25

48 2 0
                                    

Haiiiiiiii biru update lagii!!! YAAAAYYY!!

aakkhhhh langsung aja kali yaaa daripada aku banyak bacot, hahaha

enjooyy!

--------------------------------------

Dalam sinetron atau film Heart, series yang mengenalkan tokoh bernama Rachel, Luna dan Farel ini sukses membuat penontonnya baper, kesal, geregetan, sedih, dan senang diwaktu yang bersamaan. Bahkan sukses membuat penonton terbagi menjadi dua kubu : Farel-Luna atau Farel-Rachel. Walau banyak yang mendukung Farel-Rachel karena melihat perjuangan Rachel untuk mendapatkan Farel, karena Rachel yang lebih dulu kenal Farel ketimbang luna dan Rachel yang berhak mendapatkan itu. Namun, penulis dan sutradara yang mengatur semuanya. Farel-Lunalah yang menjadi pemenang dalam series atau film Heart karena tak dapat dipungkiri sebenarnya hal itulah yang menjadi daya tarik series atau film tersebut.

Kisah cinta Laut-Biru-Tia memang tidak bisa disamakan dengan series atau film itu, tapi jalan kisahnya rada-rada miriplah, walau tidak sesedih series atau film itu. Kalau digambarkan, Tia layaknya Luna, Laut seperti Rachel, sedangkan Biru adalah sosok yang diidamkan keduanya, yaitu Farel. Laut dan Biru sudah saling kenal sejak SMA, walau perkenalan mereka dibumbui banyak perdebatan tapi kalau dipikir-pikir, persahabatan Farel dan Rachel juga seperti itu kan? Lalu Tia si pendatang baru masuk ke dalam lingkaran pertemanan Biru-Laut dan membuat apa yang seharusnya berjalan dengan semestinya malah berubah.

Biru dan Laut sepertinya tidak sadar kalau Tia sudah tertinggal cukup jauh di belakang mereka. Keduanya asyik sekali membicarakan entah hal apa yang Tia tidak tahu. Apa yang dipikirkannya tadi, lagi-lagi berkecamuk di otak dan hatinya.

Seharusnya memang seperti ini bukan? Seharusnya sedari awal Tia tidak masuk dalam lingkaran pertemanan mereka. Seharusnya Tia tidak gegabah dengan bercerita ke Laut tentang rasa sukanya pada Biru. Karena Tia sadar, Tia tahu dan Tia tidak bodoh kalau sebenarnya Laut suka sama Biru. Tia yakin banget kalau itu semua terhalang karena dirinya. Seharusnya Tia juga tidak usah kembali setelah cukup lama menghilang karena kesibukannya. Seharusnya Tia biarkan saja semua berjalan sebagaimana mestinya. Kalau Tia lagi-lagi memaksa keadaan, sepertinya ia akan jadi seperti Luna yang menyebalkan.

Mereka masih disekitaran Blok M, masih sekitar 20 km lagi untuk sampai studio musik 'Pengamen Senja' dan Tia berusaha untuk tidak mengeluarkan kata-kata itu.

***

Hari sudah senja dan mereka masih asyik latihan. Setidaknya sudah satu lagu yang rampung mereka kulik, tinggal menunggu untuk divideokan lalu di upload. Paling nanti malam mereka akan take video untuk semua lagu yang sudah mereka kulik.

"Gue haus nih, ada yang mau nitip nggak? Gue mau beli es di luar," Tia mengintrupsi Biru dan Laut yang sedang fokus latihan dengan alat musik masing-masing. Ketiganya tidak sadar ternyata matahari sebentar lagi terbenam dan untungnya Tia mengucapkan hal itu, jadi Biru dan Laut sadar kalau tenggorokan mereka sama keringnya dengan Tia.

"Anjir, gue baru sadar kalau gue juga haus, hahaha," Biru menimpali. "biar gue aja yang beli. Cewek-cewek yang anteng aja ya di sini,"

Setelah kepergian Biru dari studio itu, keadaan jadi hening. Hening yang canggung. Tidak hanya Laut yang merasa tidak sedekat itu dengan Tia, Tia pun merasakan hal yang sama. Maklumlah, perempuan kalau ada masalah kadang berpikirnya lebih baik dipendam daripada harus diutarakan baik-baik atau dengan jambak-jambakan dan cakar-cakaran. Cara berteman perempuan dengan perempuan berbeda. Perempuan mempertimbangkan banyak hal, salah satunya adalah perasaan. Entah perasaan mereka sendiri atau perasaan temannya. Tapi Tia tidak bisa membiarkan keheninga ini berlanjut begitu lama. Tia sadar, Laut adalah orang yang cukup keras, bahkan kepada dirinya sendiri. Kalau Laut memang tidak mau membuka suara lebih dulu, biar Tia duluan saja. Sebelum tidak sempat, sebelum semuanya terlambat.

"Laut..."

Laut tahu, dia tidak bisa membiarkan keheningan menyelimuti keduanya terus-menerus. Tapi Laut tidak siap. Entah tidak siap dengan apa, tapi Laut merasa akan ada hal penting yang terjadi hari ini. Firasat atau perasaan yang sedari awal Laut rasakan.

"Iya, Ti?" Laut membalas dengan pertanyaan.

Keduanya kembali hening, tapi Tia berusaha menekan egonya. Dia sudah membuka pembicaraan duluan, maka dia harus melanjutkannya sampai akhir.

"Lo tau suasana kayak gini nggak enak banget, canggung banget. rasanya kita kayak orang asing yang nggak kenal satu sama lain dan gue rasa kita berdua tau masalahnya dimana," Laut masih bergeming dan Tia melanjutkan ucapannya.

"Gue lihat lo di kantin waktu itu, La. gue tau lo sempet denger pembicaraan gue sama Biru. Entah lo denger sampe mana gue nggak tau," laut terperanjat, ternyata saat itu ia ketahuan. Tapi kenapa Tia hanya diam saja?

Seakan bisa membaca pikiran Laut, Tia melanjutkan ucapannya, "Gue sengaja membiarkan. Gue sengaja membuat lo berasumsi sesuka lo, gue mau bersikap egois sedikit..." Laut menyela, ia ingin tahu kebenarannya langsung dari si empunya cerita. "Biru udah tau lo suka sama dia?" yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Tia.

"Tapi seperti yang sudah gue duga, bahwa Biru sukanya sama lo," Tia mengucapkan itu sambil memusatkan perhatiannya kepada Laut.

"Tapi gue nggak suka sama dia, Ti. Jadi..."

"Lo suka sama dia," Tia menyela ucapan Laut dan mengatakan itu dengan tegas. Mengulang perkataannya yang tadi dan berusaha untuk meredam emosinya yang mulai tidak terkontrol.

"Lo suka sama Biru, La. Gue yang orang lain aja tau masa lo nggak?!" emosi tia sudah tidak terkontrol, ia sudah tidak peduli lagi. Toh setelah ini ia akan bebas dan lega, ia akan meninggalkan keduanya.

Tia tidak memberi akses sedikitpun untuk laut bicara. "Bukan, lo bukannya nggak tau. Tapi lo nggak mau tau, lo membohongi diri lo sendiri! Bisa berenti sok peduli sama perasaan orang lain nggak?! Bisa pentingin perasaan lo dulu baru orang lain nggak?! Perasaan lo itu sama pentingnya La, lo harusnya sadar itu dan lo harusnya egois. Lo harusnya bisa bahagia sama biru dan gue nggak seharusnya jadi penghalang kalian!"

Laut ingin membantah, ia ingin membantah semuanya. Tapi mulutnya kaku, dan pandangannya mulai mengabur karena air mata. Tenggorokannya terasa sakit karena ternyata sedari tadi ia menahan untuk tidak terisak.

"Kenapa lo buat gue jadi kayak orang jahat sih, La?" Tia mengucapkan itu dengan keputusasaannya.

Laut masih sulit untuk memberikan reaksi apa dan bagaimana, dia masih sibuk untuk mengontrol perasannya agar tidak meledak saat ini juga.

Di tengah kekacauan pembicaraan itu, Biru datang dengan dua minuman manis, satu minuman kopi dingin dan tiga air mineral di tangannya. Melihat kedua perempuan yang sekitar 15 menitan ia tinggal untuk membeli minuman segar sudah banjir dengan air mata, membuat Biru jadi panik. Apakah ada yang terjadi selama ia tidak ada tadi?

"Kalian kenapa? Ada apa, kenapa pada nangis? Ada penjahat kah? Kalian nggak apa-apa kan?" perkataan itu bertubi-tubi dilayangkan untuk kedua perempuan dihadapannya. Seakan keduanya tidak sadar bahwa keduanya sudah dibanjiri air mata, Laut dan Tia menjauh satu sama lain dan menghapus air mata mereka.

"Untung gue beli air putih juga. Nih kalian berdua minum dulu buat nenangin diri, baru habis itu cerita kenapa dan ada apa sampe kalian nangis kayak gini." Biru menyerahkan satu botol mineral yang sudah dibukanya kepada Laut, baru menyerahkannya botol mineral yang satu lagi kepada tia.

Tia tidak mengambil botol minum itu, botolnya masih menggantung di tangan Biru, menunggu Tia mengambilnya. Masih dengan perasaannya yang kelabu dan dadanya yang sesak, Tia berucap "Kita selesain semuanya sekarang ya Ru, karena setelah ini gue bakal pergi. Jadi gue mau pergi dengan tenang tanpa ada beban apapun,"

BIRU (Langit & Laut)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang