4. Kesepakatan Pernikahan

817 66 1
                                    

Setelah penandatanganan kontrak selesai. Secara resmi aku dan Khalid terikat kesepakatan. Sembari mengemasi barang, tak henti aku terus memikirkan apa yang akan terjadi di depan. Apakah keputusan yang kuambil sudah benar? Apakah Nana dan Bu Nia akan baik-baik saja setelah kutinggalkan? Apakah jalan yang kutempuh tak lagi menempatkanku di ambang tebing jurang? Atau aku akan benar-benar keluar dari lingkaran setan seperti yang pria itu katakan?

"Nindi!" Panggilan itu menyentak lamunanku dari segala pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban. Di ambang pintu kamar kulihat wanita paruh baya itu sudah berdiri geming menopang tubuh ringkihnya.

Dari hari ke hari kuperhatikan dia semakin kurus kering, terjadi pembengkakkan pada pergelangan kaki dan area matanya yang cekung. Hal tersebut terjadi akibat penyakit gagal ginjal yang sudah menderanya selama lebih dari tiga tahun.

"Ya, Bu?"

"Kenapa kamu harus kerja jauh ke luar pulau? Apa nafkah yang anak ibu kasih tiap bulan masih kurang?" Dia beranjak dan duduk di tepi ranjang, sementara aku mematung di bawah lantai mencengkeram sehelai pakaian yang hendak dimasukan ke dalam koper.

Memang tak ada yang salah dengan pertanyaan yang Bu Nia lontarkan, tetapi sesak yang ditimbulkan semakin terasa menekan. Ini adalah konsekuensi yang memang harus diterima bila menyembunyikan kebenaran dengan kebohongan, kebohongan yang dimulai harus ditutupi dengan kebohongan-kebohangan lain yang akhirnya berakibat fatal.

"Nindi nggak sanggup, Bu." Aku masih terjaga dengan posisi memunggungi. "Pernikahan Nindi dan anak ibu ternyata emang udah nggak bisa lagi dipertahankan. Istri manapun ngga akan ada yang tahan kalau lima tahun ditinggal tanpa kepastian!"

Keheningan mencekam membuatku sadar bahwa Bu Nia sedang berpikir keras sekarang.

"Setidaknya Indra masih bertanggung-jawab, Nindi! Buktinya dia masih kirim kita uang tiap bul--"

"Tutup mulut Ibu kalau nggak tahu apa pun!" Sontak aku berbalik dan menatapnya tajam.

Bu Nia tertegun dalam keterkejutannya. Aku yakin responnya akan lebih ekstreme kalau kukatakan bahwa anak yang dia banggakan sudah menggugat cerai di hari yang sama saat dia melemparku ke neraka dunia, hingga terpaksa memberi kehidupan layak untuk dia dan cucunya dari tiap tetes cairan hina yang keluar dari tubuh para manusia penzina.

"Apa maksud kamu?" Pertanyaan itu terlontar dari mulutnya setelah sekian lama.

"Semuanya udah berakhir, Bu. Saya bukan manusia suci apalagi wanita berhati bidadari. Saya cuma mau bebas dari segala ikatan yang selama ini mencekik leher saya." Bisa kulihat pupil mata Bu Nia bergetar.

"Kamu egois, Nindi!"

Aku tersenyum miring sembari mengangkat dua koper yang sudah disiapkan.

"Ya, saya memang egois."

Aku berlalu melewatinya yang membatu, sampai kusadari ada tubuh mungil yang entah sejak kapan sudah berdiri di ambang pintu.

Terkadang kita memang perlu mengukir kecewa di mata manusia lainnya, karena dengan begitu mereka tak lagi menggantungkan harapan pada sesama makhluk Tuhan yang tentunya tak sempurna.

***

"Pokoknya kabarin gue begitu sampe!" tuntut Roy, begitu kami mengurai pelukan. Sejak berangkat ke bandara tak henti dia menangis dan memelukku sesekali.

"Oke. Lebay banget, sih lu. Perasaan kita masih ada di Indonesia, cuma nyebrang pulau bukan nyebrang galaxy!"

"Kampret!" Roy menoyor kepalaku. "Momen begini, lu masih aja bisa becanda."

"Hidup udah terlalu serius, jadi dibikin asik aja." Kutinju pelan bahu kekarnya.

"Tuh, Mi. Liat Si Nindi. Nggak ada sedih-sedihnya mau pisah sama kita." Roy merajuk pada Tante Lala yang ada di sampingnya.

"Dih, ngadu."

"Udahlah, mami tahu betul gimana tabiat Nindi, Dari semua yang mami kenal cuma anak ini yang paling pinter nyembunyiin perasaan." Aku tersenyum kecil, lalu kembali memeluknya. "Udah, ah, kelamaan. Nggak enak bikin Si Ganteng nunggu." Tante Lala merelai pelukan. Kuikuti arah pandangnya yang menatap Khalid di belakang. Terlihat beberapa kali pria itu memeriksa arloji.

"Roy, Tan! Titip Bu Nia sama Nana, ya!"

Tante Lala mengangguk, sementara Roy mengacungkan buku tabunganku yang dititipkan padanya. Semua uang yang Khalid berikan beserta tabungan kupunya kuserahkan untuk biaya operasi Bu Nia dan keperluan Nana selama setahun ke depan.

"Sip. Mereka aman di tangan yang tepat."

***

Menempuh kurang lebih satu jam empat puluh menit perjalanan dari Jakarta ke Batam, aku dan Khalid tiba di salah satu Kota Industri tersebut tepat pukul sebelas siang. Tak perlu menunggu, kami sudah dijemput oleh seorang sopir menggunakan mobil mewah. Sembari menyusuri kota yang katanya lebih maju dari ibukota Kepulauan Riau itu sendiri, Khalid mulai menjelaskan tentang tujuan kami.

Tujuan pertama adalah rumah sakit yang berdiri di pusat Kota Batam, rumah sakit bertarap International yang sudah dilengkapi dengan teknologi terkini. Di mana proses surrogasi mother akan dilakukan.

Khalid membawaku menemui seorang dokter muda yang umurnya bisa kutaksir pertengahan tiga puluhan. Berdarah tiongkok. Dokter Antoni namanya.

Dokter Antoni yang biasa praktik di Singapura sengaja didatangkan ke Indonesia atas permintaan keluarga Khalid yang rela merogoh kocek milyaran rupiah untuk mewujudkan satu-satunya harapan di keluarga mereka.

Dia spesialis di bidangnya dan sudah mendapatkan lisensi international untuk melakukan prosedur ini. Kata Khalid, mereka sudah pernah bekerja sama untuk melakukan proses bayi tabung pada istrinya di Singapura beberapa tahun lalu. Tapi, usaha itu tak pernah berhasil mengingat kondisi sang istri yang tak memungkinkan untuk melakukan tindakan tersebut.

"Silakan naik ke sini, Bu! Lepas celana dalamnya, lebarkan kaki, dan tumpukkan di tempat penyangga."

Aku mengernyitkan dahi saat dokter tersebut menuntunku untuk naik ke brankar khusus.

"Harus lepas CD juga?"

"Memang sudah begitu prosedurnya, Bu. Kami harus memeriksa kondisi rahim secara menyeluruh sebelum melakukan tindakan selanjutnya." Dia sangat ramah menanggapi. Aku bahkan dibuat heran melihatnya. Untuk orang yang lama di luar negeri, tapi sangat pasih berbahasa Indonesia.

"Sudah turuti saja," sahut Khalid dengan entengnya.

"Turuti, turuti, Palamu! Walaupun hobi ngangkang, tapi sedikit banyaknya aku juga masih punya rasa malu."

Dokter Antoni terkekeh geli. "Tidak apa-apa, Bu. Ini hal biasa buat saya. Rileks saja!"

Akhirnya aku merebahkan diri. Gugup sendiri, saat Dokter Antoni mulai memeriksa. Entah di mana harus kusimpan muka beserta semua rasa malunya saat dia mengobok-obok dalamanku.

"Aw, apa itu, Dok?" Refleks aku terlonjak.

"Cuma alat, Bu!" Dia mengacungkan alat yang menyerupai catokan roll rambut tersebut.

"Oh, tolong pelan-pelan, dong, Dok. Jangan asal sodok!"

"Nindi!" Khalid yang sejak tadi duduk jauh di kursi tunggu akhirnya angkat suara.

"Apa? Kalau nggak pemanasan dulu, sakit tahu!"

"Astagfirullah, Nindi!"

Sementara itu Dokter Antoni hanya terkekeh geli.

"Maaf, ya, Bu."

***

"Hasil pemeriksaan ada IUD tembaga yang tertaham kurang lebih 4-5 lima tahun, saya sudah lepas tadi. Selebihnya kondisi rahim dan jalan lahir sangat sehat dan terawat."

"Oh, jelas. Tiap bulan perawatan."

"Nindi ...." Khalid menegurku lagi.

"Apesih?"

"Jaga ucapanmu!"

"Iya, iya. Maaf."

"Kita tunggu sebulan setelah masa ovulasi, setelah itu kita bisa langsung mulai pembuahan dan proses pemindahan pada rahim ibu pengganti."

.

.

.

Bersambung.

BENIH TITIPAN SULTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang