Part 12

5.3K 286 6
                                    

"Kakak, udah sembuh?" Tanya Shavina yang tak sengaja berpas-pasan dengan ku saat keluar dari dalam kamar.

Lantas aku pun tersenyum kikuk sambil menggaruk-garuk kulit kepala ku yang tak gatal. Ibarat maling yang tercyduk saat bersaksi. Niat ingin memberi kejutan malah gagal gara-gara dia.

Dasar pengahan-ingat Shanin, kamu kan sudah bertekad ingin berubah.

"Suttt.. jangan kencang-kencang, kakak mau kasih kejutan ke yang lain" ujar ku dengan nada seperti berbisik.

Shavina mengangguk-angguk kepala nya dengan raut wajah begitu antusias, ia pun menuruti ke inginan ku dan mulai mengekor di belakang ku tanpa di perintahkan.

"Mau apa?" Tanya ku yang mulai risih akibat ulah nya.

"Ikutin kakak" jawab nya.

"Jangan" cegah ku "kakak mau masak, takut gak konsen"

"Liat doang kak, kali aja aku bisa masak kaya kakak" jawab nya dengan raut wajah memohon nya.

Ah, kalo sudah begini aku harus begimana? Mau tak mau ku perbolehkan dia mengikuti ku dan mengambil posisi yang sangat manis di meja makan sambil memainkannya ponsel nya.

Satu yang harus kalian tahu tentang ku. Aku itu paling gak suka kalo ada yang buntutin, menurut ku si agak risih aja dan suka bikin konsen ilang begitu aja tanpa sebab.

Ku ambil appron terlebih dahulu, mengambil sayuran yang masih fresh dari dalam kulkas dan mulai memotong bawang, cabai, wortel, sawi, bakso, kornet dan sosis untuk membuat nasi goreng spesial ala chef Shavina Visca.

Pertama ku taruh wajan di atas kompor gas lalu tuangkan minyak goreng dan mulai memasukan bawang, cabai dan bahan-bahan lain nya secara perlahan. Kurang dari waktu dua puluh menit nasi goreng buatan ku matang.

"Wangi banget" seru seorang yang ku yakin itu adalah mama dan benar saja ia sudah berada tepat di sebelah ku.

Astaga, kenapa Shavina diam saja gak kasih tau aku. Dasar adik sia-ihh jangan marah nin, sabar. Orang sabar di sayang pacar lho-eh, tuhan deh kan aku gak punya pacar. Hehehe...

"Sarapan yuk, mama udah laper banget ni pas nyium bau nya sampai masuk ke kamar" ajak mama dengan nada merengek nya.

"Iya ma, ini mau di pindahin nasi goreng nya" jawab ku " dek, siapin piring. Jangan main handphone mulu!" Titah ku dan ia pun menurut.

Seperti anak kecil tapi memiliki ukuran jumbo, mama malah duduk manis di tempat nya sambil mengetuk-ngetuk piring nya dengan sendok dan garpu seraya berucap 'Makan-makan' dengan nada yang begitu semangat.

Papa yang mendengar ucapan mama yang tak mengenakan kuping itu akhirnya keluar dari kamar, bergabung kami para wanita di meja makan.

Mata papa hampir saja terbelak saat melihat keadaan ku, mungkin papa kira aku akan sakit lama seperti biasanya. Apa lagi masalah yang sedang aku alami malam ini lumayan sulit dan rumit bagi ku.

"Teteh masak? Bukan nya masih sakit?" Ucap papa tak percaya.

"Masa mau sakit terus si pa, gak seneng apa kalo anak nya udah sembuh?" Jawab ku dengan sedikit nada dramatis.

"Nggak juga si, syukur deh kalo kamu sembuh teh. Dek, panggilin si aa" syukur nya lalu menyuruh Shavina yang sedang menyendok nasi goreng ke piring nya lagi-lagi menurut meski raut wajah kepaksaan nya sungguh terlihat sangat jelas.

Berbeda dengan mama yang sedang asik memasukan makanan nya begitu lahap tanpa memikirkan perkataan orang lain. Termasuk tak menyadari akan kesembuhan ku karena begitu tergiur oleh masakan ku yang biasa aja. Menurut ku.

Tak lama kemudian Shandio dan Shavina pun hadir di tengah-tengah kami dan bertapa terkejutnya Shandio saat melihat diriku yang kembali pulih. Padahal jika ingin kalian tahu kemarin saja aku masih sakit dengan keadaan tak berdaya.

"Kakak udah sembuh?" Tanya Shandio yang baru saja bergabung di ruang makan.

"Ih, aa! Kalo kakak belum sembuh mana mungkin bikinin sarapan buat kita" jawab Shavina yang menggantikan jawaban ku.

Dan kini aku hanya mengangguk-angguk sambil mengunyah makanan yang ku buat.

"Terus kalo kakak sembuh kita jadi anter jemput lagi dong sama kakak" tanya Shandio lagi.

"Yapp, kenapa? Gak suka kalo kakak sehat dan pake mobil milik kakak?"

"Ingat, DP nya pake uang siapa?" Celetuk papa.

"Papa si, tapi kan Anin udah ganti!" Jawab ku sedikit kesal.

"Udah makan aja dulu si aa! Omg-omg" seru Shavina berniat untuk menghentikan perbincangan kami lalu melompat-lompat setelah melihat notifikasi yang masuk kedalam ponsel nya.

Paling karena cowok, atau nomer togel dia yang menang. Ah, sabodo amat. Males banget pikirin, itu kan privasi dia.

Dengan hitungan detik ku tatap Shavina berhasil menghabiskan makanan di piring nya, lalu pergi menuju kamar nya mungkin.

Padahal tadinya aku pengen mgecengin dia 'woy, laper atau kesetanan makan sampe segitu nya' tapi gak jadi karena dia ngacir duluan.

"Kenyang banget! Sakit perut mama pa" rengek mama ambil mengusap perut nya.

"Gak kira-kira si mama makan nya!" Seru papa.

"Abis udah lama gak cobain masakan si teteh, oh ya teteh udah sembuh? Kok cepet si sembuh nya"

Huftt... Kenapa harus pertanyaan itu! Males deh ah aku denger nya dan ku tatap aja papa sambil ngasih kode kedipan.

"Si mama, anak nya sembuh malah di tanya begitu. Gak nyadar kalo sudah nambah tiga kali!" Cibir papa "lagian seharus nyamananmama seneng dong kalo si teteh sembuh, sakit kmjangan kaya Dio yang dari tadi diem mulu tanpa gairah"

Shandio pun menoleh ke arah papa "dih, ngapain Dio di bawa-bawa! Abisnya papa si gak mau ngebenerin motor Dio, kan malu kalo ngampus di anter jemput kaya anak TK" sembur nya membela diri.

"Yasudah, di anter jemput gak mau. Yok wes, bensin kakak sedikit lebih irit" sambung ku.

"Ah, gak asik. Motor rusak, uang di kurangin. Gak adil!" Kesal Shandio.

Aku, mama dan papa pun hanya bisa tertawa karena tingkah Dio hingga tak terasa waktu begitu cepat dan bel pun terdengar.

"Aku liat dulu" pamit ku meninggalkan mereka dan melesat pergi menuju pintu utama.

Seorang pria berseragam sekolahnya sedang memunggungi ku dan samar-samar aku seperti hafal siapa sosok di balik sana.

"Elzan! Kamu udah dateng!" Seru Shavina yang tiba-tiba saja muncul di belakang ku.

Dan akhirnya pria itu pun menoleh, menatap kami bersamaan "eh, iya. Kepagian ya?" Basa basi nya lalu meminta tangan ku untuk mencium nya sebagai tanda hormat.

"Pagi kakak cantik" sapa nya.

Aku pun menaikan sebelah alis ku dengan raut wajah garang.

"Ih, kakak jangan begitu. Dia ini Elzan temen Vina!" Serunya "maaf ya Zan, kakak kalo sama cowok suka begini. Yukkita berangkat ke sekolah" ajak nya setelah memohon maaf atas tingkah ku.

"Yaudah kak, kita pergi dulu ya" pamit nya.

"Iya, pastikan dia ada dalam keadaan aman" peringat ku dan ia pun mengangguk.

Kedua punggung remaja itu pun akhirnya tak terlihat lagi di dalam jangkauan ku dan kini ku putuskan untuk masuk kembali kedalam rumah tanpa ingin memikirkan dua remaja itu.

Temen? Ah, mana mungkin bisa semesra itu! Apa jangan-jangan dia-ah sudah lah. Apa yang perlu ku pikirkan tentang mereka. Toh keduanya cocok sama-sama masih bocah!

Bogor, 6 Juli 2018

BerondongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang