Sepuluh tahun lalu ....
Suara deru kendaraan terdengar di depan halaman panti, dari balik tilas jendela aku melihat anak-anak berlarian keluar memburu pemilik yayasan dan sang istri yang biasa datang tiap seminggu sekali. Setiap kali mengunjungi, keduanya selalu membawa serta banyak makanan dan mainan entah dari sumbangan maupun
dana pribadi."Kak Nin, nggak nyamperin Pak Budi sama Bu Siksa? Nanti nggak kebagian jatah, loh." Bocah tujuh tahun berambut ikal itu berdiri di ambang pintu kamarku, menjilati es krim yang hanya seminggu sekali bisa kita nikmati.
"Nggak apa-apa. Kak Nin udah gede, mending buat kalian aja."
Aku tersenyum lebar menatap Dodi, bocah tujuh tahun yang masih berdiri memakan es krim di sana. Sesekali menelan ludah mencoba menahan keinginan untuk mencicipi bagaiman es krim yang dingin dan segar itu menjalari tenggorokan panas-panas begini.
"Yakin? Atau mau cobain dikit punya Dodi." Bocah itu menawarkan, seraya menyodorkan es krim stik di tangan kanannya.
Sekali lagi aku menggeleng. "Nggak, ah. Rasa es krim sama aja, kok. Nggak akan berubah."
Kalimat itu kuucapkan tak lebih hanya sebagai upaya untuk menghibur diri. Karena selama lima belas tahun ini aku tak pernah menerima apa pun langsung dari tangan para pemilik yayasan yang anak-anak bilang sangat dermawan. Beberapa pemberian yang layak hanya pernah kudapatkan langsung dari para penyumbang, atau perantara Kak Naya, putri semata wayang Bu Siska dan Pak Budi. Selebihnya sisa anak-anak yang kukonsumsi.
"Ya, udah kalau gitu Dodi ke depan lagi."
"Eh, Dod!"
"Iya, Kak?"
"Kak Naya ikut?"
Dodi menggeleng, lalu mengedikkan bahu. "Nggak tahu, nggak keliatan, sih."
Aku tertegun sejenak. Sayang sekali, padahal beberapa waktu ini aku merindukannya. Sudah cukup lama kami tak bertemu karena dia tengah mengurus segala keperluan untuk melanjutkan study ke jenjang yang lebih tinggi.
"Ya udah. Jangan lari-lari!"
Bocah itu tak mengindahkan dan tetap berlari mengitari koridor kamarku menuju pelataran panti. Aku hanya bisa menggeleng mengiringi kepergiannya, sebelum kembali melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.
Buku-buku pelajaran yang semula bersemayam di dalam tas usangku, sudah dipindahkan dalam rak bawah TV, seragam yang selesai dicuci sudah dilipat rapi dalam lemari. Memerhatikan perlengkapan sekolah yang terpaksa harus dimusiumkan, setelah kelulusan. Akhinya aku hanya bisa mengenang sembilan tahun pendidikan yang sempat kujalani. Aku pasti akan benar-benar merindukan teman-teman apalagi mereka yang melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya, tak sepertiku yang terpaksa berhenti karena tuntutan keadaan.
Bu Halimah--pengelola panti itu bilang kalau pendidikanku sampai SMP saja sudah memakan biaya lebih, apalagi bila melanjutkan sampai jenjang SMA. Sebagai anak yang tak pernah diadopsi, aku merasa diperlakukan sedikit berbeda. Mengingat teman-teman seangkatanku semuanya sudah pergi, hanya menyisakan anak-anak yang masih kecil-kecil. Itulah sebabnya para pengelola memberiku tanggung jawab lain sebagai kakak mereka yang bisa dibilang paling besar di sini.
Sepeninggal Dodi, dari arah koridor tadi kulihat Bu Halimah berjalan cepat menghampiri.
"Udah selesai beres-beresnya, hah?" Nada suara itu masih sama ketusnya dari waktu ke waktu.
"Udah, Bu." Aku menjawab lembut seraya membungkuk. Karena aku tahu bagaimana pun cara beliau memperlakukan, aku tumbuh besar berkat mereka ini.
"Kalau gitu cuci piring, gih! Habis ini Bu Siska sama Pak Budi pasti mau makan, tapi piring-piringnya masih numpuk belum sempet dicuci."
KAMU SEDANG MEMBACA
BENIH TITIPAN SULTAN
RomanceAku hanya bisa tertawa saat pertama kali dia datang, menawarkan sesuatu yang lebih berharga dari intan permata. Menceritakan tentang ketidakberdayaan istrinya, dan keputusasaan menghadapi masa depannya. Dia menjanjikan komitmen yang dibalut kesepak...