5. Aturan

755 63 1
                                    

Siang berganti petang, saat kupikir Khalid akan mengantarku ke unit apartemen yang dijanjikan, dia justru membelokkan kendaraan menuju komplek perumahan elite. Berhenti di sebuah rumah yang paling besar di sana, lalu membawaku masuk ke dalamnya.

Satpam, pelayan, dan asisten rumah tangga menyambut kami di depan. Dengan segala kemewahan yang terpampang, tak perlu kujelaskan lagi berasal dari keluarga macam apa dia. Konglomerat, hanya satu kata yang tercetus dalam benak.

"Aku akan membawamu menemui istriku!"

Langkahku terhenti tiba-tiba. Akhirnya aku akan tahu siapa wanita yang memilih pelacur di antara sekian banyak wanita baik-baik di luar sana. Seorang istri yang rela berbagi suami hanya untuk mewujudkan satu-satunya harapan keluarga di tangan seorang wanita hina.

Khalid mendorong pintu ganda yang terpampang di hadapannya. Setelah pahatan kayu itu terbuka, alih-alih wanita sehat yang berdiri menyambut kami. Yang kulihat justru wanita lemah yang terbaring tak berdaya di atas ranjang besarnya.

Berbagai alat medis melekat. Bersama dengan penutup kepala dan pakaian yang kuterka tak pernah terbuka, selain di hadapan suaminya.

Inaya Ammara Husein, gadis yang kupikir sempurna karena hampir memiliki segalanya. Anak dari pemilik yayasan panti asuhan di mana aku bernaung dulu. Lima belas tahun kami habiskan waktu bersama, berbagi banyak hal, bersenda-gurau. Sampai kusadari dunia kita berbeda, kasta membatasi kita.

Masih lekat dalam ingatan saat dia pamit untuk melanjutkan study di luar negeri. Menangis di pelukanku. Dan berbisik di telinga, mengatakan bahwa kita saudara. Aku tak mengerti maksudnya, dan tak pernah mendapat jawaban akan penyataannya yang ambigu. Hingga sepuluh tahun berlalu aku tak pernah mendengar lagi kabarnya.

Sampai akhirnya Khalid datang dan memberi penawaran itu.

"Setahun lalu Naya dinyatakan koma setelah melakukan prosedur pengangkatan rahim akibat tumor ganas yang menyerangnya. Sebelum rahimnya benar-benar diangkat dokter berhasil mengawetkan tiga sample sel telurnya. Satu sudah saya gunakan tanpa sepengetahuannya, tapi berakhir gagal. Hanya tersisa dua. Sebelum harapan kita benar-benar sirna, saya mengingat sebelum jatuh koma Naya pernah menitipkan pesan. Dia meminta saya untuk mencarimu. Awalnya saya sempat ragu, sangat ragu. Satu tahun bahkan sudah berlalu dan saya masih belum bisa juga mendapatkan jawaban itu. Tapi, entah kenapa, seminggu terakhir ini saya merasa benar-benar yakin padamu. Seperti yang Naya katakan sebelum koma, selain Tuhan mungkin kamulah satu-satunya harapan kami."

***

Hanya ada dua pertanyaan yang menggelayut dalam benak saat kulihat sosok yang terbaring koma di atas ranjangnya, yaitu istri macam apa yang merelakan suaminya menikahi seorang wanita yang seringkali kali orang anggap hina karena pekerjaan yang digelutinya? Calon ibu macam apa yang mengharapkan benihnya tumbuh di dalam rahim yang seringkali disinggahi cairan nista para lelaki durjana?

Bahkan saat lelaki itu berhasil menarikku dari lubang neraka, aku tak pernah bisa benar-benar percaya. Berhubungan dengan kaum Adam selalu saja membawa petaka. Bagiku semua lelaki itu sama. Mereka yang terlalu mengandalkan logika kadang menyimpulkan sesuatu hanya berdasarkan egonya. Seperti cara mereka menatap dunia, dan wanita di dalamnya.

Aku hanya bisa tertawa saat pertama kali dia datang, menawarkan sesuatu yang lebih berharga dari intan permata. Menceritakan tentang ketidakberdayaan istrinya, dan keputusasaan menghadapi masa depannya.

Dia menjanjikan komitmen yang dibalut kesepakatan pernikahan. Kontrak setahun yang bernilai milyaran untuk mengandung anak yang kelak akan mewarisi banyak harta dari dua keluarga kaya yang diuji dengan ketidaksuburannya.

"Bisa kita mulai saja?" Pertanyaan dari lelaki berpeci, seketika membuyarkan lamunanku. Sudah sebulan sejak pertama kali Khalid datang membawa penawaran itu.

Aku masih di sini, di ruangan sama di mana wanita itu terbaring koma. Disaksikan dua anggota keluarga yang membuktikan bahwa pernikahan ini sah di mata hukum dan agama, tanpa paksaan dan tanpa cinta demi kesepakatan bersama-- kulihat lelaki yang sebentar lagi menjadi suami dari dua wanita berbeda, mengusap wajahnya, lalu mengangguk pelan.

Dia menatapku sejenak, kemudian menjabat tangan pria paruh baya yang diketahui sebagai seorang penghulu.

"Saya nikahkan dan kawinkan Anda, saudara Khalid Prasetya bin Muhammad Ali Prasetya dengan saudari Nindia Putri Zaelani binti Lani dengan maskawin tujuh puluh U.S dolar. Tunai!"

"Saya terima nikah dan kawinnya Nindia Putri Zaelani binti Lani dengan maskawin tersebut. Tunai!"

"Bagaimana saksi?"

"Sah!"

***

Mungkin kalian berpikir bahwa pernikahan adalah kesempatan paling berharga bagi seorang pelacur yang dibuang ibunya di panti asuhan. Jalan keluar paling efektif untuk wanita yang sudah terlalu lama terjebak dalam kesesatan. Nyatanya komitmen dan pernikahan tak selalu mampu mengubah seseorang.

Di tengah gemerlapnya ibukota. Dalam sisi kelam kehidupan keras di Jakarta. Ini bukan  pertama kalinya aku terikat dengan pria.

Aku sudah pernah merasakan kehidupan berumah tangga. Menemukan satu-satu tempat berlindung. Memiliki seseorang yang kupikir rumah, rupanya lebih menyeramkan dari penjara. Dia cinta dan patah hati pertama yang membuatku tak lagi percaya dengan omong kosong cinta dan merasa telah dipecundangi dunia yang orang lain puja. Dari sanalah awal aku mulai membenci lelaki, lelaki yang hanya memanfaat wanita sebagai pemuas nafsu, lelaki yang hanya memanfaatkan wanita sebagai babu, dan lelaki yang menganggap wanita hanya sebagai mesin pencetak anak.

Di tepi ranjang aku menatap jenis lelaki ketiga. Seorang anak tunggal dari keluarga kaya raya yang sayangnya menikahi seorang wanita yang tak sempurna. Segala cara dia lakukan agar benihnya tumbuh menjadi seorang anak yang sudah keluarga mereka dambakan sejak lama.

"Kalau dia menginzinkanmu menikahiku, kenapa dia nggak mengizinkanmu menyentuhku? Bukahkan lebih mudah melakukannya dengan cara alami daripada teknologi yang memakan banyak waktu dan biaya?" Pertanyaan itu tercetus begitu saja, saat kulihat dia hendak beranjak pergi setelah menjelaskan segala hal tentang aturan kontrak ini.

Khalid berbalik menatapku.

"Naya tak pernah melarang saya menyentuhmu, Nindi. Sayalah yang memutuskan untuk tak melakukan itu. Ini satu-satunya kesempatan kami untuk punya anak dengan DNA kami sendiri."

Aku tersenyum miring mendengarnya.

"Mungkin satu-satunya kesempatan dia, bukan kesempatan kamu. Dokter bilang kamu sehat, berarti tanpa dia kamu masih bisa punya anak dari wanita lain. Harusnya dia nggak egois, karena aku tahu setiap lelaki pasti butuh. Khususnya kamu yang udah lebih dari setahun nggak menerima hak itu."

"Jangan salah paham. Saya menikahimu atas persetujuannya. Tanpa dia pernikahan ini mungkin tak akan pernah terjadi. Kami hanya ingin anak yang kamu kandung nanti jelas nasabnya, jelas siapa ibu dan bapaknya. Dengan atau tanpa pernikahan saya sudah berkomitmen tak akan pernah mengkhianati Naya. Dengan menyentuhmu sudah termasuk pengkhianatan bagi saya. Jadi, tolong mengerti. Jangan pancing saya. Anggap kamu bekerja untuk saya, dan kamu dibayar untuk itu. Jadi, tolong ikuti saja aturan saya."

Aku memalingkan muka, lalu tertawa. Sebenarnya apa yang dia kata masih terbilang biasa, tapi entah kenapa mendengar langsung dari mulutnya, malah menimbulkan rasa nyeri yang sulit kumengerti.

"Oke, kalau kamu punya aturan, aku pun demikian. Membayar atau dibayar kita sama-sama punya hak dan kewajiban!"

Khalid terdiam.

"Aku nggak akan memacing, tapi kalau kamu terpancing berarti imammu lemah, keyakinanmu goyah. Kita liat saja sampai kapan sabarmu berubah jadi pasrah!"

Kutarik selimut, lalu terbaring dalam posisi menyamping. Dari sudut mata kulihat dia beranjak pergi dan menutup pintu dengan hati-hati.

.

.

.

Bersambung.

BENIH TITIPAN SULTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang