Kemarin ....
Ketika membuka mata, yang kuingat pertama kali adalah bagaimana caraku koma, Bang Khalid, Nindi, dan Bunda.
Dalam mata terpejam, dengan kesadaran yang tak sepenuhnya hilang. Aku masih bisa mendengar segalanya. Segala keluh-kesah Bunda yang terus mempertanyaan tentang keputusanku memilih Nindi dari sekian banyak wanita, tentang rindu dan cinta yang coba Bang Khalid ungkapkan tiap waktunya. Serta tentang pertanyaan yang selalu Nindi ajukan di berbagai kesempatan yang ada.
Jika bisa, semua pertanyaan itu mungkin akan kujawab dalam satu waktu, ketika malaikat pencabut nyawa akhirnya menjemputku.
Bahkan, ketika dokter mengatakan bahwa tumor ganas itu berhasil merenggut satu-satunya kesempatanku untuk menjadi wanita seutuhnya, aku sudah mempersiapkan segala konsekuensi terburuknya.
Konsekuensi yang harus kuterima karena memutuskan bungkam setelah mengetahui kebenarannya. Kebenaran tentang masa lalu Ayah dan Bunda, serta fakta bahwa aku bukan satu-satunya anak biologis seorang Budiman Husein.
Sudah sepuluh tahun sejak aku tahu tentang status Nindi yang sebenarnya, sepuluh tahun sejak aku tertawa bahagia di atas penderitaan seorang anak yang tak tahu apa-apa, tapi dipaksa menerima karma dan semua kebencian yang dilimpahkan padanya. Di tengah semua deritanya, aku justru tengah melanjutkan hidup bersama lelaki yang begitu kucinta.
Entah kenapa, aku terus menerus merasa, bahwa berbagai cobaan yang menimpa pernikahan kami, setiap kesempatan yang hilang dari benih-benih janin yang tak mampu dibuahi, semua ini berhubungan dengan Nindi.
Karena takdir yang bertentangan ini membawa kami pada pusaran dunia yang tak dikehendaki. Pada tiap kenangan yang mengusik memori, pada kenyataan yang perlahan menggerogoti. Mungkin bila pengkhianatan itu tak pernah terjadi, nasibku dan Nindi tak akan berakhir senahas ini.
Kuseka air mata saat melihat foto-foto pernikahan yang Bang Khalid berikan bersama dengan berkas-berkas tentang asal-usul Nindi yang sempat aku kumpulkan beberapa tahun belakangan.
Terbaring di ranjang yang sama, aku masih tak menyangka akhirnya bisa menyaksikannya. Setelah sempat putus asa dengan kondisi yang dihadapi. Ternyata Tuhan masih berbaik hati memberiku kesempatan untuk membahagiakan orang-orang yang selama ini menanti.
"Semua berjalan baik-baik aja sejauh ini!" Genggaman hangat yang melingkupi jemari, menginterupsi. Kutatap lelaki yang sejak kemarin menemaniku terjaga menyesuaikan kondisi yang ada, setelah hampir dua tahun tak sadarkan diri.
"Kalian keliatan tegang banget di foto ini." Kutunjuk salah satu foto pernikahannya dan Nindi.
"Kalau aja kamu tahu berapa kali Abang harus bolak-balik kamar mandi demi lancarnya semua sesi."
Aku terkekeh pelan, lalu menyandarkan kepala di dadanya yang bidang, mengelus lembut jambang pendek yang hampir memenuhi seluruh permukaan rahangnya yang tinggi.
Bang Khalid merapat pelukan, dia kecup puncak kepalaku yang kali ini tak tertutupi.
"Gimana pendapat Abang tentang Nindi sejauh ini?"
Keheningan menyelimuti. Bang Khalid sempat terdiam, sesekali dia bahkan memainkan cincin kawin yang melingkar.
"Awalnya abang sempet kewalahan. Dia jelas nggak sekalem kamu." Lelaki itu mengalihkan pandangan begitu menjawab pertanyaan. "Orangnya memang agak barbar, ceplas-ceplos bahkan nyaris nggak ada saringan. Tapi, terlepas dari itu semua, Nindi memang sosok yang cukup menyenangkan. Bisa dibilang dia itu tipe orang yang mampu menutupi penderitaan dengan keterbukaan."
Aku tertegun, lalu menunduk menatap jemari kami yang masih bertautan. Melihat caranya menjawab tanpa menatap, sudah bisa disimpulkan bahwa ada sesuatu yang coba dia sembunyikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BENIH TITIPAN SULTAN
RomanceAku hanya bisa tertawa saat pertama kali dia datang, menawarkan sesuatu yang lebih berharga dari intan permata. Menceritakan tentang ketidakberdayaan istrinya, dan keputusasaan menghadapi masa depannya. Dia menjanjikan komitmen yang dibalut kesepak...