Part 20

4.1K 210 13
                                    

"Shanin, apa kamu siap un—" ucapan pak Miqdad tiba-tiba saja terhenti, begitu pun dengan kesadaran ku yang tiba-tiba saja menghilang.

Beberapa jam kemudian.

Perutku terasa lapar, mataku mengerjap perlahan menatap lurus pada atap hingga kepalaku merasakan sedikit nyeri di sisi sebelah kanan. Migrain.

Aku mengubah posisi tidur ku menjadi duduk, menatap Shavina yang sudah tertidur pulas di ranjang sebelah ku lalu ku tatap jendela yang sudah tertutup gorden tipis yang dapat menampakan sketsa luar.

Oh, ternyata sudah malam. Batin ku.

Tenggorokan ku terasa mengering, perut ku pun sudah membunyikan bel nya sejak tadi lalu aku pun memutuskan untuk bangkit dan pergi menuju dapur dengan cara berhati-hati. Yup, takut membangunkan orang yang berada di sini.

Sayup-sayup aku mendengar suara tv dari kejauhan dan benar saja, seorang bocah tengik tertidur dengan gaya duduk yang nantinya setelah bangun akan merasakan sakit di sekitar tubuh. Entah mendapatkan dorongan dari mana tiba-tiba saja tangan ku terulur kepadanya, membetulkan kepalanya di atas bantal kecil sofa dan menyelimuti nya dengan sarung yang tak tau dari mana asalnya itu.

Aku tersenyum saat memandang wajah tampannya dan ku beranikan untuk mengusap dahinya yang sedikit berkeringat padahal di sini suhunya lumayan cukup dingin loh. Puas memandang wajah bocah tengik itu aku pun terus melanjutkan langkah ku menuju dapur untuk melaksanakan apa yang aku ingin.

Roti lapis hazelnut dan susu coklat panas. Ah perpaduan yang sangat nikmat untuk ku rasakan saat ini, apalagi dengan perut ku yang sangat lapar pasti membuat sensasi yang berbeda dari sebelumnya. Maksudnya si kena maag duluan haha.

Saat aku ingin berbalik dari pantry tiba-tiba saja ada sebuah lengan yang melingkar di pinggangku dan di susul sebuah kepala yang menopang di bahu ku. Aku tidak berani menengok karna aura yang sangat berbeda menimpa ku.

Jika kalian pikir Shandio lah orangnya, maka jawabannya salah karena aku tahu persis bagaimana sikap Shandio kepadaku dan semanja-manjanya dia tetep gak akan seperti ini kepadaku.

Cukup lama aku terpaku dengan kejadian ini, akal sehat ku pun kembali dan ku taruh terlebih dahulu susu coklat dan roti selai hazelnut ku. Sedikit-sedikit aku mencoba melepaskan pelukan seseorang di pinggang ku, namun sayang tenaga ku kalah kuat dengan nya hingga aku membalikkan badan dan ku tatap wajahnya lekat.

Kurang dari lima senti jarak di antara wajah kami, dia terlihat seperti kaget dengan pergerakan ku dan aku pun sama kaget dengan apa yang aku lihat di hadapan ku ini. Semenit kemudian dia tersenyum, sebelah tangannya mengacak-acak rambut ku lalu dengan pergerakan cepat ia memeluk ku bahkan sampai aku berjinjit untuk menyamakan tinggi kami.

"Untuk kali ini aku mohon untuk izinin aku mengambil hati kamu, memperjuangkan kamu hingga saatnya tiba dan mengikat kamu terus di dalam sini" menunjuk bagian dadanya dengan suara yang terdengar sangat lemah "ya meski pun aku harus membantah orang tuaku bahkan mengalahkan om ku sendiri" lanjutnya dan itu terdengar amat teramat manis di telinga ku.

Ah, kurasa mulai sekarang aku tak boleh lagi galak padanya dan mengganti panggilan bocah tengik itu menjadi bocah sayang. Lah kok jijik ya. Shanin kenapa kau bisa menjadi alay karna ini?

***

Selepas sarapan seperti halnya kemarin kami di kumpulkan lagi dalam satu tempat, entahlah untuk apa namun firasat ku mengatakan bahwa ini pasti menyangkut padaku karena tatapan dua pasang orang tua itu terus saja terarah kepadaku.

Lah, emang aku ngelakuin kesalahan apa?

"Shanin" panggil pak Miqdad kepadaku.

"I-iya pak" jawab ku gugup karena tatapannya ituloh ya, ngebuat aku melted banget. Ah apa banget sih, kok ganjen sama suami orang haha.

"Panggil saya om saja, kamu kan sudah berhenti dari perusahan saya" ujarnya "jadi gini, km ingin menanyakan jika kamu di jodohkan dengan seseorang apa yang akan kamu lakukan?"

Aku melongo, gak ngerti sama sekali apa yang dia maksud sampai jari Shandio mencubit ku membuat aku meringis lalu menatapnya tajam. Seolah tak takut dengan tatapan ku, Shandio malah mengisyaratkan tatapannya pada pertanyaan yang belum ku jawab. Lah emang pak Miqdad bertanya apa?

"Hmm, maaf pak. Aku gak paham sama apa yang bapak katakan barusan, tapi apa aku boleh meminta penjelasan kenapa bapak menanyakan hal tersebut kepada saya?" Jawab ku.

"Jadi, ayah dan om Miqdad berniat menjodohkan kamu dengan..." Ucap ayah tergantung setelah mengambil alih suara dari pak Miqdad hingga ayah membuka suara kembali dan aku tercengang "Erik"

Hatiku seakan remuk, mataku menatap pada ayah tak percaya dan sedetik kemudian... You know lah aku kenapa. Tak sadarkan diri karena syok berat yang ku landa.

Ya Tuhan, nasib ku kenapa jelek banget seperti ini si? Apa gak bisa di buat lebih indah dan kalo udah gini mungkin aku akan menerima Akhtar aja. Oh iya, btw apa dia masih hidup?

***

Hari pertama kami kembali kerumahnya setelah liburan yang menguras tenaga serta emosi.

Aku terdiam di kamar ku, menatap gorden yang tertidur angin di pagi ini. Semenjak rencana ayah dan pak Miqdad untuk menjodohkan aku dan si botak, entah kenapa aku lebih suka mengurung diri di kamar tanpa mengeluarkan bunyi ya kalo gak salah si macam sikap ku dulu.

Badan ku yang terlihat lebih ramping pun membuktikan bahwa aku mengalami stress berat selama liburan dan artinya liburan kemarin adalah liburan tersial yang pernah aku jalani seumur hidup dan apa mungkin di lain waktu aku mending gak usah ikutan liburan macam itu ya.

Arah mata ku kini beralih pada pintu dimana ada seseorang yang mengetuknya dan tanpa permisi pintu itu pun terbuka, menampilkan mama yang membawakan ku sarapan.

"Pagi teteh, kenapa gak ikut sarapan di bawah?" Tanya mama dengan tampang tak berdosa nya dan aku yakin kenapa ayah bisa berniat menjodohkan aku dengan si botak pastinya sudah berkonsultasi dengan mama terlebih dahulu.

Aku menghiraukan nya, menatap balkon lagi seraya menarik nafas dalam-dalam.

Lengan mama terulur memegang bahuku lantas aku pun menoleh kepadanya. Tatapan mama terlihat begitu sendu dan semenit berikutnya ia mengeluarkan air mata.

Huh, pasti lagi akting meranin sosok Kajol yang mau ninggalin Shahrukh Khan.

"Maafin mama ya teh, nanti mama akan bilang sama ayah kalo teteh gak mau di jodohin sama nak Erik" ujarnya kalo boleh jujur aku bahagia sekali dengan ucapan mamaku ini.

"Serius?"

Mama mengangguk "pengang ucapan mama" memeluk ku dan aku pun lantas membalas pelukannya.

Ets, tapi jangan senang dulu. Ada hal yang harus ku selesai, seperti mengatakan pada Akhtar kalo jawaban ku atas perasaan nya hanya guyonan semata. Lagian aku gak mau kisah ini berubah menjadi SAHABAT KOK MENIKAH. Kan gak jelas banget kali.

Bogor, 21 Februari 2019

BerondongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang