7

4.6K 135 1
                                    

"Hoammm!"

"Tutup, dong, mulutnya. Anak gadis, kok, kayak reog, gitu?"

Sofia menatap jengah pada putri tunggalnya yang menguap lebar. Rambut sebahunya berantakan dengan mata yang masih setengah terbuka.

"Bunda?" Keisha memaksakan matanya terbuka lebar. "Libur, Bun?"

Keisha terheran melihat bundanya yang masih mengenakan piyama tidur. Biasanya pukul tujuh pagi Sofia sudah berpakaian rapi untuk bersiap pergi bekerja. Sofia bekerja sebagai pembuat kue di salah satu toko kue yang cukup terkenal di daerah mereka. Karena akhir-akhir ini permintaan kue melonjak tinggi membuat Sofia tetap harus bekerja di hari Minggu.

"Hari ini sepupu Bu Ira menikah jadi tokonya tutup sementara." Sofia berjalan menuju meja makan. "Mandi, gih. Abis itu kita sarapan. Bunda udah masakin mie tumis kesukaan kamu."

Beberapa kemudian Keisha bergabung dengan Sofia di meja makan. Ia sudah berpakaian rapi dan wangi.

"Nanti Keisha mau keluar ya, Bun. Komunitas mau ngadain galang dana." Keisha mulai menyantap sarapannya.

"Iya, boleh. Bunda izinin asalkan gak gawe aneh-aneh."

"Tenang aja Bun. Keisha gak akan merusak kepercayaan bunda." Keisha tersenyum. "Eh?" serunya saat kakinya yang berada di bawah meja menyentuh sesuatu.

"Kucing?" katanya ketika merunduk untuk melihat apa yang disentuh oleh kakinya. "Kucing siapa, Bun?"

"Kucing bunda."

Mata Keisha menyipit. "Sejak kapan bunda melihara kucing?

Sofia tertawa pelan. "Anaknya Bu Ira punya banyak kucing. Dia pusing ngurusinnya karena udah kebanyakan jadi dia kasih ke bunda satu. Lucu, ya?"

Kepala Keisha mengangguk. "Iya, lucu."

"Biar kamu ada temen di rumah kalau bunda belum pulang kerja."

"Ya ampun, Bun." Ia terkekeh. "Biasanya Keisha juga sendirian tapi gak papa, deh, keknya seru punya kucing." Keisha mengelus kucing ras Persia tersebut.

"Ets! Sebelum makan lagi cuci dulu tangannya." Sofia memperingatkan saat Keisha kembali mengangkat sendoknya.






































Walaupun waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, terik matahari yang berada di atas sana masih menyengat kulit. Keisha berdiri di pinggir jalan sambil memeluk sebuah kardus kecil yang bertuliskan 'Donasi Rumah Baca Ceria' dengan tatapan lesuh.

Lagi-lagi Hani ikut andil dalam acara komunitas padahal ia bukan anggota. Sebenarnya berbuat kebaikan itu tidak memandang siapa orangnya, tapi kalau soal Hani bagi Keisha adalah pengecualian. Ia masih belum bisa bersikap biasa saja melihat Hani yang terus menempel dengan Eras bak perangko dan amplop surat. Hatinya masih bergejolak kesal. Ditambah saat ini ia satu tim dengan Hani dalam menghimpun uang donasi.

Keisha dapat melihat di seberang ada Hani yang mulai menyusuri deretan pengendara yang terjebak lampu merah untuk meminta donasi. Keisha tidak ingin menyangkal jika Hani memang secantik itu. Meskipun wajahnya memerah dan berkeringat karena kepanasan, Hani tetap menawan.

Pandangan Keisha berpindah pada sosok Aditya yang berada tak jauh dari Hani. "Kenapa Hani gak sama Aditya aja, ya? Lagian kalau dilihat-lihat mereka juga deket banget."

Keisha menggeleng cepat. "Apa, sih? Udahan, dong, mikirin Eras dan Hani." Ia menampar pelan wajahnya sendiri. "Laki-laki bukan dia doang kali, Sa."

Lampu lalu lintas di samping Keisha berubah menjadi merah. Barisan kendaraan mulai terbentuk di depannya. Keisha melangkah menuju barisan tersebut dan menyodorkan kotak miliknya.

Dering ponsel di saku celana membuat Keisha kembali menepi. Pesan beruntun dari Deni memenuhi bar notifikasi ponselnya. Deni memberitahukan kabar di grup bahwa Hani pingsan.




















Karena interaksi dari Deni, semua anggota berkumpul di klinik terdekat untuk melihat kondisi Hani. Keisha mengintip dari luar ruangan, melihat Hani masih terbujur kaku di ranjang.

"Padahal tempo hari gue udah bilang kalau gak enak badan mending gak usah ikut galang dana," ujar Deni sambil melihat ke arah Eras.

"Jadi lo nyalahin Hani gitu?" Eras berkata pelan namun tatapannya mengintimidasi.

"Seharusnya lo bilang kalau cewek lo lagi sakit. Cegah dia buat gak usah ikutan. Kalau kayak gini kan agendanya bisa molor sampai besok." Deni kembali bersuara.

Eras bergerak maju, mencengkeram kerah baju Deni. "Kak udah..." Keisha bersigap memegangi lengan Eras, menyuruhnya untuk mundur dan melepaskan cengkeramannya.

"Lo gak usah nyalahin Hani! Sebelum pergi gue udah mastiin ke dia kalau dia sehat. Lo kalau merasa agenda ini terganggu biar gue aja yang nemenin Hani sendirian disini. Yang lain ke jalan aja buat ngumpulin donasi."

"Ini klinik bukan arena tinju," sindir Aditya. Lelaki itu bersandar pada dinding dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Hal ini gak usah dibesarkan. Semuanya diluar kendali."

"Semuanya selain Eras ikut gue balik ke jalan." Deni melangkah pergi diikuti dengan yang lain.

Keisha mengembuskan napas lega setelah Deni pergi. Seperti biasa lelaki itu mudah sekali naik pitam dan menyalahkan orang lain. Kembali ia melirik ke dalam ruangan. "Kak Hani udah sadar," gumam Keisha.

"Gue ke dalam dulu Sa. Kalian berdua mending nyusul Deni ke jalan." Eras melihat ke arah Keisha dan Aditya secara bergantian kemudian membuka pintu dan melangkah masuk ke ruangan tempat Hani dirawat.

"Iya, Kak," ujar Keisha singkat.

Setelah Eras masuk, Keisha masih memperhatikannya dari luar. Eras menarik kursi di samping ranjang Hani dan menggenggam tangan perempuan itu. Sekali lagi, hatinya tersakiti. Bukan, ia lah yang menyakiti hatinya sendiri. Sudah tahu Eras sudah dimiliki orang lain tetapi masih saja Keisha berhadap lelaki itu melihat ke arahnya.

"Janji gak nangis," celetuk Aditya dari belakang tubuh Keisha sebelum akhirnya lelaki itu pergi menyusul Deni.

BERSAMBUNG

Main Character [Mature Content]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang