Part 18

4K 232 7
                                    

Apa jangan-jangan Vina akan....

Astaga, ada apa si dengan isi otak ku. Kenapa biasa-biasa nya aku terus menerka-nerka pertanyaan yang tak bisa ku jawab.

Bodoh.

Stop Shanin, tidak bisakah kamu bersikap seperti dahulu. Pura-pura tak tau dan tak ingin tahu, tapi kenapa rasanya sulit sekali tuhan.

Ku tarik-tarik rambut ku seraya mencoba untuk menetralisir otak ku yang kotor dan sepertinya aku perlu liburan. Eh, bukannya aku lagi liburan ya sekarang?

Iya liburan, liburan yang sangat meniksa badan dan batin ku. Satu sisi aku pengen pulang dan sisi yang lain aku sangat-sangat ingin pulang. Kenapa si ayah dan mama harus meninggalkan kami di sini, kenapa gak dirumah aja. Mana gak ada kendaraan yang bisa aku tumpangi lagi.

Sial.

Aku mendesah, bibir ku mengerucut layaknya bebek hingga suara seseorang terdengar dan membuatku menoleh ke belakang.

Dia lagi, dia lagi. Si botak yang terus mencoba untuk mendekati ku, aku si lebih memilih bersikap tak perduli hingga ia duduk tepat di sebelah ku.

Ku geser duduk ku untuk menyiptakan batas antara aku dan dia, namun sayang dia terus memangkas batas kami hingga kakiku kehilangan tempat berpijak dan masuk kedalam kolam renang.

"Tolong" pinta ku namun samar-samar aku melihat si botak itu hanya tertawa, seperti menganggap ini adalah sebuah kekonyolan.

Aku yang notabene nya tak bisa berenang di kedalaman dua meter pun hanya bisa pasrah dan menunggu keajaiban tuhan hingga aku mulai tak sadarkan diri.

***

"Shanin, maafin kita" ucap Raya dan Anggia yang sedang menangis. Eh, tapi kenapa dia menyebut nama ku?

"Maafin gue yang suka nyinyir ke Lo ya nin, gue tau gue ini teman yang jahat buat Lo. Please, maafin gue nin"

Aneh, betul-betul aneh. Ada apa dengan ini semua. Sama-sama ku lihat Akhtar yang mendekati Raya dan Anggia dengan ekspresi wajah yang sama, menangis.

Tiba-tiba mataku menatap seseorang yang tubuhnya tertutup oleh kain putih dan dengan beraninya Akhtar membuka kain tersebut.

Syok, itulah yang aku rasakan seketika di mana wajah gadis itu mirip sekali dengan ku. Apa mungkin aku sudah mati?

Tidak, aku menangis sejadi-jadinya berharap ini hanyalah imajinasi atau mimpi belaka. Tetapi aku tersadar ketika mataku menatap sosok pria seumuran Shanin yang menangis meraung-raung di temani Shavina.

Ya Tuhan, benarkah aku sudah mati? Jika benar aku sudah mati, tolonglah buat diriku percaya dengan jalan yang kau berikan.

"Huekk.." cairan bening keluar dari mulut dah hidung membutakan mataku terbuka sedikit dan sayup-sayup aku melihat sosok bocah tengik yang sedang menatap ku.

Apakah aku masih hidup?

Ku peluk tubuhnya dengan cepat untuk menetralisir rasa takut ku yang entah kenapa bisa terbayang di benak ku, hingga suara melengking milik Shavina terdengar dan membuat ku melepaskan pelukan.

"Kakak gak apa-apa?" Tanya Vina khawatir, ikut membantu aku membenarkan posisi bersama si bocah tengik.

Aku mengangguk, tak lama Shandio menghampiri ku dengan raut wajah yang tak kalah panik.

"Gak apa-apa Lo kak?" Tanya Dio bergantian dan lagi-lagi aku mengangguk mengiyakan "syukurlah, gue pikir Lo mati kak"

Satu toyoran tepat mendarat di kepala Shandio, membuatnya menatap ku dengan tatapannya yang sebal.

BerondongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang