10. Tamu Tak Diundang

720 67 4
                                    

"Kalau liat dia dengan posisi kayak gini, pengen melorotin sarungnya, nggak, sih?" Aku menyikut tangan Neli saat kami tengah memerhatikan Khalid yang terpaksa memasak malam ini.

Lelaki itu tampak berdiri membelakangi kami, menghadap kompor dan panci, mengolah berbagai bahan mentah yang tersisa di lemari pendingin.

Neli memelototiku.

"Ya ampun, Mbak Nindi."

"Nggak usah pura-pura, Neli. Saya tahu kamu juga pasti demen sama yang modelan begini."

"Tapi, saya udah punya laki, Mbak."

"Eh, iyakah? Apa seganteng dia?"

"Ng, nggak juga, sih."

"Kan. Bingung juga kita, dia apa aja bisa. Apa yang dia nggak bisa coba?"

"Mendua, Mbak."

"Dih, Si Neli kalau ngomong suka bener."

Prang!

Aku dan Neli terlonjak saat Khalid dengan sengaja membanting spatula ke dalam panci berisi rebusan bayam

"Saya bisa denger, Nindi!"

"Kok, cuma aku? Kan, aku gosipin kamu berdua sama Nel--"

"Mbak, tolong ...! Saya punya anak sama suami, ibu saya juga masih butuh biaya."

Aku nyaris tertawa melihat ekspresi Neli yang sudah amat mengenaskan setelah habis dimarahi Khalid sejak tadi.

"Mending kalian tunggu di ruang makan. Kalau begini bukannya bantu malah ganggu konsentrasi!"

"Jadi, kita diusir, nih?" tanyaku.

Khalid menekan pelipis.

"Mau makan, kan?" Suaranya meninggi

"Udahlah, Mbak. Saya masih mau kerja please nurut aja kali ini." Neli memohon, sembari mendorongku pelan bahuku meninggalkan dapur yang saat ini Khalid kuasai.

"Hadeuh. Nggak asik kalian."

***

"Nguprek dari tadi jadinya cuma begini?" Aku bertanya saat melihat hanya dua menu yang Khalid suguhkan di atas meja.

"Mbak!" Neli melotot, sesaat setelah menyodorkan nasi.

Entah kenapa, kuperhatikan hari ini dia berubah jadi mirip Mbak Kunti.

"Diam, duduk, dan nikmati! Lauk itu nggak harus beragam asal porsinya seimbang dan memenuhi asupan nutrisi."

Aku memutar bola mata, lalu beralih menatap Neli. "Keknya kamu salah, deh, Nel. Dia bukan pengusaha tapi ahli gizi."

"Nindi, bisa kamu berhenti menggunjing saya di depan mata kepala sendiri?"

"Daripada ngomongin di belakang? Jatohnya ghibah."

Khalid menghela napas panjang. Respons khas-nya bila sudah lelah berdebat denganku.

"Sudahlah. Mari kita makan!" Khalid mulai mengabaikan, dia duduk dengan tenang. Membentangkan serbet di atas pangkuan, lalu mulai makan dengan gaya yang berkelas sekali. Slay dan anggunly. Khas orang kaya.

"Boleh aku tanya apa ini?" Karena penasaran dengan menu yang dia buat, akhirnya aku memberanikan diri bertanya sembari menunjuk olahan bayam yang dia suguhkan, walaupun tahu ekspresi Khalid sudah tak bisa lagi diajak kompromi.

"Sigeumchi Namul," jawabnya ketus.

"Hah? Sigempi gembul?" Aku membeo.

Khalid mendengkus keras.

BENIH TITIPAN SULTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang