Aku mendesah untuk ke sekian kalinya saat menatap jam dinding yang menunjukkan pukul delapan pagi.
Aku resah, bingung sekaligus takut yang bercampur aduk menjadi satu kesatuan yang bisa saja mematikan jika saja aku menyerah begitu saja pada suratan takdir ku yang sudah di atur oleh tuhan.
Setetes air mata terjun begitu saja tanpa di pinta dan aku tak mengerti kenapa aku bisa seperti ini.
Lagi-lagi aku menghembuskan nafas ku lelah, masih menatap jam dinding yang menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit. Astaga, sejak kapan waktu terasa begitu cepat.
Rasa-rasanya aku benar-benar ingin menangis, meraung-raung seperti anak umur tiga tahun yang menginginkan permen. Tapi kalo boleh aku juga ingin berteriak sekencang-kencangnya untuk mengeluarkan beban yang ku pikul selama ini.
Jika sudah begini aku selalu merasa kesal kenapa harus di takdir kan menjadi putri sulung yang tak bisa berbagi keluh kesah pada seorang kakak, apalagi di tambah dengan catatan takdirku yang malang ini semangkin membuat ku frustasi.
Ah sialan kenapa ini harus terjadi sama aku. Batin ku sambil mengacak-acak rambut ku.
Kini ku tatap kembali jam dinding sialan yang entah mengapa berjalan begitu cepat, padahal aku hanya ngacak-acak rambut tapi lima belas menit sudah berlalu. Aku di buat semangkin uring-uringan, sekarang jam nunjukin pukul delapan tiga puluh.
Ku tutup sementara mataku, berharap kalo aku salah liat jam dan saat ku buka mata lagi-lagi aku di buat sangat kaget ketika jam menunjukan pukul sembilan kurang lima menit. Astaga, aku yang ketiduran ato emang ada yang lagi mainin jam dinding aku si, kan jadi soudzon gini sama orang.
Apa mungkin Vina? Atau Dio?
Mataku menjelajah ke sekeliling kamar, berharap menemukan seseorang di dalam kamar yang berani-beraninya sudah mempermainkan aku, namun sialnya aku tidak menemukan siapapun di dalam kamar.
Astaga tuhan, apa kamar ini ada hantunya?
Ah, kenapa jadi horor begini si tuh—
*Ting Tong
Mataku melebar seketika, aku menggigit bibir bawahku dengan sangat kencang tanpa peduli ia akan memerah atau sobek sekalipun. Aku benar-benar gusar sekarang, ingin rasanya aku loncat ke sungai Han yang terkenal indah karna pemandangan atau lampu-lampunya di saat malan namun terkesan seram jika mengingat banyaknya orang yang mati gara-gara meloncat untuk bunuh diri.
Ah kenapa pikiran ku jadi ngelantur gak jelas Kaya gini si, tapi apa benar barusan aku mendengar bunyi bel?
Alam bawah sadar ku seketika di tarik paksa saat ketukan pintu terdengar dari luar sana yang membuat ku was-was, menerka-nerka sosok siapa yang ada di belakang pintu.
Mudah-mudahan aja Vina atau Dio Gusti!!!! Aku berdoa dalam hati, menghirup nafas panjang lalu ku hembuskan kasar.
Aku bangun bangkit dari tempat ku, berniat untuk membuka pintu yang sudah ku kunci selama dua hari tanpa membiarkan orang lain masuk ke dalam sini.
Lagi-lagi ku menghembuskan nafas beratku, mencoba menguatkan diri agar tidak syok dan menerima segala kemungkinan, bisa saja kan yang di depan pintu kamar ku ini Akhtar bukan salah satu dari anggota keluarga ku. Apalagi kalo di timbang dari riwayat Akhtar kemari ia sudah tak sungkan lagi menghampiri ku yang berada di kamar meski tanpa meminta ijin kepada orang tuaku.
"Cha" panggilan itu menyadarkan ku setelah kunci kamar telah ku buka.
Ku pegang knop pintu lemas, jantung ku berdegup begitu kencang entah karena takut atau emang tertegun aja sama panggilan Akhtar yang dari dulu gak pernah berubah selalu memanggil ku 'Cha' dari nama akhirku 'Visca'.
"Cha, apa aku boleh masuk?" Suara Akhtar lagi-lagi ku dengar, aku semangkin terdiam di tempat tak berniat menjawab atau memeberinya ijin agar bisa menemui ku.
Separuh diriku masih tak siap untuk bertemu Akhtar tapi sepatunya lagi mengatai ku pengecut karena tidak berani menemui sahabatku itu. Kini ku tarik nafas ku lagi sambil memejamkan mata dan mengeluarkannya perlahan.
Bismillah, aku siap.
Aku membuka knop pintu ku perlahan yang langsung menampakan wujud Akhtar di depan ku. Ia tersenyum hangat, sorot matanya terlihat berbinar saat menatap ku.
"Ini buat kamu, aku denger kamu gak keluar kamar dua hari" ucap nya seraya menyodorkan sebuah rantang makan yang aku ingat dulu saat kami masih berkerja di tempat yang sama Akhtar kadang membawakan aku bekal dengan rantang itu. Eh btw siapa yang kasih tau kalo aku gak keluar kamar dua hari!
Ah persetanan sama yang ngasih tau kabar, aku lebih tertarik sama rantang yang di bawa Akhtar.
"Makasih" aku menerima rantang itu, tersenyum kepada Akhtar lalu berjalan dengan malu-malu menuju sofa di sudut kamar ku dan Akhtar pun mengekornya.
Perlu kalian tahui Akhtar itu pandai masak, makannya aku terima. Dan perlu ku akui kalo masakan Akhtar itu juara banget, sampe-sampe masakan mama pun rasanya beda jauh sama buatan dia.
Kami terdiam di tepat meski duduk bersebelahan karena hanya ada satu sofa yang bisa di duduki dua orang, tepatnya kami dalam mode canggung. Padahal biasanya kita tuh sama-sama gak ada urat malunya kalo berdua ya walaupun kadang aku duluan yang selalu males nanggepin dia.
"Cha-"
"Tar-"
"Kamu dul-"
"Lo dul-"
Kita noleh bareng, manggil bareng sampe mau ngomong duluan aja bareng. Kalo lagi main game ini si namanya triple kill, ngapas si setingan mulut dia harus sama dengan ku.
"Ladies first" katanya, aku menggeleng.
"Lo duluan aja,mau ngomong apa?"
Akhtar diam sejenak, membuang nafasnya sebentar sambil memejamkan matanya lalu menatap ku kembali.
"Cha, Kamu tau kan kalo selama ini aku suka kamu?" Ucap nya dan gue malah manggut-manggut aja lagi kek orang goblok.
"Dan kamu juga tau kan maksud kedatangan aku hari ini untuk apa" aku masih manggut-manggut tanpa bales ucapannya "tapi ngeliat kamu kaya begini aku rasa aku udah bisa nyimpulin jawabannya deh Cha"
"Aku tau kita sahabatan dari lama, aku juga tau kamu gak ada perasaan sama aku tapi kamu jangan siksa diri kamu dengan ngurung diri kaya gini. Kan aku udah pernah bilang kalo kamu gak suka ato apapun tentang aku tinggal bilang, jangan sungkan kaya kita gak pernah kenal aja sebelumnya" ia tersenyum kecil, menggenggam tanganku dan mengusap nya pelan. Sorot matanya penuh dengan kekecewaan yang membuat dadaku sesak, hingga meneteskan air mata.
Akhtar menatap ku, menyentuh pipiku dan menghapus jejak air mata di sana.
"Maaf" aku hanya bisa berkata itu sebelum lidah ku kelu.
Akhtar lagi-lagi tersenyum kecil sambil menganggukkan kepalanya "boleh aku peluk kamu?" Tanya nya dan senang hati ku peluk Akhtar sebagai pelepasan beban yang telah aku pikul.
"Maafin aku ya Cha karena terlalu memaksakan kamu, aku janji kita bakalan jadi temen untuk selamanya. Ya walaupun kita gak berjodoh mungkin anak ato cucu kita akan berjodoh ca" katanya setelah melepaskan pelukan kami.
Aku menganggu setuju, beban ku sedikit mulai hilang tapi ke apa masih ada yang aku pikirkan saat ini "orang tua kamu gimana?"
"Aku sudah jelasin semua ke mereka dan mereka ngerti kok Cha, oh iya kamu gak keluar kamar artinya gak makan dong" ujar nya.
"Kata siapa gak makan, tuh" aku menunjuk bekas bungkusan makanan ku di pojok sana yang membuat Akhtar menggeleng kepala.
Akhtar mengacak rambut ku "tetep aja gak makan nasi kan, sekarang kamu makan isi rantang aku gih, aku bikin nya spesial pake cinta" ucap Akbar menggoda ku.
"Ahh, so sweet" kami pun tertawa bersama hingga tak ku sadari ada seseorang yang tak sengaja mendengar pembicaraan kami.
Bogor, 23 Maret 2020
Teruntuk menebus dosa wkwk
Selamat membaca, ku tunggu vote sama komen yang bilang kangen Shanin labil wkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Berondong
RomanceTAMAT # R E V I S I # "Ada apa dengan jantungku ini. Kenapa yah setiap aku berada didekat dengan bocah ingusan itu, jantung ini seperti kehilangan ritmenya? Apa ini yang dinamakan cinta? Ahhh, buanglah pikiran burukmu itu Shanin. Ingat dia itu pange...