23. Sadar Posisi

769 72 5
                                    

"Makin cakep aja bumil satu ini." Dari pantulan kaca, kulihat kepala Neli menyembul dari balik pintu kamar.

Mengalihkan pandangan dari cermin yang menunjukkan wanita berperut besar, aku mendengkus pelan.

"Bisa aja. Janji nggak minta tambah uang jajan?"

Neli tertawa. "Haha. Nggak, kok. Beneran makin cantik Mbak Nindi, heran aja Si Bapak nggak khilaf-khilaf."

Aku tersenyum getir, mengusap perut yang membuncit. Tak terasa, sudah tujuh bulan usia kandungan berjalan. Selama itu aku mulai berdamai dengan keadaan. Dengan segala kemungkinan-kemungkinan menyakitkan yang akan terjadi di depan.

Sebaik apa pun chemistry yang coba Khalid bangun tujuh bulan terakhir, tetap tak bisa meruntuhkan benteng yang sudah sejak awal dia bangun tinggi.

Aku hanya merasa semua yang dia lakukan tak lebih hanya sebagai bentuk penghormatan sebagai pasangan dalam kontrak yang tertulis, bukan sebagai kewajiban yang memang seharusnya dilakukan tiap suami.

Semakin dia mendekat, semakin kurasakan jarak yang menyekat. Menuju waktu persalinan, aku semakin sadar diri dan posisi, bahwa apa pun yang terjadi hubungan ini terjalin hanya demi kepentingan masing-masing dari kami.

"Ngomong-ngomong Khalid udah siap?" Aku memilih mengalihkan pertanyaan. Membahas tentang hubungan dengan yang bersangkutan hanya menciptakan perasaan yang sulit digambarkan.

"Udah kayaknya. Soalnya saya nggak bisa bedain mode jalan sama mode rumahan. Tetep tampan tak terbantahkan."

Aku terkekeh pelan. "Padahal kalau nggak ada bedanya, ngapain dia mandi?"

"Lah, mandi, kan buat kebersihan, kalau tampan itu bawaan."

Aku menggeleng pelan, lalu menyambar tas di tepi ranjang.

"Jaga kesehatan, Mbak. Mulai minggu depan jadwal kita padet."

Aku mengangguk, walaupun tak sepenuhnya menuruti.

"Selametan tujuh bulanan, check up rutin, beli perlengkapan baby!"

"Ya, ya ...." Acuh tak acuh kutinggalkan Neli yang masih mengoceh di ambang pintu, sebelum akhirnya dia masuk untuk membereskan kamarku.

"Hati-hati."

Pandanganku yang semula hanya fokus ke bawah, langsung teralihkan saat menyadari Khalid sudah berdiri di sisi. Meraih tanganku dan memapahnya menuruni tangga.

"Kamu sengaja ambil cuti cuma buat nemenin aku check up? Bukannya hari ini ada meeting penting."

"Kamu dan anak kita lebih penting." Kulepas genggamannya begitu kami sampai di dasar.

Ada yang janggal saat dia menyebut 'kita' sebagai klaim untuk anak ini.

Secara teknis memang aku yang mengandung, tapi anak ini tetap darah dagingnya dan Naya.

"Kenapa?" Alisnya menyatu.

Aku menggeleng pelan. "Nggak apa-apa."

***

"Akhir-akhir ini kamu agak pendiam. Apa karena Bu Melani memutuskan untuk pindah dan Indra belum sempat minta maaf sebelum pergi?" Di tengah perjalanan menuju rumah sakit, Khalid memulai percakapan.

"Nggak penting. Aku malah nunggu kabar kalau kapalnya nabrak karang, terus tenggelam kayak Titanic." Pandanganku lurus ke depan, menatap lalu-lalang kendaraan yang cukup padat di hari kerja ini. "Harus diakui, hidupnya memang terlalu menyenangkan untuk ukuran seorang bajingan."

"Nindi ...."

"Aku cuma bisa mendoakan orang-orang nggak tahu diri, di mana pun mereka berada, Tuhan pasti selalu mengikuti. Apa yang ditabur pasti akan dituai. Aku nggak butuh balasan apa pun atas pengorbanan yang udah dilakukan selama ini. Orang pintar juga bisa menilai."

BENIH TITIPAN SULTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang