Seperti yang dilakukannya tempo hari. Diam adalah cara paling efektif untuk menghindari perdebatan, khususnya hal penting yang kutahu pasti tak ingin Khalid bahas sama sekali.
Aku yakin dia mendengar ucapanku saat itu, aku juga yakin dia tahu sesuatu, tapi belum punya cukup waktu untuk membaginya denganku.
Aku hanya berusaha tak peduli, walaupun dalam hati berkali meneriaki bahwa semua ini mulai terasa memuakkan bagiku.
"Itu Paprika, Nindi!" Khalid menahan tanganku saat hendak meletakkan sayur yang mirip apel itu di rak buah dalam kulkas.
Kuputar bola mata, lalu menepis tangannya. Agak menjengkelkan melihat sikapnya yang mudah berubah padahal sepanjang perjalanan tadi dia mendiamkanku.
Kugeser tubuh menjauh. Menjaga jarak saat kami sama-sama membereskan belanjaan tadi ke dalam bufet dan lemari.
"Sejauh ini apa ada keluhan kehamilan yang terjadi?"
"Nggak!" sentakku dengan nada tinggi. "Kalau pun ada, apa kamu bisa turuti?" Aku balik bertanya dengan sinis.
Khalid menyandarkan tubuhnya di dekat bak cuci piring. Dia menatapku untuk waktu yang cukup lama.
"Apaan, sih?" Kesal karena dia terus memerhatikanku, akhirnya aku beranjak dan menatapnya dengan mata memicing.
"Memangnya apa yang kamu mau? Tas? Sepatu? Mobil?" Dia menantangku.
Aku tersenyum miring. Dia belum tahu permintaan macam apa yang kumau.
"Kamu!" Khalid mengernyitkan dahi. Aku maju sebelum dia sempat menghindar. Kutumpukan sebelah tangan di pinggiran bak cuci piring di sampingnya. "Aku mau kamu ...." Pandanganku turun ke bawah, tertuju pada celananya. Menatap lama sesuatu yang menyembul di baliknya.
"Pesenin go-food buatku!" Kusambar ponsel di saku celananya, lalu menyodorkan benda pipih itu ke hadapan Khalid yang sudah memucat dengan keringat di pelipisnya. Kemudian tersenyum puas setelahnya.
Akhirnya aku menang menang lagi.
***
Kulirik Khalid yang sesekali memerhatikanku. Dalam diam dia pasti peduli atau bahkan istigfar berkali-kali saat aku memakan burger yang dipesan dengan porsi kuli.
"Apa kamu sudah lupa apa yang pernah saya sampaikan tentang bahayanya makanan siap saji." Dia pidato ala ahli gizi.
Kucebikkan bibir mencoba tak peduli. "Bolehlah sesekali, bosen juga makan makanan rumahan tiap ari."
"Saya bukannya melarang, hanya peduli dengan kesehatanmu dan--"
"Anakmu," potongku, sembari meletakkan sisa burger di atas tempatnya lalu beranjak pergi.
"Nindi!"
"Jangan tanya sampe besok! Aku males diceramahi."
***
Gara-gara berkas di rumah Naya dan burger yang kumakan tempo hari, Khalid benar-benar menuruti permintaanku. Kami tak bertegur sapa selama hampir dua hari. Sebenarnya hal itu disebabkan karena dia tiba-tiba ada beberapa pertemuan relasi bisnis yang aku tak mengerti.
Padahal besok sudah masuk awal ramadhan, meskipun tak yakin akan menjalankan kewajiban, tapi ada sedikit keinginan untuk melewati hari bersama satu-satunya orang yang cukup dekat denganku sekarang.
Kulirik jam yang terpanjang di dinding ruang tamu. 23.10 WIB, dan aku mulai lelah menunggu. Sebenarnya aku ingin tak peduli dia mau melewati ramadhan pertama di mana pun. Hanya saja unit ini terlalu sepi dan besar bila ditinggali sendiri. Jujur, aku justru merindukan Neli.
KAMU SEDANG MEMBACA
BENIH TITIPAN SULTAN
RomanceAku hanya bisa tertawa saat pertama kali dia datang, menawarkan sesuatu yang lebih berharga dari intan permata. Menceritakan tentang ketidakberdayaan istrinya, dan keputusasaan menghadapi masa depannya. Dia menjanjikan komitmen yang dibalut kesepak...