24. Pelipur Lara

607 66 5
                                    

"Mbak, kenapa nggak ikut ke rumah utama?" Neli berdiri di sampingku yang tengah menyiram bunga. "Katanya nggak enak badan, tapi malah nyiram tanaman. Bukannya istirahat aja di dalem, nanti biar saya pijitin." Tangannya melingkar di sebelah lenganku yang bebas. Neli memiringkan kepala dan menatap nanar.

Aku hanya bisa tersenyum getir melihatnya langsung menghampiri ke kamar, begitu Khalid dan Bu Sarah pergi untuk memeriksa kondisi Naya pagi ini.

Sebagai sesama perempuan, Neli jelas tahu kenapa aku beralasan tak enak badan padahal baik-baik saja kemarin. Karena menjadikan kondisi kesehatan sebagai alibi untuk menutupi perasaan, adalah tindakan yang tak jarang 'kami' lakukan.

Dengan situsi dan posisi sekarang. Aku hanya takut tak bisa menahan gejolak perasaan ketika melihat lelaki itu memeluk dan mencumbu mesra wanita yang hampir dua tahun dia nantikan dengan penuh harapan.

Perasaan yang sebenarnya tak pantas kurasakan, perasaan yang seharusnya tidak pernah datang dengan atau tanpa sadar.

"Cuma pusing sama sedikit mual aja, kok, Nel. Nggak separah sampe harus rebahan seharian." Aku tersenyum kecil. Salah satu upaya yang bisa dilakukan agar dia mengerti bahwa semua akan berjalan baik-baik saja, meski sang ratu telah kembali mengambil alih tahta yang sebelumnya diisi selir untuk sementara.

"Saya kenal deket Bu Naya, Mbak. Dia nggak kayak yang Mbak pikir. Saya yakin dia bisa ingetin Pak Khalid kapan dia harus pulang."

Kupejamkan mata sejenak, lalu meletakkan gembor kembali ke tempatnya.

"Sejak awal tempat ini bukan rumah, Neli. Ini cuma hotel yang dia singgahi sesekali. Nggak peduli di mana pun Khalid singgah, tempatnya pulang adalah rumah di mana Naya berada."

Neli terdiam. Dia menggigit bibir dengan mata mengkristal.

"Emangnya kamu tahu gimana perasaan Naya sebenarnya saat bilang kalau dia mungkin bisa yakinin Khalid untuk adil dalam membagi waktu di antara kami?"

Asisten rumah tangga yang tujuh bulan terakhir menemaniku dalam suka dan duka itu tertunduk dalam. Bahunya mulai berguncang pelan.

"Karena saya tahu pasti, Neli. Definisi ikhlas itu datangnya dari hati, bukan hanya yang terucap di bibir. Terkadang mereka yang terlihat begitu kuat saat memutuskan untuk berbagi suami, tengah menutupi betapa hancurnya menerima kenyataan hati suaminya terbagi, menerima kenyataan bahwa kasih sayang yang yang selama ini dilimpahkan sang suami bukan hanya untuknya lagi."

***

"Lu kenapa, Beb?" Kutatap wajah cemas Roy di balik layar dalam genggaman.

Aku tersenyum kecil, lalu menghela napas panjang. "Nggak apa-apa, tiba-tiba gue cuma kangen kalian."

"Hey, Si Ganteng nggak ngapa-ngapain lu, kan? Lu nggak dizolimi, kan?" Roy mulai memberondongku dengan berbagai pertanyaan.

Aku menggeleng pelan.

"Nggak, Roy. Gue nggak kenapa-napa. Sumpah."

"Ck, syalan. Makin lu bilang nggak apa-apa, makin gue yakin kalau ada apa-apanya. Panggil Si Khalid sekarang, buruan! Bisa-bisanya dia bikin adek emesh gue galau."

Aku terkekeh pelan.

"Dia nggak ada di rumah sekarang."

"Ke mana? Kerja? Holiday? Atau nongkrong sama genk sultan?"

Aku menggeleng lagi.

"Naya udah sadar, Roy."

Seketika Roy terdiam.

"Huhu ... sayang, sini peluk abang. Gue tau pasti apa yang lu rasakan. Kita, kan sama-sama makhluk berhati lembut."

"Lo mah bukan berhati lembut, tapi emang setengah lelembut."

BENIH TITIPAN SULTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang