06

39 5 1
                                    

Happy Reading^^

----------------------------------------------------------

Setelah adzan Maghrib, Renata alias Bundanya Biru langsung meminta anak semata wayangnya untuk mengantarkannya ke rumah salah satu temannya yang tidak cukup jauh jangkawannya dari rumah mereka.

Sore tadi, temannya menelpon bahwa dia butuh obat demam dan meminta Renata sebagai apoteker untuk merekomendasikannya. Dia bilang bahwa cucunya sedang sakit saat ini. Jelas, Renata ikut prihatin akan hal tersebut, jadi ia memutuskan untuk mengantarkan sendiri obatnya ke rumah temannya itu.

"Nda, janji nggak lama ya, soalnya Biru mau main ke tongkrongan biasa, ada El di sana." Biru mengucapkan itu sambil memiringkan sedikit kepalanya dan menaikkan intonasi suaranya. Jalanan ramai, jadi ia tidak mungkin berbicara dengan intonasi biasa pada Bundanya.

"Iya, paling ngobrol-ngobrol sebentar. Lagi juga sudah malam, nggak mungkinlah Bunda lama-lama di sana." Kata Renata sembari memukul pelan pundak anaknya.

Sesampainya di sana, Renata benar-benar menepati janjinya. Mengobrol sebentar, memberikan obat yang ia rekomendasikan dan memberi saran pada temannya, apabila cucunya itu belum turun juga demamnya, maka harus segera membawanya ke dokter. Selepas itu, Renata dan Biru pamit.

Renata meminta anaknya untuk mengatarkannya ke apotik saja, bukan ke rumah. Karena ia ingin lihat-lihat dulu persediaan obat yang ada di apotiknya itu.

"Nda jangan pulang malem-malem ya. Pokoknya Biru sampe rumah Bunda udah harus di rumah lho," ujar Biru.

"Iya, kamu juga jangan malem-malem pulangnya. Besok kuliah pagi kan? Kamu kan susah kalau bangun pagi," sindir Renata.

"Diiihh.... tapi oke!" seru Biru sambil mengacungkan ibu jari tangannya.

"Ya udah sana. Hati-hati ya, titip salam ke El, tanyain juga kapan main ke rumah lagi, Bunda kangen."

"Sip Nda!" seru Biru sambil membuat sikap hormat.

***

Di sisi lain, El dan Laut sudah sampai di tempat tongkrongan El. Tempatnya ternyata ada di dekat rumah, bisa dibilang masih satu komplek dengan rumah mereka, tapi hanya beda beberapa blok saja. Tempat tongkrongan yang mereka gunakan adalah sebuah rumah yang tidak jadi lanjut dibuat. Laut tidak tahu apakah El dan teman-temannya sudah mendapat izin atau belum untuk menggunakan rumah kosong ini sebagai tempat tongkrongan mereka.

Rumah kosong ini juga cukup seram kalau dilihat dari luar, tapi saat El mengajaknya ke dalam, rupanya ada lampu di dekat tangga menuju ke atas. Walaupun begitu, suasana seram tetap melingkupi rumah ini. Mungkin ini salah satu alasan kenapa mereka menggunakan rumah kosong ini sebagai tempat tongkrongan. Karena kesan seram dari rumah ini, bisa jadi tidak ada yang berani menggunakan beskem mereka kecuali mereka sendiri.

Saat sampai di lantai dua rumah ini, kesan seram yang tadi Laut rasakan di bawah seketika musnah. Mereka mendekor lantai dua rumah ini menjadi tempat yang menurut Laut nyaman sekali. Pencahayaannya pas, ada sofa yang sedikit usang tapi sepertinya masih empuk untuk diduduki, ditaruh di sisi kiri bangunan. Lalu ada bale dari kayu bambu di pinggiran bangunan, ternyata lantai dua ini tidak memiliki tembok di salah satu sisinya. Dan Laut rasa mereka menggunakan itu sebagai jendela pemandangan.

Laut tidak terlalu memperhatikan tadi, rupanya di sofa using tapi sepertinya empuk itu ada seorang laki-laki sedang merokok. El segera menghampirinya. "Bang, dari tadi?"

Laki-laki yang tadi sedang asik merokok sambil memainkan gawainya segera menengok dan melihat El kemudian Laut.

"Lumayan. Siapa cuy? Gebetan baru?" kata laki-laki perokok sambil menaikkan-turunkan alisnya ke arah Laut. Sejujurnya Laut sedikit risih dengan sikap seperti itu, tapi ia tidak menemukan tanda-tanda bahwa teman-temannya El ini bukanlah orang yang tidak baik. Mungkin hanya usil saja, seperti yang ia katakan pada El sore tadi.

"Kalaupun dia bukan sodara kandung gue, tetep aja gue ogah gebetin dia." balas El sembari menunjukkan muka jijiknya.

Memang dasar adik kurang ajar, tidak tahu diri, dan menyebalkan. Boleh tidak Laut dorong adiknya ini ke tembok yang bolong itu. Laut hanya menatapnya penuh cibiran, liat saja nanti di rumah.

"Oalah sodara rupanya. Kakak?" tanya laki-laki perokok itu lagi. El menjawab dengan anggukan dan langsung duduk di samping laki-laki perokok itu.

Sebentar, sepertinya ada yang salah di sini. Kenapa El tidak ikut mengajak Laut duduk bersama. Kenapa dia malah duduk sendirian dan sekarang malah asyik main gitar. Lalu si laki-laki perokok itu juga bukannya mengajak Laut duduk atau bilang 'anggap saja seperti rumah sendiri'. Laut benar-benar diabaikan. El bahkan tidak memperkenalkan ia dan temannya si perokok ini satu sama lain. Ataupun si laki-laki perokok tak punya inisiatif untuk memperkenalkan diri. Kalau Laut duluan yang memperkenalkan diri, ia akan malu nanti. Karena ia tidak terbiasa berhadapan dengan orang baru.

Baru saja Laut ingin protes pada adiknya, tiba-tiba ada yang menyentuh bahunya. "Permisi, jangan di depan pintu"

Laut menengok, dan tebak siapa yang tadi menyentuh bahunya.

Biru.

BIRU (Langit & Laut)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang