"Sejam berapa, Neng?"
"Enam puluh menit."
"Maksud saya tarif kamu!"
"Oh, mohon maaf, Pak. Mungkin Anda nggak akan mampu."
"Cih, lonte aja jual mahal."
"Kalau mau yang jual murah Bapak pake aja bool ayam, seekor cuma dua puluh lima rebuan di pasar."
"Sialan!"
Prang!
Suara makian diiringi gelas yang pecah di hadapan, menandakan emosi pria tua dengan perut yang maju ke depan itu sudah meluap ke level setan.
"Kalau gitu bersihin sepatu saya! Kalau kamu nggak jual diri, berarti ngebabu di sini."
"Emang iya, tapi saya bukan ngebabu buat situ." Kuinjak kaki lelaki tak diri itu, dan berlalu pergi.
Ternyata benar apa yang dikatakan salah satu tokoh di Novel karya Khalid Hosseini yang berjudul A Thousand Splendid Suns, "Seperti jarum kompas yang selalu menunjuk ke arah Utara, seperti itu pula telunjuk lelaki yang terus menunjuk wanita."
Hanya karena terlahir sebagai seorang pemimpin, mereka seolah bisa mengendalikan segalanya.
Ini memang bukan pertama kalinya mereka terang-terangan merendahkanku. Aku selalu berusaha terbiasa dengan cibiran semacam itu. Apa yang mereka katakan benar, walau tak sepenuhnya demikian. Aku bekerja di sebuah rumah bordil yang dikelola Tante Lala. Sejak saat itu pandangan orang tak lagi sama, karena mereka berpikir aku menjajakan diri pada siapa saja. Nyatanya aku sedikit berbeda dari 'anak-anak' Tante Lala yang lainnya. Aku dipercaya sebagai tangan kanannya, tak pernah dipaksa untuk melayani para bandot tua berkantong tebal yang biasa menunjuk wanita yang disuka tak ubahnya barang yang dipanjang di etalase toko.
Aku berbeda karena bisa menerima dan memilih hanya lelaki yang rela membayar mahal dan memperlakukanku selayaknya manusia. Karena tak jarang PSK diperlakukan bak binatang hina yang bisa dianiaya bahkan diludahi seenaknya. Hal yang membuatku berbeda karena menurut kebanyakan orang penampilanku bak magnet yang mampu menjerat mangsa seperti ikan yang terjebak dalam kail jerat. Sekali dapat, langsung sekarat. Bahkan bukan satu dua kali pelanggan yang pernah kulayani, kembali lagi. Tak peduli berapa banyak kocek yang mereka keluarkan. Namun, prinsipku tetap sama, pantang menerima orang yang sama untuk yang kedua kalinya. Karena bila mereka merasa mampu membeliku, kelak mereka juga bisa memperbudakku. Itulah alasan kenapa di sini aku lebih banyak waktu menjajakan botol minuman, daripada menjajakan diri.
Aku tak tahu pasti bagaimana awalnya orang-orang melabeliku seperti itu. Yang pasti semua tak luput dari andil Tante Lala. Dia yang sudah menganggapku bak keluarga sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah bordil ini, hingga menjadikanku PSK kelas kakap. Bukan sebuah pencapaian sebenarnya, tapi aku cukup bangga, karena setidaknya harga diriku bernilai, daripada wanita di luar sana yang rela ditiduri hanya dengan omong kosong cinta.
"Nin!" Suara Tante Lala menarikku dari lamunan. Di atas kursi kebesarannya kulihat wanita bertubuh tambun dan berkulit putih itu tengah menghitung uang yang sudah dipastikan puluhan sampai ratusan juta jumlahnya, bersama pria jangkung berambut pirang.
"Ya, Tan?" Aku duduk di antara mereka.
"Kata Roy, hampir seminggu ini ada cowok yang selalu merhatiin kamu," ujar Tante Lala membuka percakapan.
Aku mengerutkan kening.
"Kalau dia punya duit, seharusnya tinggal bilang. Ngapain cuma merhatiin dari kejauhan?" tanyaku sembari melipat tangan.
"Mungkin dia naksir, tapi nggak kesampean!" sahut Roy sembari terkekeh geli. "Hampir tiap hari selama seminggu ini dia duduk di tempat yang sama, merhatiin lo yang bolak-balik anter minuman. Coba kasih diskon, deh, Beb. Bukannya hampir dua minggu lo nggak ada pelanggan? Turunin dikit budget-nya, lah. Sayang, loh orangnya cakep nggak ketulungan."
KAMU SEDANG MEMBACA
BENIH TITIPAN SULTAN
RomanceAku hanya bisa tertawa saat pertama kali dia datang, menawarkan sesuatu yang lebih berharga dari intan permata. Menceritakan tentang ketidakberdayaan istrinya, dan keputusasaan menghadapi masa depannya. Dia menjanjikan komitmen yang dibalut kesepak...