[18] Headpat

90 6 0
                                    

Gaun selutut itu terpasang indah pada tubuh Aleka pada pagi hari ini. Dirinya menggeraikan rambut sebahunya, lalu menjepit kedua sisi poni yang sudah mulai memanjang.

Tring!

Deringan dari ponselnya segera dilirik Aleka, kemudian kembali menatap pantulan dirinya dengan senyum tipis.

Usai merasa cukup, Aleka berjalan ke luar dari kamarnya. Berpamitan pada mama dan papa yang sempat menggodanya karena berpakaian sangat cantik.

Gadis itu membalas dengan mengepalkan tinju dan menunjuk sang papa dengan ujung high heels miliknya. Aleka paling malas kalau sudah digoda-goda. Aura feminim seketika melayang dari dirinya yang gampang sekali naik darah.

Males meladeni kelebayan orang tuanya, gadis itu segera minggat menuju halaman rumah dan menyambut Deys yang sudah sepuluh menit berdiri di sana.

Entahlah benar atau tidak, Aleka memperhatikan kedua manik Deys terlihat begitu blink-blink dengan sebelah tangan yang sibuk menggaruk tengkuknya.

"Ayo, nanti telat," ujar Aleka membuat Deys tersadar.

"Kita aja yang nikah gimana?" Deys mengalihkan topik.

"Gak, gue nikahnya sama Ran." Pedes euy!

Deys memanyunkan bibir kesal, kemudian membukakan pintu mobilnya untuk Aleka yang sudah gerah mengibaskan lengannya.

Sudah sepuluh detik, namun mobil itu belum juga dilajukan oleh Deys. Aleka yang bosan menabok bahu cowok itu kasar. "Buruan."

"Gue males, Ale. Mending kita nonton?"

Aleka paham, siapa juga yang akan bersemangat menyaksikan pernikahan kedua papanya? Namun, bukan berarti juga cowok itu mengajak dirinya kabur seperti sekarang ini.

"Dey, lo gak tau apa perjuangan gue buat rela datang ke nikahan papa lo? Tapi apa? Lo malah ajak gue nonton dengan pakaian kayak gini?" Aleka berceloteh.

"Tapi gue seriusan ga ada semangat buat hadir di sana, Le." Deys mengalihkan pandangannya ke depan mobil, malas berdebat dengan Aleka yang lebih batu dari dirinya.

"Gue paham-"

"Lo gak paham," sela cowok itu lebih dulu.

"Iya, gue gak paham. Tapi hargai keputusan papa lo. Dia juga butuh pendamping setelah sekian lama sendiri, Dey. Jangan jadi pecundang kayak gini." Aleka menggeser tubuh sedikit mendekati Deys yang tak mau menatapnya.

Jemari gadis itu mengapit kedua pipi Deys dan dan diarahkan agar melihat ke arahnya. "Ayo, nanti telat."

Deys melengos, mulai menyalakan mesin mobilnya dengan senyum kecil merasakan Aleka menepuk tipis kepalanya sebanyak dua kali. Entah sejak kapan Aleka si manusia batu ini memiliki sisi keibuan.

"Ale!"

"Hm?"

"Pat-pat lagi dong."

ᴀʟᴏʀᴀɴ

Air muka Hendra yang semula cemas akhirnya berubah tenang, tatkala pria berumur empat puluh dua tahun itu melihat keberadaan sang putra di pesta pernikahannya.

Deys yang menyaksikan papanya begitu bahagia pada pernikahan keduanya itu, mendengkus. Ia menarik pergelangan lengan Aleka dan membawa gadis itu duduk agak jauh dari keramaian.

Tak tinggal diam, Hendra mendekati Deys dan berdiri selama lima detik di hadapan sang putra, sebelum bariton terdengar dari bibirnya. "Makasih karena kamu udah datang," tutur Hendra yang tak dilirik Deys sama sekali. Sejujurnya, Deys sama sekali tidak berniat akan ada di tempat dan saat seperti sekarang ini kalau tidak dipaksa oleh Aleka.

UNDERSTAND [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang