22

30 1 0
                                    

untuk sekarang-sekarang ini aku g bisa update kayak dulu lagi. tapi tenang aja, aku usahakan untuk rentang updatenya g jauh-jauh banget.

soooo enjoy for this bab!!!

-------------------------

Rumah yang berukuran kurang lebih 4x5 meter ini ada dihadapan Laut, Biru, dan Tia. rumah ini ada tepat di pinggir jalan. Tidak terlalu kumuh tapi cukup rapat dengan rumah atau mungkin kios yang ada di sebelah kiri-kanan rumah ini.

Rumah ini memiliki jendela, tapi dilihat dari luar gelap sekali, sepertinya rumah ini sudah memiliki gorden. Biru mengeluarkan kunci dari dalam tasnya dan membuka pintu. Ternyata rumah ini tidak bisa hanya disebut sebagai rumah saja karena saat Laut dan Tia memasuki rumah minimalis ini, mulai dari lantai, dinding, bahkan atapnya tertutupi karpet berwarna biru. Kalian mungkin sudah bisa menebak bahwa rumah ini telah dijadikan studio. Entah dari sananya memang sudah jadi studio atau Biru yang memiliki kunci rumah ini yang merenovasinya.

"Studio siapa Ru?" Laut lah yang pertama memecahkan hening. Sembari mengelilingi studio itu dan meraba karpet-karpet dinding yang ada di sekitarnya.

"Kita."

"Maksudnya?" Tia menjawab dengan kaget. Ia menyahut setelah cukup puas melihat sekeliling studio musik ini, kalau dilihat dari ukurannya, studio ini sedikit lebih besar dari studio musik yang ada di rumahnya.

"Sini-sini, duduk dulu," Biru menunjuk tempat di samping kanan-kirinya, menyuruh kedua teman perempuannya itu untuk duduk. Bukan buat modus---walau ya memang ada sempilan modusnya dikit---tapi nggak mesti duduk samping-sampingan banget juga sih maksudnya. Laut yang sadar posisi duduk mereka terkesan cukup aneh, ia memutuskan untuk pindah ke serong depannya biru.

Studio musik ini belum diisi apapun, baru karpet warna biru terang yang mengelilingi bangunan ini, jadi mereka duduknya di lantai.

"Gue tuh sebenernya udah punya rencana dari..." Biru berpikir sejenak, mengingat-ingat sejak kapan ia punya mimpi untuk membuat studio sendiri.

"SMA, disaat gue ngeliat temen-temen anak klub musik rata-rata punya studio musik sendiri walaupun mini, gue juga jadi mau dan bertekat buat studio musik juga." Laut dan Tia mengangguk barengan, tidak tahu bahwa ternyata Biru punya mimpi seperti ini dan mimpinya sebentar lagi terwujud.

"Bentar lagi impian lo terwujud dong," kata Tia.

"Yaps! Tapi ini bukan studio gue doang, ini studio musik kita. Jadi kita bisa latihan disini sebelum manggung,"

"Terus studio musik di rumah gue gimana dong?"

"Ibu lo pasti butuh waktunya sendiri. Belakangan kita udah hampir tiap hari latihan buat manggung, kalo di rumah lo terus kasian juga ortu lo, Ti. Kurang istirahatnya karena kita. Kalo disini kan kiri-kanan-depan-belakang berisik semua, jadi nggak bakal ada yang keganggu."

Daritadi Laut hanya celingak-celinguk melihat pembicaraan Tia dan Biru, sekarang ia ingin bicara. "Ya udah, gimana kalo diatur jadwal aja. Berapa kali latihan di rumah Tia, berapa kali latihan disini. Tapi karena studio ini belum rampung, jadi hal itu bakal berlaku setelah studio ini rampung. Buat sementara latihan bakal tetep di rumah Tia dulu."

"Setuju!" yang diamini oleh Biru juga.

***

Pagi ini hujan mengguyur kota Jakarta. Hujan yang tidak terlalu deras, tapi cukup awet ini membuat Laut ingin terus-terusan bergelung di balik selimut. Kasur yang empuk seakan menghipnotis dirinya untuk tidur sepanjang hari. Namun, Biru menggagalkan rencana indahnya itu.

Berhubung libur semester masih cukup lama, jadi Biru bilang di group chat bandnya kalau ia akan melakukan dekorasi di studio baru mereka hari ini. Sekalian nanti pembahasan mau hari apa aja dekorasi nya supaya Biru tidak dadakan ngasih tau mereka.

Tidak mungkin Laut menolak---walau sebenarnya dalam hati ia merutuk, kenapa harus di hari yang hujan seperti ini. Biru bilang studio itu bukan hanya untuknya, tapi untuk mereka yang otomatis itu untuk Laut juga. Jadi dengan berat hati dan diusahakan untuk ikhlas, Laut beranjak dari kasur kesayangannya menuju kamar mandi.

Setelah bebersih diri, ia turun ke bawah dan menyiapkan sarapan untuk dirinya dan El. Adiknya itu sudah pasti masih tidur, apalagi hari ini adalah weekend. Ia memasak nasi untuk dibuat menjadi nasi goreng. Sambil menunggu nasi matang, Laut menscroll sosial media miliknya sampai tanpa terasa nasi sudah matang dan ia siapkan bahan-bahan untuk membuat nasi goreng.

El sangat suka nasi goreng sosis dan beruntungnya, masih ada sisa sosis di dalam kulkas. Lalu Laut ambil satu butir telur, sayur sawi hijau, tomat, dan tiga biji cabai rawit. Fyi, Laut dan El tidak terlalu suka pedas.

Laut memakan nasi gorengnya dalam hening. Sebenarnya, dibeberapa kesempatan Laut kerap kali menyesali keadaan, meratapi nasib, dan membandingkan kehidupannya dulu dengan sekarang. Hujan memang suasana yang asik untuk tidur, hujan juga suasana yang asik untuk mengenang masa lalu.

Setelah selesai makan dan mencuci piring bekas makannya di wastafel, ia mengambil sticky notes di kamar dan menulis beberapa kalimat untuk El supaya makan nasi goreng yang sudah dibuatnya saat bangun nanti. Serta mengabari kalau ia pergi bersama Biru dan Tia. Lalu ia tempelkan di pintu kulkas.

***

Sepertinya Laut datang kecepetan dari apa yang sudah dijanjikan. Untung saja Biru sudah memberikan kunci cadangan studio musik ini pada Laut dan Tia, jadi semisal mereka mau ke tempat ini sendirian, silakan saja.

Laut membuka pintu dan masuk, ternyata Biru sudah menaruh beberapa aksesoris di studio musik. Bahkan beberapa gitarnya sudah bertengger di sana. Laut menyentuh gitar itu dengan penuh kehati-hatian, karena Laut tahu seberapa cinta dan sayangnya Biru sama benda yang disebut gitar ini.

Gitar dengan seri Larrivee D-10 ini sudah pernah Laut lihat saat Biru masih duduk di bangku SMA. Lalu sering Laut lihat lagi saat latihan klub musik ataupun latihan group band mereka. Gitar akustik warna coklat yang Laut ceritakan ini sepertinya punya sejarah panjang.

"Itu gitar pertama gue," suara itu membuat Laut terkejut bukan main, pasalnya Laut tidak mendengar sama sekali suara pintu terbuka, tapi tiba-tiba saja ia mendengar ada suara orang berbicara.

"Nggak ada yang nanya," Laut membalas setelah ia berusaha mentralkan degup jantungnya karena ulah Biru.

"Di muka lo terlihat jelas kok," balas Biru lagi dengan meledek. Laut hanya memandang dengan malas dan duduk di kursi yang sudah biru siapkan kemarin. Tanpa peduli apakah Laut mau mendengar cerita lanjutannya dengan si gitar pertama ini, Biru mengambil gitar itu dan mulai menyetem senarnya.

"Walau bukan murni hasil dari uang gue, tapi seenggaknya ada..." Biru menimbang, berapa uang yang Biru kasih Ayahnya untuk patungan membeli gitar ini.

"Yah nggak sebanyak itu pokoknya. Karena pas itu gue masih SMP dan uang jajan gue nggak seberapa sampai bisa beli gitar semahal ini. Gitar ini jadi penentu kenapa gue bisa secinta itu sama benda ini." Biru memandang gitar akustik di tangannya dengan penuh sayang, terlihat sekali dari matanya.

"Boleh coba gue mainin?" Biru terkejut, setahu dirinya Laut belum bisa bermain gitar, tapi sekarang Laut malah menawarkan diri untuk main gitar.

"Lo udah bisa main gitar?"

"Nggak sejago lo sih intinya," kata perempuan yang hari ini memakai kaus gombrong warna abu dan celana jeans sambil mengambil gitar dari tangan Biru.

Laut baru bisa menguasai kunci G, C, A minor, D minor. Ya kalo kalian sadar, kunci ini emang ada di lagu The Kubs - Lupa Lupa Ingat. Ternyata itu cukup membantu Laut untuk belajar main gitar, saat itu Laut menyesali kenapa tidak dari dulu saja ia belajar seperti itu.

Laut belum selancar itu memindahkan tangannya dari kunci satu ke kunci lain. Tapi Biru malah bertepuk tangan dan menaruh tangannya di atas kepala Laut sambil mengacak-ngacak rambutnya. Sembari tersenyum yang entah kenapa terlihat sangat manis di mata Laut. Kalau kata pepatah, rambutnya sih yang dielus, tapi yang berantakan hati.

Laut harus cepat-cepat sadar, takut kejadian seperti sebelumnya terulang. Ia buru-buru menyingkirkan tangan Laut dari atas kepalanya dan keadaan berubah menjadi canggung seketika.

BIRU (Langit & Laut)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang