15. Jarak

698 68 0
                                    

Masih di tempat yang sama kami saling berpandangan. Tatapan Khalid sudah cukup menjelaskan segalanya dan dia seolah tak ingin membiarkan percakapan ini larut terlalu dalam. Aku pun demikian, menceritakan apa yang pernah terjadi lima tahun silam, atau tahun-tahun belakangan hanya mengungkit kenangan kelam. Tiap kali teringat rasanya seperti garam yang ditaburkan di atas luka yang menganga.

Aku tak pernah peduli orang menganggapku bagaimana. Meski dalam khayal aku tak pernah menganggap diriku berharga. Tiap canda dan tawa yang kubawa tak ubahnya perban yang digunakan untuk menutup luka.

Jika benar aku terlahir dari hubungan nista, dan ibuku benar-benar wanita jalang yang putus asa. Sudah bisa dipastikan darah yang mengalir di tiap nadiku akan senantiasa orang anggap hina.

Di dunia ini hanya dua orang menganggapku benar-benar berbeda. Roy dan Tante Lala. Namun, saat lelaki itu mengatakan hal yang sama. Aku seperti merasakan getaran yang tak biasa. Seperti air yang mengaliri raga yang sebelumnya kering kerontang diperas isinya.

"Untuk sementara jangan angkat panggilan siapa pun dari Jakarta. Mandi, lalu tenangkan diri. Kita ngobrol lagi setelah ini." Khalid bangkit, lalu meletakkan ponselku yang sebelumnya dia pegang. Setelah panggilan video call terputus tadi Roy memang sempat beberapa kali menelepon balik tadi.

Tak ingin membuat satu-satunya orang kepercayaanku khawatir, buru-buru aku mengirim pesan singkat pada Roy.

To : Roy Kimoci

[ Gue nggak apa-apa! ]

Send.

***

Selesai membersihkan diri, aku yang bingung mau apa hanya bisa mondar-mandir di sekeliling kamar. Menonton TV, membaca buku, bahkan hanya sekedar rebahan sudah kulakukan. Namun, sama sekali tak mampu mengusir bosan. Lain dengan saat jalan-jalan bersama Khalid keliling Batam. Berjam-jam waktu ditempuh tak ada jenuh yang dirasakan.

Sedikit ragu, aku melangkah keluar. Menatap lama pintu kamar Khalid yang persis ada di seberang. Terdengar samar suara orang yang mengaji. Akhirnya kuberanikan diri menghampiri.

Lelaki itu tengah bersila beralaskan sajadah, kitab suci dia genggam erat di pangkuan. Memang tak semerdu para tilawah Qur'an, tapi suara cukup menenangkan.

Sadar diperhatikan, Khalid menoleh. Sejenak dia menyisir rambut yang masih menyisakan sedikit jejak wudhu, kemudian memanggilku.

"Duduk di sini!" Khalid mengubah posisi sajadahnya. Yang semula lurus vertikal, ke horizontal. "Tadinya setelah tarawih saya mau langsung ke ruang tamu, tapi tiba-tiba ingat kalau hari ini belum sempat ngaji. Tunggu sebentar, ya. Beberapa ayat lag--"

"Sebentar!" Khalid bersiap melanjutkan, tapi sejenak kutahan saat mengingat sesuatu yang sampai saat ini masih mengganjal di hatiku. "Boleh aku tanya sesuatu?"

Dia mengangguk, lalu mengubah posisi menghadapku. Jujur, sampai saat ini aku selalu kagum dengan caranya berkomunikasi, benar-benar menghargai lawan bicara.

"Tanyakan saja!"

"Tentang seperangkat alat sholat yang nggak kamu sertakan dalam mahar. Boleh aku tanya apa alasannya?"

Khalid terdiam sesaat. Lekat dia menatapku.

"Asal kamu tahu. Makna Mahar seperangkat alat sholat yang disebut dalam akad itu pertanggungjawabannya besar. Bila tidak dijalankan, yang memberikan juga akan berdosa. Mukena, Al-qur'an, serta sajadah yang disertakan harus senantiasa suami ingatkan agar sang istri tak lupa dengan kewajiban. Secara garis besar seperangkat alat sholat adalah simbol, bahwa sang suami siap membimbing dan menuntun istri dalam hal agama."

BENIH TITIPAN SULTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang