"Keadaan Nindi gimana?" Bang Khalid langsung bertanya saat kami tiba di hadapan Roy dan ibunya yang tengah menunggu di depan ruang bersalin.
"Nggak usah munafik, Sat!" Melihat kehadiran kami Roy langsung bangkit dan mendorong bahu Bang Khalid. "Lu salah alamat. Walaupun prematur tapi anak kalian udah lahir dengan selamat di sebelah sana. Peduli apa kalian sama perempuan yang bertaruh nyawa demi benih yang kalian tanam di rahimnya?"
Bang Khalid tak berkutik. Kulihat kedua tangannya terkepal, menatap Roy tak kalah tajam.
"Akhiri kesepakatan kalian, bawa bayi kalian pergi, biar gue sama Mami yang rawat Nindi!"
"Nggak bisa!" sentak Bang Khalid tiba-tiba. "Secara hukum dan agama Nindi masih istri sah saya. Anda nggak berhak mengatur kapan pernikahan kami harus di akhiri. Saya masih punya tanggung jawab penuh atas dirinya!"
"Istri? Tanggung jawab?" Roy tertawa mencibir menanggapinya. "Bangsaaat!"
Bugh!
Aku terlonjak setelah melihat gerakan yang tiba-tiba Roy layangkan saat menghantam wajah Bang Khalid hingga tersungkur di lantai.
"Jangan ngomong tentang tanggung jawab, Setan! Kalau di saat-saat paling sulit dalam hidupnya lu nggak ada di sampingnya!"
"Nggak usah main hakim sendiri bisa, kan?" sentakku sembari mendorong bahunya. Kemudian memapah Bang Khalid untuk bangkit.
Roy beralih menatapku, tajam dan menusuk seolah tatapan itu mampu mencabik dan menguliti.
"Mending lu diem, Naya! Di sini emang lu yang paling sok suci. Cewek naif yang katanya anggap Nindi adik, tapi nyatanya munafik. Dianggap berhati bidadari aslinya busuk tanpa disadari. Kalau dari awal lu bener-bener nggak rela Khalid mendua, kenapa lu tempatin Nindi dalam posisi ini? Kalau lu cuma mau anak kenapa nggak adopsi? Kalau lu cuma mau nanam benih kenapa harus Nindi? Kan, bisa orang lain, sialaaan!"
"Udah, Roy!" Wanita bertubuh tambun itu menarik putranya yang seolah ingin menghajarku.
Aku bergeming. Diam di tempat dengan kedua tangan yang mengepal kuat. Kulayangkan tatapan yang tak kalah tajam.
"Kalau nggak ada di posisi kami, kamu nggak akan ngerti. Lagi pula selama ini kita bukan cuma manfaatin Nindi. Semua terjadi atas persetujuannya. Ada simbiosis mutualisme di sini. Kami butuh anak, dan dia butuh uang. Apa yang sal--"
"Naya!" Bang Khalid tiba-tiba menginterupsi. Dia mencengkeram pergelanganku dan menatap seolah menghakimi.
"Kenapa, Bang? Apa aku salah?"
Suamiku bergeming. Sementara kulihat Roy hanya geleng-geleng kepala. Dia seolah kehabisan kata, kemudian mengempaskan diri di kursi.
"Terserah, lu sama emak lu emang sama aja, kek tai."
***
"Bang!" Kutarik belakang jaketnya.
Dia menghentikan langkah dan memutar tubuh menghadapku.
"Abang marah?"
Bang Khalid menghela napas gusar, dia usap wajah dengan kasar.
"Mending kamu pulang dulu, ya, Nay! Abang telepon Pak Jaja buat jemput."
"Kenapa?" Aku bertanya dengan pandangan yang sudah memburam. "Saat itu aku cuma minta waktu dua minggu sama Abang sebagai syarat permintaan yang diajukan. Apa aku tahu kalau semuanya akan begini? Apa aku tahu kalau akhirnya bayi kita lahir lebih cepat dari waktu yang ditentukan dan akibatnya Nindi jadi kritis? Nggak, kan? Jadi, kenapa aku yang harus disalahkan?!"
Mata Bang Khalid terpejam, bisa kulihat kuat genggaman tangannya mengepal.
"Naya ...."
"Bunda pernah tanya kan ke Abang di awal-awal kehamilan, agar Abang jaga batasan, biar semuanya nggak larut terlalu dalam. Selama tujuh bulan Abang bahkan nggak berani sentuh Nindi, Abang pertahankan komitmen yang udah kita bangun di awal. Tapi, lihat apa yang sekarang terjadi? Sejak memutuskan menandatangani kontrak seharusnya kita udah siap dengan segala kemungkinan-kemungkinan besar. Aku tahu pasti jadi seorang ibu itu nggak mudah, mengandung dan melahirkan belum tanggung jawab untuk mendidik satu generasi. Saat Abang datang menawarkan kesepakatan dan uang, Nindi udah setuju untuk mewujudkan harapan kita untuk menjadi orang tua, dia setuju menyewakan rahim dan sebagian kecil waktunya untuk mengandung anak kita. Dia datang untuk pergi, Bang. Dia datang hanya untuk singgah sebentar. Bukan untuk menetap dan merampas kebagiaan yang selama tujuh tahun kita impikan!"
Bang Khalid memalingkan pandangan. Beberapa kali dia usap wajah kasar.
"Kamu nggak ngerti, Nay!"
"Apa yang nggak aku nggak ngerti, Bang?!"
Dia kembali terbungkam.
"Bukannya selama ini Abang selalu bilang kalau cuma aku yang Abang cinta? Bukannya selama ini Abang juga bilang kalau apa pun keadaannya Abang akan selalu ada. Seharusnya alasan itu cukup kuat buat melepas Nindi pergi!"
"Ya, semua itu memang benar, sebelum sesuatu terjadi, Nay!"
"Apa yang terjadi?" terpekik suaraku lantang terdengar di lorong rumah sakit yang beruntungnya tengah sepi.
Dia terbungkam untuk waktu yang cukup lama.
"Bilang, Bang! Apa yang terjadi di antara kalian?" Kuguncang bahunya keras bersama rasa frustrasi yang diluapkan.
Alhasil dia menatapku setelah sekian lama menghindari pandangan. Dalam dan tajam bersama dengan mata yang kemerahan, kalimat serupa mimpi buruk itu terdengar.
"Aku mencintai Nindi!"
***
Dokter mengatakan bahwa Nindi mengalami reaksi hemolitik imun akut. Komplikasi ini jarang terjadi, tapi sifatnya bisa gawat darurat jika dialami pasien. Reaksi hemolitik imun akut terjadi ketika tubuh menyerang sel darah merah yang berasal dari darah donor. Reaksi dapat terjadi saat proses transfusi sedang berlangsung atau sesudah prosedur dilakukan.
Sampai detik ini perempuan itu masih tak sadarkan diri. Dokter terus berupaya melakukan berbagai macam cara untuk membuat Nindi mampu melewati masa kritisnya. Satu jam sudah berlalu kami menunggu di depan ruang ICU, tetapi dokter masih belum juga memberi keterangan pasti.
Begitu pintu ruang ICU terbuka, aku dan Bu Melani langsung bangkit dari posisi. Sejenak dokter lelaki tersebut membuka kacamatanya dan mengusap peluh.
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi beberapa teknologi di rumah sakit kami masih sedikit kurang memadai. Bu Nindi harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar." Dokter menghela napas panjang. "Untuk sementara kami nyatakan beliau koma."
Bu Melani langsung merobohkan diri, dia menangkup wajah, lalu mulai terisak pelan.
Sementara aku. Jujur aku tak tahu reaksi macam apa yang harus kutunjukkan. Karena sisi paling egois dalam diri kembali mengambil kendali.
Akhirnya aku berjalan masuk ke dalam. Duduk di samping brankar di mana tubuhnya terbaring tak sadar.
"Aku hargai semua pergorbananmu, Nindi. Terima kasih atas mimpi dan harapan kami yang berhasil kamu wujudkan saat ini. Tapi, aku minta maaf kalau kebahagiaan ini nggak akan pernah bisa benar-benar kubagi. Aku nggak bisa berbagi cinta, kasih, sayang, juga anak kami. Maaf kalau aku jahat, maaf kalau aku berharap kamu memenuhi janjimu tempo hari. Aku ingin kamu pergi, benar-benar pergi dari hidup kami. Mungkin akan lebih baik kalau kamu mati!"
***
Silakan baca kelanjutannya di KBM App atau order versi PDF-nya. Lengkap tanpa potongan sama sekali.
Tersedia harga promo bundling Pdf untuk S1 & S2 cuma 50ribu. Kalau cuma salah satu 30K!
Promo cuma berlaku di bulan Juni, setelah itu harga PDF kembali normal 38ribu!
WA pemesanan : 083120321347
KAMU SEDANG MEMBACA
BENIH TITIPAN SULTAN
RomanceAku hanya bisa tertawa saat pertama kali dia datang, menawarkan sesuatu yang lebih berharga dari intan permata. Menceritakan tentang ketidakberdayaan istrinya, dan keputusasaan menghadapi masa depannya. Dia menjanjikan komitmen yang dibalut kesepak...