[28] Sorry for Loving You

86 4 0
                                    

Ponsel Alora disita.

Ia tak diperbolehkan ke luar dari kamar.

Sedari tadi, gadis itu hanya bermenung menatap perabotan di dalam kamarnya. Karena sekarang adalah hari Minggu, yang justru jadi senjata untuk sang ayah mengurung dirinya.

Mata kecilnya sedikit membengkak, begitupun bibirnya yang kering dan pucat karena lelah dan tak bisa tidur sama sekali.

Semalam, ketika sang ayah berhasil memergokinya. Alora benar-benar dibuat mematung. Ponsel yang ada di genggamannya dirampas paksa dan dihantamkan menabrak sudut dinding di kamarnya.

Suara ribut yang dihasilkan dari panggilan itu seketika lenyap. Hanya deru napas ketakutan dan beberapa tatapan kecewa yang mengelilingi pandangan Alora.

Gadis itu hanya menunduk, dengan tangan yang saling meremas gelisah. Jantungnya berpacu tak terkendali dengan air mata yang mengalir begitu saja tanpa aba-aba.

Tatapan mereka semua sudah menjelaskan semuanya. Bahkan, Abian yang selalu tenang dan berada di pihaknya hanya berdiri dengan tangan terlipat di dada menatap penuh arti padanya.

Alora sungguh ketakutan.

"Saya belum pernah sekecewa ini pada anak-anak saya sebelumnya."

Itu adalah kalimat pertama yang sang ayah ucapkan setelah dua menit berdiri dalam diam menatap sang anak.

"Entah saya yang gagal atau kamu yang tak bisa diajar?"

Bibir Alora bergerak gelisah, ia menyesal, sangat-sangat menyesal dan ingin mengucapkan kalimat maaf, namun itu semua hanya bertahan di lidah. Tak sanggup rasanya menghadapi sang ayah.

"Abian."

"Ya, Ayah?" sahut lelaki itu menurunkan lengannya yang saling bertumpu.

"Mulai sekarang kamu antar jemput adik kamu ke sekolah, karena kurang dari sebulan lagi lulus. Dia ikut kamu ke Amerika."

"Ayah?" Alora menegakkan kepala dan menatap sang ayah heran.

"Kamu lanjutkan pendidikan di sana. Abian dan Hanum yang akan jadi wali kamu." Keputusan itu sudah mutlak.

"Ta-tapi, aku—"

"Simpan ponsel dan laptop adik kamu, Abian."

Sudah berakhir.

ᴀʟᴏʀᴀɴ

"Woi, Kumis! Gue kemarin ngapain aja?"

"Tepar."

Ran berdecak. "Serius, selain ikutin keinginan gila kalian, gue ngapain lagi?"

"Gue paling males bahas masa lalu, Ran. Kata orang yang udah berlalu gak perlu diungkit lagi, bikin sesek di ati! Nyesek, bro!"

"Dih, norak lo!" semprot Ran. Ia menatap geli pada cowok yang memiliki kumis tipis itu.

Kumis tipis di atas bibir cowok itu naik turun membalas tatapan Ran. "Lo mau gue kasih tau dosa lo semalam apa kagak?"

Awalnya Ran kesal ketika cowok itu mengatakan 'dosa', namun karena penasaran cowok itu mengangguk saja. "Gue ngapain aja?"

"Bentar, lo ingat sampai mana aja nih? Masa gue cerita dari awal lo masuk sampe pulang, keburu habis air liur gue," lontarnya yang membuat Ran sedikit berpikir.

"Terakhir gue inget, gue gak mau kalian suruh nembak cewek asing."

"Oh, itu. Nah, habis ntu lo kobam sampai meler tu air liur ke mana-mana, terus muka lo kayak habis keluar dari air rebusan, lebih merah dari pantat kera di dekat rumah gue."

UNDERSTAND [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang