[15] Panti

83 5 0
                                    

Usai mengantarkan Alora dengan membuntuti angkot seperti biasa, Ran berakhir di sebuah warung sate karena kelaparan.

Ia sudah memakan sepuluh tusuk daging dengan rakusnya dan sesekali tersendawa karena kekenyangan. Tiga puluh menit berdiam di warung itu, barulah Ran berangkat hendak balik ke rumah.

Ketika hendak menaiki motornya, aksi Ran terhenti tatkala menemukan seorang nenek-nenek tengah kesusahan membawa belanjaannya. "Kayaknya gue memang udah ditakdirin buat selalu ada membantu yang lebih tua deh." Begitu pikir cowok itu.

Ran melangkah mendekat, menyapa sejenak dengan senyuman hangatnya. "Biar saya yang bawa aja, Nek. Mau diantar ke mana?"

Nenek itu membalas senyuman Ran lega, ia menunjuk gedung luas dengan gerbang panjang di hadapannya. Ran mengangguk dan membawa satu kantong jeruk dan alpukat itu.

Ketika sampai di hadapan gerbang itu, Ran membulatkan bibir terkejut. "Lho, panti jompo, ya, Nek?"

Sang nenek mengangguk. "Iya, Nak. Ayo masuk dulu, cobain gado-gado bikinan Nenek."

Ran menggeleng. "Eh, gak usah, Nek. Saya langsung pulang aja, udah sore."

"Sebentar aja, ya? Teman-teman Nenek juga pasti seneng kalau ada si ganteng yang berkunjung." Ran melirik jam di tangan menimang permintaan si nenek.

"Eh, eh, ada si kasep, ayo masuk dulu. Patma, bawa masuk atuh si gantengnya." Ran yang sibuk mikir dikagetkan dengan kehadiran tiga orang nenek yang seumuran dengan nenek di sebelahnya ini.

"Tuh udah dipanggil, ayo masuk, Nak." Ran mengangguk pasrah.

Nasib cowok ganteng, tua muda pada suka.

Ran masih membawa dua kantong plastik di tangannya, disambut hangat oleh para nenek yang dengan santainya mengelus pipi dan kepalanya.

Ran tentu kaget, namun ia memaklumi pesona dirinya yang begitu tampan ini.

"Pangeran?"

Ran mengangguk membalas pertanyaan nenek yang mengenakan daster biru itu. "Putrinya siapa? Kalau ada pangeran biasanya ada tuan putri."

Ran terkekeh. "Putrinya sedang proses pendekatan, Nek."

"Wah, wah udah ada calonnya, ya? Aduh, sayang banget padahal Nenek mau deketin kamu sama cucu Nenek." Ran hanya tertawa sumbang.

Mulut cowok itu diisi penuh oleh makanan yang diberi wanita tua berumur enam puluh tujuh tahun itu, baru saja menghabiskan satu buah jeruk, sudah ada lagi bakwan hangat yang disodorkan padanya.

"Cucu Nenek cantik gak?" tanya cowok itu iseng.

"Geulis atuh, pintar, manis, sopan dan masih jomblo." Nenek menjelaskan point yang paling penting.

Nenek kembali menyela. "Biasanya empat kali seminggu ke sini, tapi sekarang mungkin lagi banyak kesibukan di sekolah, dua hari ini Nenek belum ketemu."

"Seumuran sama Ran?"

"Umurnya tujuh belas tahun kalau Nenek tidak salah ingat." Ran mengangguk paham.

Sekarang sudah pukul lima sore, usai salat Ashar berjamaah di masjid yang ada di kawasan panti ini, Ran kembali ditarik untuk duduk mendengarkan berbagai cerita romantis para nenek dan kakek semasa seumuran dirinya.

"Jadi, Nenek yang ajak pacaran duluan?"

Sang nenek mengangguk. "Dia itu taunya cuma main kelereng terus sampe Nenek kesal dan umpetin kelereng dia."

"Terus?" tanya Ran.

"Nenek ancam aja, 'pacaran sama aku atau kelerengnya dibuang?' terus kami pacaran deh."

UNDERSTAND [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang