[16] Kencan Tradisional

85 5 0
                                    

Sesuai janji Ran beberapa hari yang lalu, kini cowok itu berkunjung kembali menemui para kakek dan nenek yang begitu ceria menyambut dirinya.

Ternyata berteman dengan yang lebih lama hidup dari kita menyenangkan juga.

Cowok dengan rahang tegas itu kerap kali dapat pencerahan dari bibir-bibir yang sudah berkeriput itu. Tak jarang juga Ran jadi pendengar yang cermat tatkala mereka begitu nostalgia menceritakan masa-masa seumuran Ran.

Untuk saat ini, cowok itu tengah sibuk menyanyikan lagu tahun 90-an dengan ukulele kepunyaan salah satu kakek di sana.

Tertawa geli melihat tingkah wanita dan lelaki tua itu saling menari-nari dan berdansa ria. Hingga beberapa pemuda yang mengenakan seragam serupa datang dan menginstruksi para kakek dan nenek untuk makan siang.

"Asik banget kayaknya."

Ran menoleh, terdiam dengan pandangan menukik ke arah Abian yang mendekati dirinya. Menyadari gelagat Ran, Abian terkekeh tipis.

"Ayah saya pemilik yayasan ini," ucapnya seketika membuat Ran membulatkan bibir paham.

"Ada urusan apa ke sini?" Abian bertanya.

Ran membalas dengan deheman singkat. "Gak ada sih, Bang. Cuma kemaren gue ditarik-tarik sama salah satu nenek di sini dan ajak gue buat nimbrung. Ternyata seru... dan ya, gitu deh."

Abian terkikik pelan dan duduk di sebelah cowok yang mengotak-atik ukulele itu. "Apa aja yang udah kamu dapat selama berkunjung ke sini?"

Ran mengernyitkan dahi berpikir. "Entahlah, Bang. Gue cuma sering denger cerita mereka, entah itu pertemanan, percintaan, keluarga, kadang juga cerita zaman perang di mana gue masih di anu bapak gue."

"Hahaha, ada-ada aja kamu." Bahu Ran ditabok oleh Abian refleks.

"Lah? Serius gue, Bang." Ran mencebik kesal.

"Ya udah, kamu mau ikut makan atau gak?" Abian menawarkan.

"Boleh?" Ran tentu saja tergiur, apalagi gratis.

"Bayar tapi," lanjut Abian membuat bahu Ran merosot.

Melihat gelagat itu, Abian menyentil telinga Ran tipis. "Gak usah sok jadi gelandangan gitu, ya udah saya kasih gratis."

Ran mencibir seraya mengusap telinganya yang serasa mau copot. "Emang gelandangan gue, Bang."

"Kok gitu?"

"Gelandangan karena perjuangan gue belum menimbulkan hasil apa-apa."

"Ya sudah, saya kasih semangat aja. Saya males bantu soalnya."

Sial.

ᴀʟᴏʀᴀɴ

"Daging sekilo, micin lima ribu, merica, cabe petir sekantong. Daging sekilo, micin lima re—"

"Heh! Mending kamu catat aja deh, pusing saya dengernya," keluh Abian membuat Ran meringis malu.

Di tangan Ran sudah ia genggam ponselnya mencatat semua kelengkapan memasak untuk esok hari. Karena memiliki hati yang suci nan indah berseri, Ran bersedia memberikan bantuan berupa membelikan sembako ke pasar.

Tapi, yang bayar tetap Abian. Ran cuma nyumbang tenaga dan kepikunan.

"Anu, Bang."

"Kenapa anu kamu?"

"Eh? Maksud gue, itu, mau ke toilet bentar. Nitip, udah di ujung." Ran menunjuk kresek hitam di dekat kakinya.

UNDERSTAND [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang