rambut yang diacak, entah mengapa hatinya yang tak baik. Siti berdehem pelan, ia selalu merasa aman dan nyamam bersama Kenan, ini tak bagus, harusnya bukan Kenan tapi Julian. Tidak mungkin ia menyukai Kenan, sedangkan hatinya bilang menyukai Julian.

**
Masuk di rumah besar keluarga Wang, Siti pikir suasana tampak sepih. Memang benar, Puteri, mama dan papa mertuanya ke luar kota menghadiri pesta pernikahan milik salah satu rekan kerja. sangat mendadak. Tapi, bagus seperti itu, jika tidak tidak, mungkin ia akan diomel habis-habisan.

Duduk di sofa ruang tamu dengan dua kaki dinaikan ke atas, Siti begitu menikmati momen sendiri ini. Ia malas dan kesal mertuanya selalu mengomel jika ia salah duduk. Benar-benar asem, bahkan cara dudukpun diatur. Dulu saja, sesuka hatinya ia berlaku.

Pintu depan terbuka dengan keras. Siti menoleh ke sumber suara. Geometri pria itu digopoh oleh Bagas, teman dekat Geometri. Mabuk? Ia baru melihat seorang Geometri semabuk itu. Tidak ingin mengusik dan membuat keributan Siti memilih naik ke kamar.

*
Siti menatap lampu halaman yang menyala, seperti menciptakan ketenangan. Bahkan jarum jam yang menunjukkan pukul 1.00 pagi, tak membuat kedua matanya mengantuk sama sekali.
Dering telepon masuk membuat mata Siti makin melebar, mungkin saja Julian sudah membaca pesan dan menelponnya. Senyum lebar di bibirnya sirna.

"Kenapa lo malam-malam ganggu hah?"
Siti merasa kesal karena bukan yang diharapkan yang menelpon.

"Ti, lo di mana? Biasanya ada saat gue lagi butuh. Hu'h, kenapa harus cowok brengsek itu. Kenapa gak gue hah?"

Siti mengerutkan keningnya. Tenggorokannya mendadak haus, ia mendadak makin kesal mendengar rancauan Meno yang tak jelas. Ia sudah yakin, jika Meno sedang mabuk lalu membuka sesi curhat untuk memaki mantannya.

"Ti, kenapa gak lo aja yang dulu gue pacarin?"

Siti meletakkan gelas dengan kasar.

"Gak usah aneh-aneh lo. Besok aja lo cerita. Gini aja lo nyari gue."

Siti meletakkan handphonenya dengan wajah kesal. Meno selalu mengatakan hal yang sama saat sedang mabuk. Bukan salahnya, salah pria itu yang tak percaya padanya. Perempuan yang dipacari bertahun-tahun suka masuk-keluar hotel dengan pria berbeda. Pada dasarnya, Meno yang bodoh. Cinta memang bisa buat orang pintar jadi bodoh.

*
Pagi hari, Siti menatap meja makan yang begitu sepih. Tidak ada suara omelan mertuanya, atau rewelan Puteri. Orang rumah ini memang kompak jika berpergian.

"Ngelamun lo."

Siti sontak mengangkat wajah menatap Geometri yang sedang meminum air dan duduk di hadapannya. Wajah Geometri tampak kusut seperti rambutnya.

"Gak keluar kota lo?"

Geometri yang awalnya minum, sontak menatap sejenak ke arah Siti lalu kembali menandas air yang ia minum.

"Gak."

Siti mengangkat alisnya saat Geometri pergi begitu saja. Ia merasa sikap Geometri berubah. Masa bodoh, Siti memilih menghabiskan sarapan pagi tanpa ada gangguan, ia harus pergi bersama Meno untuk jalan-jalan. Kapan lagi ia bisa menikmati kebebasan tanpa campur tangan mertuanya. 

Jam 9.00 pagi, mobil Meno berparkir di depan gerbang rumah Julian. Siti keluar dengan tampila biasanya, kaus hitam kedodoran dan celana jeans biru dengan lutut sobek-sobek.

"Kita kemana dulu?" Tanya Meno sambil menyetir mobil.

Siti berpikir sejenak, hari minggu seperti ini pasti macet dan ramai. Ia ingin melihat laut.

"Gue pengen lihat laut."

Meno mengerutkan keningnya, lalu mengiyakan saja. Ancol adalah tujuan utama mereka.

**

Siti menatap lautan dengan senyum sedih. Entah mengapa saat melihat laut ia selalu bersedih. Seakan ia punya kenangan menyakitkan bersama lautan.

Meno yang tahu tentang Siti, hanya diam menyaksikan sahabat kecilnya itu larut dalam kesedihan. Ini alasan ia bingung Siti ingin melihat laut.

"Suami lo kemana?"

Siti yang masih menangis tak menjawab.

"Ti, lo bahagia sama pernikahan lo?"

Siti menoleh ke arah Meno. Keduanya saling menatap dengan helain rambut yang ditiup angin.

"Kenapa?" Tanya Siti bingung.

Meno menarik nafas lalu membuang dengan kasar. Kedua matanya menatap ke arah lautan.

"Kalau nanti lo gak bahagia, ingat gue selalu ada."

Siti tahu Meno selalu perhatian padanya. Walau ia tak punya keluarga, ia merasa Meno adalah keluarganya.

"Kalau lo diberi mesin waktu, apa yang bakal lo lakuin?" Siti menatap penasaran ke arah Meno. Sudah lama ia ingin menanyakan hal ini.

Meno menatap mata Siti begitu dalam. Sejenak keduanya saling pandang.

"Kembali dan nikahin lo."

Hallo maaf ya, baru bisa update

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hallo maaf ya, baru bisa update.
Masih ada yang nunggu?😣


Siti Bukan Milea (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang