35. Kedatangan Sosok Tak Diundang (Cuplikan)

568 35 0
                                    

"Mending kalian keluar, gih! Cari hiburan sekali-kali. Kebetulan di Kemayoran lagi ada Pasar malem seminggu ini. Gue takutnya kalau si Nindi keseringan di rumah dia bisa berubah jadi Macan Bunting."


Aku melotot, lalu menoyor kepala Roy sekali lagi. "Ogah, mending juga di rumah."

"Tapi Roy ada benarnya juga, Nin. Sesekali apa salahnya kita pergi?"  Khalid seolah menyetujui. "Udah dari beberapa hari lalu saya memikirkan, cuma bingung mau ajak ke mana. Karena ke tempat mewah kamu pasti nggak akan mau. Ini cuma pasar malam, jaraknya juga cuma satu setengah kilo dari sini."

Aku menghela napas panjang. Setelah apa yang terjadi, aku tak bisa hanya berdiam diri dan membiarkan semua larut dalam kesepian. Roy dan Khalid benar, aku hanya butuh sedikit hiburan.

"Ya udah, deh," putusku final. "Lo mau ikut?" tanyaku pada Roy kemudian.

Lelaki kemayu itu terlihat berpikir. "Sebenernya, sih gue sibuk. Tapi kalau kalian maksa gue--"

"Ya udah kalau lo sibuk nggak us--"

"Oke, kita berangkat malem ini."

"Dih."

***

"Ramai sekali," seru Khalid begitu kami sampai di Pasar Malam.

"Namanya juga pasar, Sayang. Udah pasti rame. Kalau mau yang sepi di kamar, berduaan," godaku yang membuat Khalid langsung memalingkan pandangan dan meremas tanganku yang dia genggam.

"Tiket ke Mars masih nyisa, kayak, ya? Gue mau ikut penerbangan terakhir," cibir Roy yang merasa dikucilkan.

"Heleh, baperan lo!" Kuapit tangan Roy secara bersamaan. Akhirnya kami berjalan beriringan dengan posisiku yang berada di tengah-tengah dua lelaki menjulang ini. "Senangnya dalam hati, kalau punya dua laki. Seperti, du--"

"Ngaco, loh!" Roy menoyor kepalaku.

"Eh, iya. Ngomong tentang laki dua, kok gue jadi kepikiran."

"Kepikiran apa? Lu mau punya dua juga? Sanggup emang?" protes Roy bahkan sebelum aku sempat menjelaskan.

"Bukan gitu, Supri. Maksud gue, kok laki boleh punya istri lebih dari satu, tapi cewek nggak boleh?" Pertanyaan itu memang kuperuntukan untuk Roy, tapi tatapanku tertuju pada Khalid.

Lelaki itu tak bereaksi, pandangannya hanya lurus ke depan. Entah hal ini menyinggung atau tidak. Namun, dilihat dari caranya menghela napas panjang. Sudah dipastikan bahwa semua yang terjadi bukanlah hal yang sejak awal dia kehendaki.

"Ya, lu pikirlah sendiri pake otak lu, Nindi. Kalau lu punya dua laki, terus suatu saat bunting. Bapaknya siapa?" Roy menjelaskan dengan nada ketus dan kesal. Bersamaan dengan itu kulihat tawa Khalid meledak. Lelaki itu menoleh dan mengacungkan ibu jari ke arahnya.

Tawanya menular, aku ikut tersenyum tanpa alasan. Kurapatkan genggaman di kedua tangan mereka. Lalu mengiringnya menuju pedagang gerobakan.

"Nah, ini yang namanya cilung." Kusodorkan jajanan itu ke hadapan Khalid. "Cobain!"

Sesaat dia tampak meragu. Lalu mulai mencobanya dengan sekali hap hingga membuat bumbu bawangnya sedikit belepotan di bibir.

Aku terkekeh, lalu membersihkan sisa-sisa bumbu cilung itu di sudut bibirnya.

"Gini amat ngontrak di bumi," cibir Roy untuk yang ke sekian kali, tapi aku tak peduli dan sengaja memancingnya lagi dengan menyuapi Khalid cimol dan telur gulung.

Untuk pertama kali sejak kebersamaan kami, tak ada protes dan nasehat yang keluar meski aku beberapa kali mencekokinya dengan makanan tak sehat. Dia hanya meringis kalau makanannya dirasa tak enak, dan tersenyum bila enak.

Sepertinya tujuan mereka berdua mengajakku ke sini memang murni untuk menghibur, dan sebisa mungkin menghindari berbagai macam perdebatan yang mungkin saja terjadi.

***

Tepat pukul sebelas malam kami pulang. Karena menggunakan taksi online jadi tak perlu ribet mengurusi kendaraan. Kedua tangan kami bertiga penuh dengan jajanan yang hanya sedikit kucicipi. Di sana kami juga sempat beberapa kali naik wahana yang membuat Khalid sempat histeris karena melihat penangannya yang dia rasa tak seaman di taman hiburan.

Melihat ekspresinya yang ketakutan justru malah menjadi hiburanku dan Roy yang tertawa lepas tanpa beban di atas penderitaannya. Kesimpulannya secara keseluruhan aku benar-benar senang. Usulan Roy untuk membawaku ke pasar malam ternyata memang tak sia-sia. Hal itu benar-benar mampu membuatku lupa apa yang baru terjadi tadi siang.

"Makasih," ucapku sesaat setelah Roy pamit, dan kami sampai di dalam.

"Untuk?" Khalid mengernyitkan dahi.

"Hari ini." Kutundukkan kepala setelahnya.

Hening beberapa saat, hingga Khalid akhirnya meraih daguku agar kami kembali bersitatap.

"Cape nggak?" tanyanya seolah mengandung arti tersirat.

Aku terdiam sejenak. Menatap kedalaman matanya yang pekat.

"Kalau kamu angkat dari sini ke kamar, kayaknya bisa aku pertimbang--" Belum sempat menyelesaikan kalimat, lelaki itu sudah lebih dulu mengangkatku dan menggendongnya ke kamar.

***

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu terdengar saat aku tengah menjemur baju dan mengeringkan rambut.

"Bisa tolong bukain? Itu kayaknya si Roy mau numpang makan!" teriakku dari balik pintu belakang.

Terlihat Khalid keluar dari kamar dan langsung berjalan ke depan.

Selesai menjemur dan melepas handuk yang semula terlilit di kepala. Kuletakkan emper di kolong meja kompor, lalu bergegas ke depan untuk memastikan apa benar Roy yang datang.

"Ngapain kamu ke sini, Nay?"

Seketika langkahku terhenti di dinding yang menyekat ruang tamu dan dapur.

"Loh, emangnya salah kalau aku ngunjungin suami sama adik madu sendiri?"

***

Cerita ini sudah lengkap dari season 1 & 2, tersedia versi PDF dengan harga 35K. Ada harga promo untuk bundling keduanya cuma 50K aja.

Yang berminta silakan hubungi ke WA ini : 083120321347

BENIH TITIPAN SULTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang