6

5.4K 127 1
                                    

Aditya

Semilir angin menerpa wajahku. Jejak air mata masih membekas di pipi yang merah ini, tapi aku tidak peduli. Tidak akan ada orang lain juga yang akan datang kesini. Memangnya siapa yang peduli dengan keadaannya?

Kedua mataku itu terpejam berusaha mencari ketenangan. Kubiarkan angin mendekapku, menghanyutkan semua perasaan sedih dariku. Ya, kuharap perasaan itu bisa hilang.

"Sadarlah! Mama kamu sudah tidak ada."  Perkataan itu masih terngiang di dalam benakku. Aku tahu, mama sudah tidak ada lagi.  Aku hanya belum bisa menerima hal ini secepat papa melupakan mama.

Perlahan air mata kembali merembes keluar dari mataku yang masih tertutup. Napasku memburu dan dadaku sesak karena menahan tangisan. Seharusnya aku tidak perlu takut untuk menangis, bukan? Papa tidak ada disini. Dia tidak akan memarahiku. Aku bebas dan bisa berpuas hati untuk menangis atau pun menjerit disini.

"Hei, kamu tidur?"

Suara siapa itu? Aku sendirian disini.

"Sepertinya dia tertidur."

Aku membuka mata perlahan. Hal yang pertama kali kulihat adalah wajah seorang perempuan. Rambut panjangnya yang hitam mengurung wajahku.

"Aaaa!" teriaknya. Ia mundur dariku kemudian duduk bersila. Aku menegakkan tubuh. Ia menatapku dalam diam. Matanya mengedip seperti anak anjing yang menggemaskan.

"Kukira kamu sedang tidur," katanya sambil tersenyum. "Maaf sudah membangunkanmu."  Aku diam saja. Aku tidak mengenal gadis ini. Siapa dia?

Gadis ini kemudian mendekat seraya mengulurkan tangan. "Aku Hanindita." Ia mengajakku berkenalan.

"Aditya." Aku menjabat tangannya.

"Aku baru pindah kesini. Taman disini sangat cantik tapi anehnya sepi. Aku mampir sebentar ternyata ada orang."

Gadis bernama Hanindita ini mengoceh panjang lebar. Kepalaku saat ini sedang pusing.  Aku hanya mengangguk saja tanpa membalas perkataannya.

"Kamu habis menangis?"

Aku tersentak. Bagaimana ia bisa tahu?

"Matamu merah, hidungmu juga, lalu ada bekas air mata," ujarnya. Jangan-jangan gadis ini bisa membaca pikiran orang lain!

"Sebentar, kalau tidak salah aku membawanya..." Ia mencari sesuatu di dalam tas kecil yang tersampir di bahunya. "Ini." Ia memberiku sapu tangan kecil berwarna merah muda. "Untuk menghapus jejak air mata dan ingusmu." Ia tertawa pelan.

Wajahku panas karena malu. "M-makasih."

Hanindita mengangguk. "Apakah rumahmu di dekat sini juga?"

"Iya. Rumahku di lorong sebelah."

"Oh, kalau rumahku beda 2 blok dari taman ini." Ia kembali menatapku. "Mau bermain di rumahku? Ayahku baru selesai membuat ayunan tapi aku belum ada teman untuk diajak bermain."

Kata mama, aku tidak boleh bermain ke rumah orang lain tanpa izin mama atau papa. Biasanya mama dan papa akan khawatir, tapi kali ini aku tidak mau meminta izin dengan papa. Lagipula aku tidak mau pulang ke rumah.

"Oke, aku mau."

"Yeay!" Hanindita melompat kegirangan. "Ayo, kita pergi." Ia menggenggam tanganku dan mengajakku untuk berjalan beriringan.

"Oiya, berapa umurmu?"

"Tujuh tahun," jawabku singkat.

"Berarti kamu harus memanggilku kakak!" Ia menoleh sambil tersenyum. "Karena aku dua tahun lebih tua darimu. Umurku sembilan tahun. Jadi, panggil aku Kak Hani, hm?"

"Oke, Kak Hani."

Sejak saat ini Hani selalu ada dalam setiap momen hidupku. Ia selalu ada untuk mendengarkan ceritaku, menenangkanku, atau menghiburku. Kami banyak menghabiskan waktu bersama. Hani sudah seperti saudariku sendiri begitupun dengan orangtuanya.

Namun semakin lama perasaan ini berubah. Aku tidak lagi menganggapnya seperti saudari. Aku menginginkan hal lebih. Hubungan yang berkembang lebih dari seorang adik dan kakak.

Aku menyukai Hani.

Aku ingin ia selalu ada didekatku, bersamaku.

Tapi, hal itu tidak akan mungkin terjadi. Seperti dirinya, perasaan Hani juga ikut berubah. Ia memiliki orang yang ia sukai juga, tapi bukan aku.

Eras Parsa. Teman sekelas Hani sewaktu SMP.

Semenjak Eras hadir dalam hidupnya, waktu Hani untuk diriku berkurang. Aku kira saat mereka tamat SMP, hubungan mereka ternyata aku salah. Mereka tetap bersama sampai sekarang.




































"Maaf ya, Adit. Kakak gak nyangka kalau bimbingannya bakal selama ini."

Aditya menggeleng. "Gak usah minta maaf, Kak. Lagian gue juga baru sampai." Aditya tidak berbohong. Selesai dari kelasnya, ia langsung membawa motornya kesini setelah mendapatkan pesan dari Hani.

"Duh, maaf banget jadi ngerepotin kamu, Dit. Sebenarnya mau minta jemput Eras, tapi dia masih sibuk ngurusin lamaran pekerjaan."

Aditya memberikan helm kepada Hani. "Udah biasa, kok, direpotin sama Kak Hani jadi gak usah sungkan." Ia terkaget saat Hani menepuk pundaknya.

"Kamu, tuh, ya, mulutnya selalu pedes."

Bahu Aditya berkedik. "Lebih baik disukai apa adanya dibanding ada apanya."

Motor melaju menyatu dengan kendaraan lain. Degup jantung Aditya tak karuan saat kedua tangan Hani melingkari perutnya. Perempuan itu memeluknya erat. "Iya, deh, yang banyak disukai orang," cibirnya. "Cemburu aku."

Aditya mendengus tanpa disadari Hani. Cemburu? Seharusnya gue yang cemburu!

"Kenapa cemburu, Kak?"

"Kamu udah jarang cerita ataupun videocall-an sama kakak semenjak kakak masuk kuliah."

"Gue gak mau ganggu kuliah sama waktu kakak dengan Eras. Lagian ntar pacar gue marah karena videocall sama cewek lain."

"Hm, bukannya kamu udah single lagi, ya?" Hani menopangkan dagunya pada pundak kanan Aditya membuat lelaki itu semakin gusar.

"Kok, tahu? Dapet gosip darimana, nih?"

"Mantan kamu sendiri yang bilang ke kakak. Vera nge-dm kakak, katanya kamu yang mutusin dia. Jadi dia nanya, kamu punya pacar baru atau gak. Kenapa kamu mutusin Vera?"

"Pengen mutusin aja," jawab Aditya singkat. Faktanya dari awal ia memang tidak suka dengan Vera. Aditya menerima Vera karena perempuan itu yang memohon-mohon dengan iming-iming menggiurkan. Laki-laki mana yang tidak mau dengan perempuan cantik yang menawarkan kehangatan ranjang?

"Jahat banget," gumam Hani.

Aditya tersenyum miring. "Iya, gue memang jahat."

Tapi gue gak bisa bersikap jahat ke lo, Kak.

Aditya memelankan laju motornya ketika mendekati lampu merah.

"Nonton, yuk!" ajak Hani.

Aditya menoleh. Ia memperhatikan ekspresi wajah Hani yang ceria dari balik helmnya. "Tiba-tiba banget."

"Kita udah lama gak ngabisin waktu bareng. Abis ini gak ada kegiatan lain, kan?"

"Gak ada. Serius mau nonton?"

Kepala Hani mengangguk. "Abis nonton kita ke kafe langganan, terus ke Timezone kayaknya seru juga!"

"Banyak, ya, persinggahan kita hari ini."

"Gak mau, ya, Dit? Gak papa, sih, kalo gak mau."

"Tapi nonton horor, ya." Aditya tergelak. Ia sangat tahu kalau Hani benci film horor.

"Oke, kita nonton horor." Ia tersenyum kecut. "Semoga aja gak kebawa mimpi."

Dan hari ini, dua orang yang telah lama tak bersua kembali mengukir kenangan. Aditya ingin terus seperti ini. Ia ingin Hani selalu ada untuknya seperti dulu.

BERSAMBUNG

Main Character [Mature Content]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang