"Tiap hari selama hampir tiga minggu kerjaan lu cuma begini?" Roy bertanya sesaat setelah aku menyodorkan piring berisi nasi dengan lauk sayur asam, ikan asin, sambal, dan tempe goreng.
"Emangnya apa lagi yang bisa dilakuin orang bunting? Benerin genteng? Ngaduk semen? Atau manggul bata?" jawabku sekenanya sembari meraih remot dan menyalakan TV di ruang tamu yang kecil ini. "Emangnya salah kalau gue cuma suka bebersih, masak, sama nonton series?"
Roy mendengkus. "Ya, nggak gitu juga, Zubaedah. Lu, kan bisa main-main ke tetangga, ngerumpi sambil ngemil kuaci. Atau bisa juga daftar aerobik di Gor tiap seminggu sekali," usulnya sambil sesekali menyuap nasi.
"Nggak tertarik. Menurut gue gabung circle Mak-Emak kompleks bukannya nambah temen, malah nambah musuh. Belum lagi ngomongin orang tiap hari. Bikin keki."
"Dih, emang agak laen cewek yang satu ini." Roy mengeritingkan bibirnya. Ekspresi yang khas sekali bila dia sudah mulai nyinyir. "Padahal shopping atau jalan-jalan, kek sesekali. Nyenengin diri. Lu mah nyenengin orang mulu. Sekali-kali manjain diri'lah, Nin. Lu hambur-hamburin aja ntu duit yang Khalid kasih tiap minggu."
"Dua minggu ini malah gue minta dia buat nggak usah transfer. Karena yang minggu pertama aja dia kirim kebanyakan."
"Dia kasih berapa emang?"
"Tiga puluh."
"Rebu? Ratus?"
"Ya mana ada tiga puluh ratus, Supri."
"Tiga puluh juta?" Matanya membulat sempurna.
Aku mengangguk pelan.
"Busyet. Kalau diitung-itung selama tujuh bulan ini berapa yang udah dia keluarin buat biaya idup Lu, terlepas dari Satu setengah M di awal?"
Aku mengedikkan bahu. "Maratus, mungkin. Gue nggak pernah minta, sih. Tapi tiap bulan tahu-tahu saldo ATM gue selalu nambah dengan nominal yang fantastis. Katanya itu nafkah di luar kontrak. Waktu gue block nombernya aja dia minta bukanya lewat note mbanking. Jumlahnya sepuluh juta."
"Anjir. Sebenernya dia kebanyakan duit, atau emang royal, sih?"
"Entah, mungkin iseng doang." Aku mengedikkan bahu.
"Mana ada iseng, Zaenab! Kalau menurut gue itu salah satu cara dia hargain lu, sih. Cewek zaman now mana ada yang nggak butuh duit, yekan?!"
Aku mengangguk pelan, walau tak sepenuhnya mengiyakan.
"Tapi menurut gue cara itu berlebihan. Seolah apa-apa bisa dibeli pake duit."
"Kan, kenyataannya emang begitu? Bahkan takdir Tuhan aja masih bisa diubah pake duit. Contohnya laki yang mau jadi cewek atau sebaliknya pake operasi, terus pasangan yang ditakdirin mandul masih dapet kesempatan buat punya anak pake teknologi--ya contohnya Si Khalid sama Naya yang jadiin lu Ibu Pengganti! Semua itu bisa dilakuin pake duit, Nindi. Duit!" Roy menekankan sesuatu yang sebenarnya sudah aku tahu pasti. Hanya rasanya nalarku masih belum bisa menerima bila harta dan tahta mampu mengendalikan semuanya di atas hak asasi manusia.
"Lu bener, sih. Bahkan ada laki yang tega jual bininya sendiri demi duit, terus orang yang bales dendam sampe bisa bikin menderita tujuh turunan juga pake duit!" Aku melanjutkan dengan pengalaman yang langsung kurasakan sendiri.
"Hey!" Roy meletakkan piring yang sudah tandas itu di depan lantai yang kami duduki. "Kok, jadi merembet ke mana-mana, sih?"
"Santai aja kali. Gue nggak baper, cuma kalau nggak dibahas berasa kurang greget." Aku nyengir yang langsung dihadiahi toyoran maut dari Roy.
"Dasar cewek nggak punya ati!"
Kukedikan bahu menanggapi. Kami terdiam beberapa saat, sebelum pembicaraan kembali berlanjut.
KAMU SEDANG MEMBACA
BENIH TITIPAN SULTAN
RomanceAku hanya bisa tertawa saat pertama kali dia datang, menawarkan sesuatu yang lebih berharga dari intan permata. Menceritakan tentang ketidakberdayaan istrinya, dan keputusasaan menghadapi masa depannya. Dia menjanjikan komitmen yang dibalut kesepak...