29. Naya : Tak Lagi Sama

1.2K 89 10
                                    

"Mau dimasakin apa Abang hari ini?"

" .... "

Tak ada jawaban, kulihat Bang Khalid masih sibuk dengan ponsel seolah menunggu balasan dari seseorang.

"Bang?!" Sekali lagi aku memanggil.

"Eh, iya." Bang Khalid terhenyak hingga membuat ponselnya hampir terlepas dari genggaman tangan.

"Mau makan apa buat sarapan?"

"Ng--minta Neli buatin martabak mie aja, Nay."

Aku tertegun sejenak, dan sontak memastikan. "Martabak mie?"

Dia mengangguk. "Iya, tanya Neli, dia pasti tahu. Kalau gitu Abang sepedaan keliling perumahan sebentar, ya. Habis itu baru kita makan." Bang Khalid bangkit setelah memasukan ponsel ke saku celana training pendek yang dikenakan. Dia mengecup keningku sejenak, sebelum berlari kecil ke luar.

Kuperhatikan dia dari balik balkon kamar, bagaimana suamiku mengeluarkan sepeda dari garasi, kemudian mulai mengendarai.

Memang sudah jadi kebiasaannya tiap akhir pekan. Olahraga dua kali dalam sepekan selalu dia sempatkan. Namun, ada yang janggal ketika dia tiba-tiba meminta mie untuk sarapan. Padahal aku tahu pasti bagaimana kerasnya Bang Khalid menjaga defisit kalori dalam makanan.

Sebelum beralih untuk menghampiri Neli ke dapur. Perhatianku teralihkan saat melihat Bang Khalid tiba-tiba berhenti di trotoar untuk menghubungi seseorang.

Ah, seperti pekerjaan membuat dia cukup sibuk bahkan di akhir pekan.

***

"Nel, Bang Khalid minta dibuatin martabak mie, bisa, kan?" Kuhampiri Neli yang tengah mencuci sayur di dapur.

Dia menoleh, kemudian menatap heran. "Martabak mie? Buat sarapan?" Melihat respons-nya aku tak kalah bingung.

"Katanya kamu tahu. Bukannya kamu yang waktu itu buatin?"

Neli menggaruk rambut, lalu meringis kecil. "Belum pernah, Bu."

"Loh, terus dia tahu martabak mie dari siap--"

"Ah, iya," pekik Neli kemudian. "Kalau nggak salah Mbak Nindi pernah buatin buat menu sahur di hari pertama!"

Aku tertegun.

"Nindi?"

Neli mengangguk pelan.

"Ya udah buatin yang persis sama," tukasku setelahnya.

"Ng--sebenernya saya nggak yakin bisa persis sama. Tapi ... mari kita coba!"

***

Sebelum jam sepuluh pagi, Bang Khalid akhirnya pulang. Kuhampiri dia begitu masuk, lalu menyodorkan handuk untuk menyeka keringatnya.

"Sarapan udah siap. Mau mandi dulu atau makan dulu?" tanyaku.

"Makan dulu aja. Lapar," keluhnya seraya memegangi perut dengan bibir mengerucut.

Aku tersenyum, mencubit gemas hidung bangirnya, lalu mengiring lelaki itu menuju meja makan.

"Nasinya mana?" tanyanya dengan pandangan mengitari seisi meja yang hanya berisi sepiring martabak mie, teko kaca air putih, dan buah-buahan.

"Nasi?" Aku dan Neli saling melempar pandang. "Bukannya martabak mie makannya kayak omellet, ya? Jadi nggak perlu nasi?"

"Iya, tapi lebih enak pake nasi sedikit."

Meskipun heran melihat perubahan yang cukup signifikan dari caranya makan yang biasa amat teliti tentang nilai gizi, akhirnya aku menyerah dari meminta Neli mengambil sedikit nasi dalam mangkuk kecil.

BENIH TITIPAN SULTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang