Part 32

732 39 0
                                    

Pagi ini adalah hari pemberangkatan ku, sejujurnya aku sangat malas untuk pergi dari rumah ini.

Rasa sedih langsung menyelimuti ku, kenangan manis langsung tergiang di benak ku dan rasanya gak tega sekali aku tuk meninggalkan rumah ini, apalagi tempat paling private yak ni kamar. Bisa gak si kamar ku di bawa ke Bandung aja hehe.

Ah jika mengingat semua kenangan di rumah ini maka aku akan berjalan di tempat, tak dapat memulai hidup ku yang baru, maka ku kesampingkan pikiran ku dan mencoba memantapkan hati. Ya itung-itung supaya aku pergi tanpa meninggalkan penyesalan, toh semua ini adalah jalan yang ku pilih dan jika orang lain bisa hidup merantau masa ia aku juga gak bisa.

Aku memutuskan tuk keluar dari dalam kamar, tak ingin terbelenggu dengan keadaan lalu berjalan ke luar menuju lantai bawah yang mana mataku langsung menangkap dua sosok sahabat ku, siapa lagi kalo bukan Raya dan Akhtar yang duduk di sofa.

Aku tersenyum melihat keberadaan mereka, tapi kok kurang satu. Anggia kemana.

Sesampainya aku di sana Raya pun langsung memeluk ku lalu ia menangis di dalam pelukan ku.

"Tega lo mau ninggalin gue, nanti bestie gue siapa kalo mau nge mall atau curhat" ungkap nya dalam keadaan menangis dan itu cukup membuat ku tertawa.

"Kan Anggia masi ada, oh iya kemana dia kok gak ke sini?" Tanya ku sambil mengusap-usap punggung nya.

Raya melepaskan pelukannya, menatap ku dengan sebal lalu tak lama kemudian ia memukul bahuku. Mata ku terbelalak, jujur aku terkejut, emang aku salah ngomong.

"Kenapa?"

"Lo yang kenapa, baca grup makannya. Semejak gagal nikah gak pernah nimbrung grup, doi bunting. Puas" jelas Raya.

Aku yang tak percaya lantas menutup mulut ku yang terbuka lebar "serius?" Tanya ku lagi mencoba meyakinkan.

"Au ah, gue males punya temen kaya lo. Orang ma pada nyari kerja ke ibu kota biar umr nya gede, eh lu yang tinggal di ibu kota malah nyari kerja di luar kota, gak bersyukur lo" seru Raya sambil menunjuk ku.

"Prusahaan gue kan swasta ray" jawab ku.

"Tetep aja lo tinggalin gue nin" serunya.

Akhtar bangkit dari duduknya, menghampiri kami lalu memisahkan tubuh Raya dan memposisikannya di kanan ku. Setelah memisahkan kami Akhtar berdiri di hadapan ku, ia pun tersenyum dan spontan aku membalas senyuman nya.

"Hai, gimana kabarnya. Sehat?" Tanya nya aku langsung mangangguk mengiyakan "udah yakin juga mau hidup sendiri di bandung?" Tanya Akhtar lagi kepada ku. Btw ini pertama kalinya dia ngobrol lagi sama aku setelah kejadian beberapa waktu lalu.

"Alhamdulillah baik, sehat juga kok. Ya, yakin gak yakin harus yakin lah orang udah mulai kerja besok" jawab ku.

Dan lagi Akhtar tersenyum kearah ku, sebelah tangannya sibuk mengelus-elus rambut ku.

"Haedeh, belaga mesra-mesraan di depan gue. Muak gue liat nya. Yang satu bilang nya cuman temen makannya gak mau di kawin, terus yang satu siap mengkawin tapi yang di kawinin nya malah gak mau. Ngenes amat si perasaan nasib temen gue tu" tutur Raya yang langsung membuat aku merasa tak enak kembali kepada Akhtar hingga menimbulkan hawa canggung. Ya memang semua nya karna aku, so mau si salahin juga aku gak papa kok toh kenyataan juga.

Perkataan Raya tadi berhasil membuat Akhtar menghentikan acara mengelus-elus kepalaku, setelah itu ia tersenyum kaku. Mungkin karna ingat kejadian lalu. Ia pun memutuskan tuk duduk kembali di sofa.

"Janji tiap bulan balik jakarta" tutur Raya seakan mendesak ku.

"Em-" baru saja akan ku jawah, eh dia dudah memotong ucapan ku aja.

BerondongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang