part 19

3.6K 204 9
                                    

"Apa? Om tadi nyebut kak Shanin dengan panggilan apa?" Tanya si bocah tengik dengan raut wajah tak percaya.

"Sayang, emang kenapa?" Tanya balik si botak pada ponakannya itu.

"Om ada hubungan emang sama kak Shanin?" Tanya si bocah tengik yang terlihat semangkin bingung karena ucapan om nya itu.

Si botak pun terdiam sejenak dengan gestur tubuh seperti sedang menimbang-nimbang.

"Kak, emang kakak ada hubungan sama om?" Sebuah pertanyaan polos yang bocah sialan itu tiba-tiba saja layangkan kepadaku membuat aku terdiam.

Aku diam untuk beberapa detik, namun di detik selanjutnya aku menggelengkan kepala mantap saat otak ku kembali berjalan ke jalan yang benar.

"Tapi kan kita—"

"Bapak yang sudah ngebuat saya tenggelam kan" serang ku saat mengingat kejadian yang baru saja menimpa pada diriku.

Kedua mataku melotot, emosiku muncul berapi-api hingga aku berjalan ke arahnya dan dia pun sepertinya takut dengan ku. Dahal kalo di ukur tubuh si ya, jelas aku gak ada apa-apa nya sama dia.

Plakk..

Satu tamparan ku layangkan di pipi kanannya "itu buat bapak karnabuat saya jatuh"

Plakk...

Satu tamparan lagi pun ku layangkan pada pipi sebelah nya "itu karna bapak yang ketawain saya saat tenggelam"

Dan plakk..

Satu tamparan lagi ku layangkan pada pipi kanannya "itu buat bapak karna seenaknya manggil saya sayang"

Dan satu lagi, plakk...

"Itu bonus. Karna bapak sudah ngebuat saya emosi"

Yeyyy. Perasaan ku tiba-tiba saja membaik karna adegan ini, lalu meninggalkan om dan keponakan yang sedang menatap kepergian ku. Kali aja, ah kenapa aku sangat merasa percaya diri banget ya.

Kaki ku tiba-tiba saja terhenti tepat di depan pintu yang aku dan Vina gunakan di vila ini, hingga suara tangis ku dengar membuat ku tak tega dan masuk dengan cepat kedalam kamar tersebut.

Shavina duduk di ujung kasur sambil menatap jendela luar, bahkan tangisnya saja sudah tak kudengar lagi. Aku mengerutkan dahi sambil menggaruk kepalaku yang tak gatal. Apa dia sedang latihan akting?

"Dek" Panggil ku, ia menoleh menatap ku dengan matanya yang sedikit sembab.

"Iya kak?"

"Lo kenapa?" Aku berjalan ke arahnya, memeluk tubuh Shavina untuk memberi perlindungan secara tidak langsung.

Shavina yang nampak terkejut dengan gerakan ku pun lantas menumpahkan segala tangisnya, entah apa sebabnya yang membuat ia menangis tapi sepertinya aku tahu penyebab ini semua.

Beberapa menit kemudian Shavina berhenti menangis di dalam pelukan ku seraya melepaskan pelukan nya, ya karena aku sudah melepas pelukan ku sejak ia menangis tadi dan menyebabkan bajuku basah seperti sekarang.

"Lo ada masalah apa dek?" Tanya ku mencoba membuatnya angkat suara namun ternyata nihil.

Wegila seh, baju gue basah. Gak minta maaf dan gak mau ngomong sama gue!! Keterlaluan, untung adek gue kalo bukan udah di kutuk jadi batu loh kaya si Malin Kundang.

"Sudah kalo Lo gak mau cerita gak apa, tapi inget—gue selalu siap kok ngedeketin curhatan lo" seruku mencoba menjadi perlindungan padanya dan ia pun mengangguk, menatap ku dengan seulas senyuman lalu memelukku kembali.

"Makasih, udah jadi kakak terbaik aku dan maaf baju kakak jadi basah karena air mata bombay ku kak"

Aku mengangguk "gak usah lebay, dulu gue pernah jahat sama Lo" cibir ku dan berusaha mengingat kejadian-kejadian yang terkadang membuatku bersalah, bahkan hingga kini dan maaf aku pun belum bisa menjadi kakak yang terbaik untuk adik-adik ku sendiri.

"Btw aku laper kak, tolong buatin dadar telur dong" pintanya dan entah kenapa aku tertawa karena itu, lalu kami pun keluar dari kamar setelah Shavina mencuci mukanya terlebih dahulu dan aku mengganti bajuku.

***

Wangi dari telur dadar ku akhirnya mengguncang semu orang yang tiba-tiba saja muncul setelah aku mematikan kompor. Aku terperanjat, menatap ketiga pria yang berada di belakang ku.

"Kak, laper juga ni. Masakin telur dadar juga napa" pinta Shandio dengan raut wajah mupeng nya.

"Iya kakak, saya juga pengen dong di buatin" pinta si bocah tengik juga sama seperti Shandio dan begitu pula si botak yang baru saja ku tampar tapi masih saja berani memunculkan batang hidungnya.

"Aku minta maaf deh nin, lain kali aku gak akan begitu sama kamu. Tapi please, aku pengen juga di masakin telur dadar" katanya.

Tiba-tiba saja ide nyeleneh timbul di kepalaku, kenapa gak di duitin aja ya. Kan lumayan kalo satu telur harganya seratus ribu aku bisa dapat untung yang lumayan.

"Oke, harganya seratus ribu" ujar ku riang.

Shandio melotot "What? Mahal amat, biasa di tuker sama kebab aja mau"

"Mau atau tidak?" Tawar ku.

Baik Elzan dan Erik mengangguk kompak dengan cepat, berbeda dengan Shandio yang memaparkan wajah memelasnya di hadapan ku. Minta di kasihani, namun dengan terpaksa ia memberikan uang seratus ribunya kepadaku dan aku tahu itu begitu berat baginya.

Haha, resiko punya pacar kamu dompet gak boleh kosong. Iya gak? Jelas si ya, cewek kan suka banyak mau nya haha.

Entah kenapa setelah kami makan bersama perasaan ku tiba-tiba menghangat dikala kita melayanhkan celotehan kami saat berada di sini tanpa rasa canggung dan momen seperti inilah yang aku harapkan selama tinggal bersama mereka, hingga sebuah bel berbunyi dan aku yang membukanya lalu menatap wajah dua pasang orang tua yang meninggalkan kami di dalam sini. Kurang lebih selama dua hari kalo gak salah ngitung ya.

Aku mencium tangan mereka untuk memberi hormat, seraya mempersilakan masuk meskipun gak perlu sama sekali aku lakukan.

Suasana hatiku tiba-tiba saja kacau kembali karena ini, apalagi saat mengingat percakapan antara aku dan mama yang membahas sebuah cincin untuk Shavina. Apa mungkin dia akan di jodohkan? Entahlah, untuk menanyakannya saja bibir ku rasanya sulit untuk di gerakan, apalagi saat aku mendengar kisah yang terkuak di balik cincin berlian untuk Shavina.

Bogor, 20 Februari 2019

BerondongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang