Setelah beberapa minggu mangkir dari update, hehe. akhirnya biru update lagiiii!!!
aku rasa maaf aja g cukup buat kalian, tapi aku jg g bisa ngasih lebih ke kalian TT
sooo, semoga kalian bisa menikmati bab ini sembari ditemani suara hujan (kalau di daerah kalian lagi ujan)
------------------------------------------------------
Tiga bulan adalah waktu yang cukup panjang untuk Grup Band Biru fokus manggung sana-sini. Karena libur semester sudah dimulai, jadilah mereka gencar untuk manggung di sana sini, lumayan buat nambah-nambah uang jajan.
Langit orange menemani langkah kaki ketiganya menyusuri pinggir jalan. Mereka sengaja tidak membawa kendaraan ke tempat manggung, memilih untuk berjalan kaki dari kampus karena kebetulan kafe yang mereka datangi tidak jauh dari daerah kampus.
Kampus memang sedang libur semester, tapi untuk anak-anak UKM, tidak ada kamus libur. Justru hari libur mereka manfaatkan untuk latihan sebanyak mungkin mengejar ketertinggalan karena jadwal latihan yang kerap kali bentrok dengan jadwal kuliah.
Ketiganya diam, sepertinya menikmati semilir angin senja dan cahaya matahari yang tidak terlalu mencolok itu atau mungkin ketiganya sedang terjebak dengan pikiran masing-masing.
Tia tentang pikirannya terhadap Biru, apakah ia harus tetap maju atau mundur teratur. Laut yang sedang memikirkan Tia, apakah perasaan sahabatnya itu sudah terbalas atau belum. Sedangkan Biru sedang memikirkan kedua wanita itu, yang mana belakangan ini sedang nyaman sekali tinggal di dalam pikirannya.
Tiba-tiba handphone dalam saku celana jeans biru muda yang terlihat sedikit kumal yang sepertinya adalah model celana itu, juga sobek-sobek di daerah dengkul sampai paha bawah Biru bergetar menandakan ada pesan masuk yang entah dari siapa. Karena penasaran, ia menyalakan layar handphone-nya dan menemukan notif pesan dari Ibunda tersayang.
Karena hari ini ada acara arisan di komplek perumahannya, dan rumah Bunda Biru ketempatan untuk acaranya, jadilah Bunda Biru masak banyak hari ini dan kata Bunda sisa makanannya cukup banyak, jadi sayang kalau di buang, sedangkan sudah hampir semua tetangga kedapetan kotak makan buatan Bunda itu, jadi Bunda Biru meminta anaknya untuk mengundang teman-temannya makan malam di rumah.
"Kalian mau langsung pulang habis ini?" Biru memulai niat ajakan untuk makan malam di rumahnya dengan basa-basi.
"Bebas sih," jawab Laut dan Tia serempak.
"Ya udah yuk, makan malem di rumah gue!"
***
Berbagai macam lauk ada di hadapan Tia dan Laut sekarang. Mulai dari ayam bakar, rendang, mie goreng, sayur capcai, lalapan, dan sebagainya. Makanan yang ada di hadapan mereka mengundang selera sekali. Tia dan Laut yang tadinya tidak terlalu lapar malah jadi lapar sekali karena makanan di depan mereka ini.
"Jangan di liatin aja neng, ayok dimakan. Maaf ya malah sediain makanan sisa," kata Bunda Biru.
"Nggak ada yang namanya makanan sisa tante," balas perempuan yang ada di sebelah Laut ini. Pandangannya lurus ke makanan yang ada di meja. Ya, tidak ada yang namanya makanan sisa. Makanan tetaplah makanan.
"Panggil aja Bunda, sama kayak Laut juga panggil Bunda," kata wanita berparas ayu itu kepada Tia. Tia tidak tahu kalau ternyata Laut sudah pernah ke rumah Biru atau mungkin sering? Entahlah, Tia seperti merasa di dahului lagi.
Sambil menyendokkan nasi untuk anaknya, Bunda Biru lanjut berkata, "baru kali ini Bunda liat kamu. Namanya siapa?" tentu pertanyaan itu ditujukan untuk Tia.
"Tiara Putri, Tan... eh maksudnya Bund. Hehe,"
"Panggilannya Tia, Bund. Jadi panggil aja Tia." Biru membalas sambil mengambil piring yang tadi sudah diisi oleh Bundanya. Fyi aja, sebenarnya Biru bukan anak manja yang suka diambilin makan kalau emang mau makan. Hanya saja, ini sudah kebiasannya Bunda kalau ada makan malam bersama pasti Bunda bakal ngambilin nasi buat semua anggota keluarga di rumah ini.
"Geulis-geulis ya temen kamu Ru, mantap juga." ledek Bundanya.
"Apa sih Bund,"
"Eh... iya Bunda,"
"Ayok langsung dimakan aja yaaa. Makan yang banyak, yang kenyang. Oh iya Laut, ajak El sekalian biar makan bareng di sini."
Sepertinya keluarga Biru dan keluarga Laut sudah saling kenal satu sama lain. Aahh, kenapa Tia lupa, El adiknya Laut kan juga sahabat nongkrongnya Biru, sudah pasti keluarga nya saling tahu. Ternyata jarak antara Tia dengan Biru masih sebegitu jauhnya ya.
"Anaknya lagi ada kegiatan Bund, jadi biarin aja."
"Yeee, bilang aja lo mau habisin semua makanannya kan?" ledek Biru.
"Dih, apaan sih lo! nggak lah. Mana ada!"
"Tia," bunda biru tiba-tiba saja memanggil di saat mereka sedang asik menonton perdebatan Laut dan Biru.
"Mereka emang biasa berantem kayak gini ya?" Tia jadi ingin tertawa, ternyata bukan hanya di depannya, Laut dan Biru memang selalu debat dimana dan kapanpun.
"Sering Bund, Tia aja sampe bosen bilanginnya," yang diangguki oleh Bunda Biru. Laut dan Biru masih asik sekali adu debat, seakan di ruang makan itu hanya milik mereka berdua.
"Eehh, udah-udah masa makanannya harus denger kalian debat sih, nanti jadi nggak enak makanannya." keduanya menghentikan aksi debat itu dan mulai mengambil makanan masing-masing.
"Bunda jadi curiga," kini semua pandangan mengarah ke Bunda Biru. Terlebih Biru, penasaran sekali dia. Bakal aneh nih kayaknya.
"Ru, kamu suka sama Laut ya?"
***
Minggu kemarin Ayah Biru sudah ke Surabaya untuk cek apotik yang sedang di bangun di sana. Jadi hari ini mobil aman ada di rumah. Jadilah Biru mengantar pulang kedua teman perempuannya itu atas titah Bunda ke rumahnya masing-masing. Walau tanpa titah Bundapun, Biru pasti akan mengantarkan mereka.
Tapi konsekuensinya ya ini, di dalam mobil tersebut atmosfernya jadi dingin banget. Entah canggung yang menjadi alasan atau karena hal lain, bahkan kedua perempuan itu dengan tega memilih duduk di belakang dan membiarkan Biru menyetir sendiri di depan.
25 menit sudah mereka pergi dari rumah Biru tapi tidak ada pembicaraan. Tidak masalah. Tapi yang menjadi masalah adalah, rumah Tia dan Laut tidak terlalu jauh dari rumahnya, paling hanya memakan waktu satu jam jika macet. Tapi jalanan sedang lengang sekarang, dan sebentar lagi mobil ini akan sampai di rumah Tia.
Tiba-tiba Biru mempunyai ide. Bukannya belok ke kompleks perumahan Tia, Biru malah melajukan mobilnya lurus melewati kompleks perumahan Tia.
"Lhoo, rumah gue kelewatan Ru!"
"Lhaa, belok harusnya ru!"
seru kedua perempuan itu beriringan yang membuat cekikikan keluar dari mulut Biru.
"Kalian nggak ada pantangan pulang malem kan?" keduanya tidak menjawab karena itu adalah pertanyaan retorik.
"Gue mau ngajakin kalian ke suatu tempat. Jadi gue izin culik kalian bentar yaa,"
"Mana ada penculik yang minta izin," Laut mencibir ke arah Biru, lalu ia putar kepalanya ke samping kanan tempat Tia duduk di sampingnya. "Kasian banget si Biru malah culik kita. Gue takut dia jadi rugi besar," Laut membuat gesture seolah-olah sedang bergosip. Tapi suaranya tidak menunjukkan kalau ia sedang bergosip. Gede banget habisan.
"Kalo mau gosip tuh bisik-bisik, bukannya pake suara kayak mau umumin suatu pake toa,"
Kali ini Tia yang menimpali dengan sinis, "Emang sengaja gede-gede, biar lo puas dengernya,"
Tanpa menghiraukan sindiran kedua teman perempuannya itu, Biru melanjutkan. "Baik gue atau kalian nggak bakal rugi deh. Liat aja nanti,"
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (Langit & Laut)
FanfictionBiru Langit Bisa main banyak alat musik, anak futsal, dan anak klub musik. Sifatnya ramah, supel, sopan, asik. Tentu, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Dibalik semua sifat baiknya itu, ada dua hal yang sangat menjengkelkan dari diri Bir...