Part 17

3.8K 231 22
                                    

Kedua mataku membulat, deru nafas ku cepat seakan aku baru saja menyelesaikan lari sepuluh keliling di lapangan tembak di dekat komplek. Bisa-bisanya mama, ayah dan sepasang suami istri yang tak lain adalah pemilik villa pergi menuju Singapura dan meninggalkan kami para anak yang bangun tanpa di dampingi sosok orang tua. Mana di villa ini gak ada pembantu lagi, masa ia aku suruh tukang bersih-bersih masak. Kan gak etis dong.

Aku bangkit dari tempat ku, menguncir rambut panjang ku lalu meluncur ke dapur di karnakan perut ku ini perlu penghangat berupa teh atau kopi misalnya untuk mengganjal perut.

Bau bawang goreng dan beberapa bau bumbu dapur yang biasa ku gunakan untuk memasak dan ini betul-betul menggugah selera makan ku, hingga aku terkejut akan sosok pria yang memakai celemek itu.

"Elo, ngapain lo-"

"Ayok makan" ajak bocah tengik itu setelah menyela perkataan ku barusan.

Aku menggeleng kepala "nggak, gue gak biasa sarapan" aku membual, sebenarnya perut ku ini sudah keroncongan sejak tadi malam karena aku bersikukuh tak ingin keluar kamar gara-gara ada tuh bocah tengik dan om nya yang botak.

"Yakin? Aku buat khusus loh buat kakak cantik" tanyanya tak yakin.

"Lebih dari itu" tolak ku lagi, memasang wajah masam lalu berjalan melewatinya.

Kriukk...

"Bunyi apaan tuh?" Dia melonjak kaget, menatap ku dengan tatapan sedang menangkap basah seorang pencuri.

Bodohnya aku, kenapa berbalik badan sambil memegangi perut. Pasti dia curiga dan akan memaksa ku untuk duduk dan menyantap makanan buatannya. Gagal maning, kenapa kau bersuara wahai cacing di perut.

"Kakak cantik laper ya?" Tanya penuh selidik dan entah kenapa aku tak bisa menjawab pertanyaannya.

Sial.

Si bocah tengik itu mulai menghampiri ku, langkahnya pelan namun pasti menghampiri diriku. Tanpa ajakan atau ucapan sepatah kata pun ia langsung menarik lengan ku menuju meja makan dan lagi-lagi kenapa dengan bodoh nya aku malah nurut sama dia.

"Buka mulutnya" titahnya, menyodorkan sebuah sendok berisi nasi goreng di depan bibir ku "ayo buka, apa perlu aku cium dulu supaya itu bibir ngebuka?" Ancam nya.

"Mak-" baru saja aku membuka mulut untuk mengucapkan sumpah serpah yang sangat ingin aku lontarkan kepadanya, tapi sendokan nasi goreng itu dengan cepat masuk kedalam mulut ku.

"Gitu dong, sama calon suami harus nurut" ucap bocah itu percaya diri di sertai senyum kemenangan yang membuat aku mual dan rasanya aku ingin memuntahkan nasi yang sedang ku kunyah.

Aku membuang arah pandang ku ke segala arah, tak ingin pandangan kami bersibobrok dengannya yang akan membuat jantung ku menggila seketika.

"Ni, buka mulut lagi" perintahnya membuat mataku mendelik seketika.

"Sini sendoknya, gue bisa makan sendiri" ucapku ketus, mengambil alih sendok serta piring yang berada di hadapannya dan dengan tenang aku mulai menyantap nasi goreng enak buatannya. Mungkin.

Nasi di piringku telah habis, rasa-rasanya cacing-cacing di perut ku ini sudah bisa ku ajak bekerja sama lagi.

"Udah habis?" Tanyanya menatap ku lekat dan entah kenapa aku seakan-akan terhipnotis oleh iris kopi nya "sini piring nya, biar aku aja yang cuci" dia mengambil piring ku, membawanya ke bak cuci lalu membersihkan piring tersebut lalu ia taruh ke tempat semula.

Muka gila, seumur-umur aku gak pernah tuh di giniin sama si Dio. 21 tahun dia lahir di muka bumi dan bisanya nyusahin aku terus, terutama soal nyuci piring bekas makannya yang selalu aja ada alasan agar aku menuruti kemauannya.

BerondongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang