[30] Graduation

94 3 0
                                    

Semua orang hari ini tampak begitu ceria, namun tidak dengan cowok yang hanya menunduk lesu di bawah pohon Cemara itu.

Hari kelulusan entah kenapa terasa begitu kosong, bahkan teriakan dan tawa penuh haru yang mereka lontarkan tak ada apa-apanya di telinga Ran.

Kahfi sudah angkat tangan. Cowok itu tak sanggup lagi setia di sisi Ran yang galau tak ada hentinya itu.

"Alora cuma ga ada kabar, bukan meninggal, gausah alay deh lo," semprot Kahfi duduk di dekat Ran dengan ekspresi tengilnya.

"Ga usah bacot ya bencong!" balas Ran menusuk hingga ke ulu hati Kahfi yang rapuh.

"Tidak ramah, gue ngambek," gerutunya mengalihkan pandangan dari Ran yang acuh tak acuh.

Tak peduli sama sekali, Ran hanya mengedikkan bahunya membiarkan Kahfi terus menggerutu. Pandangannya menyapu pada lapangan sekolah yang begitu ramai dengan para siswa, semua nampak begitu bahagia melepas detik-detik masa sekolah.

Iseng, Ran menyenggol bahu Kahfi ketika ia menemukan Sidiq dan Keisya tengah berjalan beriringan di dekat koridor laboratorium. "Romantis," bisik Ran menatap Kahfi yang melotot.

"Ga usah bacot korban ghosting," balas Kahfi bangga dengan senyum miringnya.

Ran berdecak. Ia menolehkan pandangan ke arah lain daripada melihat muka sok imut Kahfi yang bisa membuatnya mual.

"Kalau diingat-ingat udah berapa lama lo gak kabar-kabar sama Alora lagi?" tanya Kahfi memecah keheningan yang sebelumnya terjadi.

"Dua mingguan, bahkan gue ditolak datang ke panti," balas Ran dengan tangan yang merambat nakal mencabut bunga Melati di dekatnya.

"Lagian lo kok bodoh banget sih?" omel Kahfi.

Bunga itu Ran hancurkan satu per satu dengan kesal, ia juga bingung kenapa jemarinya malah memencet kontak Alora malam itu. Dan kenapa harus gadis itu? Seolah takdir memang sudah menantikan dirinya dan Alora akan berakhir seperti ini.

"I don't know," lirih Ran hampir tak terdengar.

"Lo beneran gak inget apa aja yang lo bilang malam itu?"

Raut wajah Ran yang datar kini berubah lebih fokus, cowok itu berusaha keras memikirkan perkataan bodoh dan kurang ajar mana yang ia lontarkan waktu itu.

"Gue gak ingat jelasnya, yang pasti gue emang bilang gue sedang memantaskan diri buat Alora. Dan ...."

"Dan?"

"Damn it, gue gila!"

"Hah? Kenapa-kenapa?"

Ran menoleh ke arah Kahfi, menelan saliva kesusahan dengan tatapan yang tampak lebih tajam. Rahangnya mengeras dengan tinju yang mulai mengepal di sisi tubuhnya.

"Gue suruh Alora buat bisikin nama gue berkali-kali."

Kahfi mengernyit. "Ya terus masalahnya apa?"

"Mungkin karena itu kami ketahuan," lirih Ran tertunduk lesu.

Jemari Kahfi memegang dagu Ran, mengangkat kepala cowok itu agar berhenti selalu mengeluh yang membuat kepala Kahfi hampir meledak karena melihatnya.

"Lo kalau kayak gini bisa bikin keluarga Alora maafin lo, hah? Enggak, bodoh!"

"Terus gue harus gimana?" tanya Ran frustasi.

"Kalau lo beneran laki, datangin keluarganya, temui abangnya dan jelasin kalau itu semua gak sepenuhnya bener. Ini malah melempem kayak orang mau mati besok, tolol!"

"Gue ... takut, Pi."

"Lo yang bikin masalah. Kalau lo takut ya udah, biarin Alora cari cowok yang lebih jantan dan berani berjuang buat dia."

UNDERSTAND [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang