Part 22

2K 105 2
                                    

Jantung ku berdetak kencang, tubuh ku bergetar hebat saat melihat Akhtar yang nekat datang ke rumah ku dengan memboyong kedua orangtuanya berminat untuk memintaku.

Syok. Pasti, itu si jangan di tanya lagi, padahal sudah jelas tadi siang ku kirimkan pesan yang sangat panjang untuk menjelaskan persoalan ini, bahkan menelfon nya pun sudah ku lakukan. Entah otak ku seakan buntu memikirkan ini, baru lepas dari si botak, eh gak taunya si Akhtar benar-benar nekat datang ke rumah ku yang sepertinya akan membuat masalah ini semangkin rumit.

Aku menatap mata Akhtar yang sepertinya menaruh harapan banyak kepadaku, padahal dia tau sendiri kalo aku cuma menganggap dia sebagai sahabat selama ini.

"Bagaimana nak Shanin, mau menerima lamaran anak saya?" Tanya om Askar-ayah Akhtar yang terlihat sangat antusias menatap ku, begitu pun ibunya yang tak henti-hentinya melemparkan senyuman.

Aku semangkin kalut dalam keputusan ini. Satu sisi aku masih ingin memiliki status lajang yang tidak memiliki aturan atau ikatan apapun dan juga masih ada cita-cita yang harus ku gapai.

Aku duduk di apit oleh mama dan ayah yang sedang berbincang-bincang dengan kedua orang tua Akhtar. Raut wajah ayah ku terlihat biasa saja saat Akhtar dengan beraninya meminta ku untuk menjadi istrinya kepada ayah, berbeda dengan ibu yang terlihat sangat gembira saat berbincang dengan mama Akhtar yang tak lain adalah sahabatnya saat remaja dulu.

Oh ya, jangan tanyakan di mana kedua adik ku, yang jelas mereka sudah ku kurung dalam kamar mereka masing-masing agar tak kepo dalam urusan ku ini.

"Gimana nak Shanin, mau terima lamaran anak saya?" Tanya om Azkar-ayah Akhtar.

Aku terdiam, menungkulkan wajah ku sebentar. Jika harus di katakan pikiran ku saat ini sangatlah runyam, entah aku ingin pilih siapa salah hidupku.

Jika ku pilih si botak, aku gak tau akan bagaimana hidupku kedepannya. Jika ku pilih Akhtar yang notabenenya adalah sahabat ku, maka gak akan ada lagi friendzone ku di muka bumi ini. Dan jika ku pilih si bocah nackal itu, masa ia aku menikah dengan anak kecil yang jika ingin apapun selalu minta uang saku pada orang tuanya, terlebih aku pun gak akan tega kalo nikung adik ku sendiri. Ah emang si bocah nackal itu masuk dalam list pilihan calon suami ku ya?

Aku menatap kedua orang tua ku bergantian, lalu menatap kedua orang tua Akhtar. Aku ragu, bimbang dan jika memutuskan pilihan secara terburu-buru kan pasti akan janggal akhirnya hingga ku beranikan diri untuk berkata "Apa aku bisa meminta waktu?" Pintaku sontak membuat kedua orangtua Akhtar menatap ku datar.

"Maaf tidak bisa ya nak Shanin, kami sudah jauh-jauh datang kem—"

"Iya gak papa kok Cha, pikirkan yang matang aku gak mau kamu menerima ku karena terpaksa" ucap Akhtar lembut, terdengar ada sedikit kekecewaan di nadanya yang membuat ku terdiam.

Aku sedih melihat Akhtar yang menyimpan kekecewaan nya kepadaku, ngin rasanya ku peluk nya seperti bulan-bulan sebelumnya saat kami masih berteman, tapi rasanya itu tidak mungkin untuk sekarang. Kenapa? Ya karena ia sudah sangat berharap banyak kepadaku.

Kalo boleh jujur selama ini aku menyadari jika Akhtar menyukaiku sejak lama, tapi entah mengapa rasanya terlalu berat untuk menerima ia sebagai kekasih, calon tunangan bahkan calon suami. Ahhh, aku benar-benar tak terbayang bagaimana kita jika benar menikah suatu saat nanti apakah sikap Akhtar yang lemah lembut dan penyabar ini akan berubah atau masih tetap sama seperti dia yang ku kenal.

"Dua hari apa cukup waktu untuk kamu berfikir?" Tanya Akhtar aku mengangguk pelan berusaha tak menambah kekecewaan pada Akhtar.

Secercah senyuman terbit di bibirnya "yasudah om, Tante aku sama kedua orang tua ku pamit" ujar nya.

BerondongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang