26. Pulau Rindu (Cuplikan)

712 74 3
                                    

"Di villa ini cuma ada tiga kamar. Jadi, kemungkinan Neli dan Roy menempati masing-masing kamar di lantai dasar. Sementara Nindi dan saya mengisi kamar utama di lantai dua."

Khalid langsung menjelaskan begitu kami sampai di sebuah vila yang tak jauh dari tepi pantai. Untuk mencapai pulau ini kami hanya perlu menepuh lima belas sampai dua puluh lima menit perjalanan menggunakan speedboat dari Sekupang Batam menuju Belakang Padang. Kebetulan Belakang Padang termasuk salah satu pulau yang masih satu kecamatan dengan Kota Batam.

Julukan Pulau Penawar Rindu tak lain karena mitos yang beredar di masyarakat, bahwa siapapun yang sudah meminum air di pulau ini, akan selalu rindu untuk kembali.

Setelah melihat secara langsung keadaan pulau yang langsung berhadapan dengan Negara Singapura ini, sepertinya tanpa melakukan hal itu pun orang-orang ingin kembali setelah disuguhi view seindah ini.

"Interupsi!" Aku mengangkat tangan begitu Khalid menjelaskan.

"Ya?" Dia menoleh sembari mengangkat dua koper berukuran besar yang akan segera dipindahkan ke kamar.

"Kalau aku sekamar sama Roy aja gimana?"

"Nindi." Khalid meletakkan kembali dua koper yang sudah dijinjing. Sorot matanya menajam.

"Eh, sama Neli aja, deh," ralatku kemudian.

Khalid memejamkan mata sejenak, lalu bergumam dengan sedikit geraman.

"Kita suami-istri, Nindi."

"Emang siapa yang bilang kalau kita bestie?"

"Nindi, tolong ...." Suaranya terdengar rendah dan mengintimidasi.

Tapi, karena aku bebal dan agak brutal.
Dengan sengaja kusulut emosinya.

"Tolong apa, Sa--"

"Dahlah!" Dengan tidak sopannya Roy tiba-tiba menoyor kepalaku. "Repot amat lu dari tadi, padahal mau diajakin enak-enak sama laki."

Aku menoleh ke samping, lalu menatap nyalang ke arah lelaki tinggi besar bersetelan pantai.

"Mau naik nggak?" ancamnya, "kalau lu rewel mulu kita bisa ketinggalan liat sunset nanti."

"Sunset, sunset. Bukannya di Jakarta tiap hari lo nengok sunset yang tinggi-tinggi?"

"Itu mah sutet, Zubaedah!"

Kukedikkan bahu, lalu memilih menghentikan perdebatan dan meninggalkan mereka menuju kamar di lantai dua.

***

Seperti yang Khalid katakan sebelumnya. Alasan kamar di lantai dua ini bisa disebut sebagai kamar utama, karena memang ruangannya yang lebih luas dari dua kamar sebelumnya. Ranjang berukuran besar yang bisa digunakan untuk salto-saltoan, juga view pantai yang langsung terlihat dari balik pembaringan.

Khalid bilang ini adalah vila milik pribadi dan sudah lebih dari enam tahun tak dikunjungi. Hanya sesekali dia sempat menyewakan tempat ini pada kerabat atau teman dekat yang kebetulan menghabiskan bulan madu di pulau ini. Selebihnya dia membayar jasa seseorang untuk membersihkan vila tiap bulan.

Sebenarnya aku tak mau menerka-nerka. Apalagi langsung menyimpulkan tentang alasan Khalid membawaku kemari untuk tujuan yang sama. Karena pada kenyataannya, dalam tidur terlelap pun aku tak pernah bermimpi untuk merajut kasih dengan seorang lelaki di tempat seindah ini. Menikmati matahari terbit dan tenggelam di atas pantai dengan tangan saling bertautan.

Ketika satu-satunya harapan masa depanku kandas di tangan seorang bajingan, aku memang sudah menyerah dengan cinta. Menyerah dengan segala macam perasaan yang melemahkan.

BENIH TITIPAN SULTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang